Dapur terasa dua kali lebih kosong karena Loki tidak ada. Kurasa Bucky juga merasakannya. Bucky otomatis naik jabatan menjadi head chef, tapi ia tak terlihat senang dengan hal itu.
"Hei, Buck," aku menyapanya saat jam tutup restoran. Ia rebahan di salah satu sofa dengan pendingin ruangan yang menyala. Matanya membuka sedikit, lalu kembali terpejam. "Hei, (Y/n)," ia membalas. "Sudah selesai kasirannya?"
"Peter sedang mengerjakannya," kataku dan menutup pintu ruang rekreasi. "Aku ingin datang mengecek apakah kau... baik-baik saja."
"Terlepas dari lengan kiriku yang mau copot karena memegang panci seharian, kurasa aku baik-baik saja," kata Bucky. Tapi ia menghela napas berat setelahnya.
"Mungkin kau harus membeli lengan palsu untuk jaga-jaga."
Bucky mendengus sedikit, lalu kulihat kedua bahunya mulai melemas dan rileks. "Aku selalu tahu kalau Loki akan keluar," kata Bucky tak lama kemudian. "Loki sangat berambisi. Ia benar-benar ingin diakui sebagai juru masak yang handal. Ia bisa saja mengikuti kakak dan ayahnya di Militer, namun kurasa itu masalahnya. Ia ingin membuktikan dirinya sendiri dengan tidak memilih jalan itu."
"Apakah kau mendukung keputusannya?"
"Aku mendukungnya lebih dari siapapun di dunia, (Y/n). Tapi kau akan tetap merasa kehilangan."
"Berita buruk untukmu; begitulah adanya dunia pekerjaan."
Bucky mengangguk setuju. "Anyway, terima kasih sudah menanyakanku, tapi kau tak datang padaku cuma untuk mengecek apakah aku masih waras atau tidak," Bucky melanjutkan. "Ada hal lain yang mengganggumu?"
Aku tertawa pahit mendengarnya. "Banyak hal menggangguku belakangan ini, Buck. Aku cuma tak tahu harus mulai menyelesaikan yang mana."
"Mungkin... secara kronologis?"
"Okay... baru-baru ini, berarti. Tentang apa yang terjadi di Madripoor."
"FBI yang tolol," Bucky menilai.
"Bukan soal itu," aku menghampiri rak buku dan mengeluarkan berkas yang Loki buat sebelumnya. "Kau sudah membacanya?"
Bucky mengangguk. "Helmut Zemo. Pria bertopeng itu adalah bangsawan Sokovia. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali. Orang yang agak seram, menurutku. Pria penuh perhitungan. Maksudku, dia bukan pria kikir, tapi... kau tahulah. Dia tipe orang yang dibenci bapak-bapak di pos ronda karena selalu menang di permainan catur sambil ngopi semalaman."
"Menurutmu, mengapa dia tertarik membeli The Starry Night?"
Pertanyaanku cuma dijawab Bucky dengan tawa cekikikan. "(Y/n), gelarnya adalah Baron. Mungkin dia sama tajirnya dengan Mark Zuckerberg. Aku yakin dia mampu check-out mobil baru dari situs Amazon sambil buang air besar, atau beli istri kedua."
Mungkin ia akan membeli mobil, tapi kurasa tidak dengan istri. "Kurasa ia bukan orang yang begitu."
"(Y/n), percayalah kau tidak meng..."
Kata-kata Bucky terputus begitu saja, dan ia mendadak bangun dari sofa dengan dramatis dan melototiku. "NAH KAN! AKU TAHU ADA YANG TIDAK BERES!" Ia berseru.
Akhirnya aku bisa menceritakan apa yang terjadi malam itu sedetail mungkin. Tidak ada yang kututup-tutupi, karena aku percaya pada Bucky. Dia hanya menggumamkan "oh...", "terus, terus?" beberapa kali dan tetap mendengarkanku. "Apakah dia sedang memakai topengnya ketika di kamar mandi?" Bucky bertanya.
"Buck, cuma orang tolol yang kencing pakai topeng."
"Aku cuma penasaran," Bucky mengangkat kedua bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
inside and out :// marvel au
Fanfiction1 pria. 1 wanita. 1 gedung apartemen yang sama. 2 sisi cerita yang berbeda.