Fajar masih merekah ketika aku kembali ke apartemenku dengan kaki pincang penuh jahitan dan lengan keseleo.
Mr Gonzales adalah orang pertama yang kulihat ketika aku tiba di lantai satu. Ia melirikku dengan dingin, lalu kembali melanjutkan kegiatannya mengepel lantai. Aku rasa ia punya alasan yang bagus untuk itu.
Elevator membawaku naik ke lantai empat. Tepat di saat yang sama, Mrs Elton keluar dari flat (Y/n). "Mrs Elton," aku menyapanya sambil menarik kunci flatku. Di belakang nenek itu, seorang remaja laki-laki menatapku dari ujung kepala sampai ujung sepatu dengan tatapan aneh.
"Kau tak akan lolos dengan mudah, bung," remaja lelaki itu berteriak. Rupanya ia dan Mrs Elton sudah berada di dalam elevator. "Kau tak diterima lagi di sini, nak," nenek itu menimpali. "Ayo, Peter, kita turun."
Pintu elevator itu menutup.
Padahal, terakhir kali aku mengobrol dengan Mrs Elton, ia adalah wanita tua yang menyenangkan.
Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari kalau pintu flatku terbuka. Padahal aku sudah menguncinya sebelum... sebelum...
Aku tahu ada seseorang yang masuk ke flatku, aku hanya perlu mencari tahu siapa.
Kututup kembali pintu flatku dan melenggang masuk ke dalam flat. Di dapur, ada siluet laki-laki dewasa yang berdiri membelakangiku. "Kau tahu yang namanya 'ketuk pintu'? Hal itu lazim dilakukan orang ketika memasuki rumah orang lain," kataku keras-keras.
"Percayalah, aku mencobanya tadi. Tapi tidak ada orang yang membukakan pintunya, jadi harus kubuka sendiri."
Pria itu berbalik. "Aku tahu kau dan (Y/n) belum mati," kataku.
"Sehat walafiat seperti yang kau lihat," Zemo merentangkan kedua lengannya. "Jadi, kuputuskan untuk berkunjung ke rumah tetangga (Y/n) karena penasaran, bajingan seperti apa yang membuat (Y/n) sengsara."
"Dimana (Y/n)? Dia masih hidup?" Aku mulai mencecarnya. "Oh, aku mengerti sekarang. Kau mau balas dendam?"
Zemo segera berjalan menghampiriku. Dengan cepat tangannya mencekik leherku dalam satu remasan. "Sekali lagi kau berani menyebut namanya, aku akan melemparmu keluar dari jendela," Zemo mengancam. "Aku yang mau membunuhmu, agen."
"Lalu apa yang menghentikanmu?" Aku menantangnya.
"(Y/n) mengampunimu. Setelah apa yang kau lakukan padanya semalam, ia memutuskan untuk mengampunimu."
"Aku menjanjikan tawaran itu karena aku peduli padanya," aku mendesis.
"Aku juga peduli padanya, karena itu aku menjauhkannya darimu," Zemo menggeram.
"Jadi, dia hak milikmu sekarang?"
"Yang jelas, dia bukan milikmu dari awal, sekarang hingga nanti."
"Kau tahu aku takkan berhenti," aku bersikukuh.
Zemo melepas leherku, dan aku akhirnya bisa bernapas kembali dengan normal. "Lukisan itu ada di kamar tidurmu," kata Zemo sambil menunjuk pintu kamarku yang tertutup. "Bawa itu. Jika aku masih melihatmu mengejar (Y/n) dengan badut-badut pemerintah, aku bersumpah akan membuang mayatmu ke Bermuda."
"Aku masih harus mengejarmu atas apa yang kau lakukan pada Stark."
"Yang bisa kukatakan tentang Stark adalah ia pantas mendapatkannya."
"Coba katakan hal itu pada juri."
"Oh, aku pernah menuntutnya sekali," ujar Zemo. "Pengacara Stark menang. Kurasa detail itu tidak tercantum di dalam laporan misi."
"Membunuh Stark tidak akan mengembalikan keluargamu kembali."
"Aku sering mendengarnya berulang kali."
"Lalu kau akan tetap jadi hakim jalanan? Relakan istri dan—"
"Kau tak perlu memberiku kuliah moral, agen," Zemo mendengus kasar. "Lagipula, aku sudah lama merelakan mereka. Bagiku, semua ini adalah keadilan yang puitis. (Y/n) akan setuju denganku."
"Kau masih belum menjawab pertanyaanku," aku mengotot. "Dimana (Y/n)?"
Pertanyaanku dijawab oleh pukulan langsung di pipi kanan. Aku belum sempat mengangkat tangan untuk membela diri ketika aku kembali dihantam di perut, dada dan lutut. Zemo memojokkanku ke tembok, lalu menamparku keras-keras.
"Aku sudah peringatkan. Jangan menyebut namanya lagi."
Zemo mengakhirinya dengan tinju keras di ulu hati sampai aku terjatuh dengan keras ke lantai. Sambil mengerang kesakitan, aku menengadah untuk melihat wajah orang yang memukulku; namun ia sudah menghilang. Tidak ada suara yang menyusup ke dalam flatku selama beberapa lama hingga teleponku berdering. Mesin penjawab teleponku yang menjawab.
"Stephen Strange. Sedang tidak di rumah. Tinggalkan pesan."
"Strange, ini aku," suara Hope memecah kesunyian. "Aku turut menyesal atas kecelakaan beruntun itu. Aku tak tahu kalau kau masih mau mendengarnya, tapi kurasa ini penting.
Aku menggali lebih tentang data imigran kemarin. (Y/n) (Y/l/n) tercatat sebagai imigran dari Indonesia yang datang sekitar empat tahun lalu. Lalu aku mencari nama penghuni yang terdaftar di apartemen tempat tinggalmu. Selain ada (Y/n) dalam daftar, ada banyak nama lain. Semuanya imigran dari berbagai benua. Aku mencari penghuni yang tinggal di gedung-gedung apartemen milik Alianovna. Semua penghuni gedung apartemennya yang lain juga imigran. Ini sebuah komunitas besar, Strange. Kebanyakan dari mereka bersikap skeptis dan anti pada polisi. Ini hanya sebuah perkiraan, tapi kalau mereka tahu apa yang terjadi pada (Y/n), akan ada gelombang protes yang besar. Kusarankan kau keluar dari sana secepatnya. Bukannya aku bersikap rasis pada imigran, tapi... situasinya pasti semakin panas di sana, kan?"
Setitik darah hangat menetes dari hidungku yang patah. Situasinya panas, katanya. Ironis sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
inside and out :// marvel au
Fanfiction1 pria. 1 wanita. 1 gedung apartemen yang sama. 2 sisi cerita yang berbeda.