BAB 2 : KESALAHAN YANG SAMA

290 26 0
                                    

Mereka yang memiliki banyak teman, apakah pernah berpikir bagaimana rasa sakitnya ketika berpisah?

-Not House, but Home-

...

Setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Entah sengaja atau tidak, yang pasti manusia pernah berada di titik terendah, manusia seolah keluar dari batas dan kesulitan untuk mengendalikan dirinya.

Ya, begitu sulit untuk mengendalikan. Tanpa sadar sudah berada di jalan yang salah dan sulit untuk keluar. Mungkin untuk pertama kali bisa saja disebut kesalahan tapi apabila melakukannya berulang kali bukankah itu sudah menjadi pilihan?

"Lo gila, Dik? Nggak bosan kenalan sama tuh bocah?"

Entah untuk berapa kali, umpatan kasar terus berputar di telinga Dikta. Tidak cukup berbicara, Raya  juga mengutuki si anak baru yang menjadi penghuni kelas 12 Bahasa 1. Abaikan, tampilan Dinangga yang sudah pasti kalah jauh dibanding Raya. Hanya dari sepatu dengan model Converse Jack Purcell yang menjadi idaman para warga sekolah, semuanya sudah menebak seperti apa tampilannya.

Sederhana, tapi berkelas.

Ya, ekonomi kelas atas.

"Waktu dia masuk, lo udah kenalan. Sekarang udah dua kali jam istirahat, lo ngatain hal yang sama!"

Tanpa menoleh, Dikta mengusap telinga, melangkah ke kantin dengan malas.

"Kenalin, gue Adikta Prima. Salam kenal. Lo mau jadi teman gue?" cibir Raya, menjulurkan tangan seolah mempraktekkan seharian kegiatan Dikta saat di kelas. Tidak kunjung mendapat jawaban, Raya menggeleng pasrah, setengah terperangah melihat kebodohan sahabatnya. "Berulang kali gue dengar tuh kalimat, dan berulang kali juga lo diabaikan sama manusia kayak dia."

"Ya, biasa aja kali, Ray." Dikta mengerling. "Gue tinggal berusaha lagi."

Raya mendesis, tenggorokannya sedikit bergerak saat mencium aroma asin, gurih bercampur pedas dan manis yang memenuhi setiap sudut kantin. "Ada yang mau lo peralatin dari tuh orang?"

Dikta menoleh seketika, berhasil membangkitkan senyuman sinis dari Raya.

"Dia kaya, kan?"

Sontak, sebuah gepalan tangan mendarat pada puncak kepala Raya. Untuk pertama kalinya, seorang Dikta berhasil memukul si berandal sekolah yang menjadi bahan buronan wali kelas dan ibu BK.

"Gue bukan orang kayak gitu, elah!" balas Dikta mengumpat. Bukannya marah, malah tawaan yang ia dapatkan dari Raya. Ah, menyebalkan, Raya tidak akan bisa membiarkannya diam.

Raya maju berapa langkah, saat tendangan Dikta nyaris mengenai punggungnya. Buru-buru keduanya menuju kantin ujung kanan saat desakan para murid yang memesan makanan terlihat berkurang.

"Habisan lo ngebet bener kenalan sama tuh bocah. Sialnya, kenapa dia harus sebangku sama gue? Hm?" umpat Raya akhirnya.

"Takdir lo kali, habisan sendiri mulu," ucap Dikta tertawa pelan. Memasukkan sebelah tangan ke saku jaket merah maroon, mengambil selembar rupiah. "Gue pengen bentuk band lagi."

"Lagi?" Raya menoleh sejenak lalu memperhatikan menu yang tertera di etalase. "Lo pesan apa, Dik?"

Dikta mengangkat kedua bahu, enggan. "Biasa."

"Nasi sop satu sama mi goreng, Bu." Buru-buru Raya menarik Dikta saat menemukan bangku kosong bagian sudut kanan. Ya, masih dipenuhi piring dan mangkok bekas makanan maupun minuman. "Lo? Mau bentuk band lagi?"

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang