Rumah bukan hanya berupa bangunan. Rumah di mana tempat seseorang merasa nyaman, dianggap ada, dan penuh dengan cinta.
Not House, but Home
...
Sama seperti manusia lainnya, dibalik nilai pelajaran yang tinggi dan menguasai angka serta hitung-hitungan dengan mudah, ia juga memiliki kekurangan. Bahasa? Tentu saja, tidak hanya Indonesia, begitu juga dengan bahasa asing lainnya. Jika saja Dinan yang berusia enam tahun itu tahu jurusan apa yang diambilnya untuk sembilan atau sepuluh tahun ke depan, pasti anak laki-laki itu akan menunjukkan aksi protesnya.
"Rumah ... rumah ...."
Kaki kecil itu berjalan pelan, menyusuri setiap sudut rumah. Mata bundarnya menatap kiri kanan, lalu kembali menulis di buku catatan kecil dengan ikon anak ayam berwarna kuning.
"Jumlah tanaman Mama, hm ...."
Ia berjongkok, menghitung berapa tanaman di pot putih yang berada di halaman rumah. Tidak hanya itu, hilang ide, akhirnya ia juga memutuskan untuk menghitung jumlah sendal dan sepatu yang berada di rak.
Pria paruh baya keluar dari rumah, tersenyum sekilas melihat Dinan yang mendongak. Klien Mama. Secepat mungkin Dinan masuk ke rumah kembali, memperhatikan pintu lantai dua, sudah sedikit terbuka.
"Mama ...," panggil Dinan, tangan kecilnya mengetuk pintu dengan pelan, sesekali memgintip dari celah pintu. Memastikan ada orang di sana.
"Ayo! Ngapain!"
Dinan tersentak saat kedua tangan mencengkeram bahunya dari belakang secara tiba-tiba. Tak lama, anak laki-laki itu tertawa, memperhatikan Mama yang kini telah mengikat rambutnya yang tampak tergerai.
"Kenapa? Sini, duduk."
Sofa hitam ditepuk dengan kuat. Dengan semangat, Dinan mendaratkan tubuh, tepat di samping Mama.
"Dinan lagi ngerjain tugas sekolah?" tanya perempuan paruh baya itu mencondongkan tubuh, memperhatikan catatan Dinan.
Dinan memgangguk, menyodorkan buku catatan kecilnya ke Mama. "Bahasa Indonesia. Dinan disuruh buat esai. Ini baru coret-coretnya."
"Esai kehidupan normal?" tanya Mama sekali lagi, sembari mengambil catatan Dinan.
Dinan mengerjapkan mata, heran. "Emang ada hidup yang nggak normal, Ma?"
"Eh?" Perempuan itu terdiam sejenak, lalu tertawa hambar sembari mengusap belakang lehernya, menggeleng. "Dulu waktu sekolah, Mama pernah disuruh buat itu. Kalau ini, Bu Guru minta tema apa?"
"Rumah," jawab Dinan, setengah cemberut. "Harus dua lembar hvs. Ini bahkan belum sampai selembar."
"Dinan punya banyak ruangan di rumah." Perempuan itu mulai membaca catatan anaknya. "Ada ruang kerja Papa sama Mama. Ada empat kamar, satu dapur, terus, hmm ...."
Dinan mencondongkan tubuh, memperhatikan barang yang terletak di toples kaca. "Ma, Dinan boleh ambil permennya?"
Perempuan itu mengangguk. "Tiga saja untuk Dinan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Fiksi Remaja[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...