BAB 29 : ENEMY

98 13 2
                                    

Jika saja berbicara dan mengungkapkan semudah dengan apa yang di pikirkan, tentu akan menyenangkan.

Not House, but Home

...

Satu jam berlalu, menandakan usainya istirahat makan siang dan kembali larut pada pelajaran berikutnya. Hanya ada dua bangku yang terlihat ksoong di kelas. Dinan dan Dikta, kedua orang itu entah ke mana setelah berada di ruang musik.

"Sial," umpat Dinan, mengembus napas terengah. Ia topangkan kepala dengan sebelah tangan sembari membiarkan air mengalir dari keran westafel yang dihidupkan.

Kacauy. Wajah itu memang sedang tidak terlihat tenang, hanya saja seperti ada rasa lega sekaligus lemas saat berhasil mengeluarkan seluruh isi perutnya yang mual. Bodoh, ingin rasanya ia mengutuki. Jika akhirnya seperti ini, ia berjanji tidak akan bangun dan berangkat sekolah kesiangan lagi.

Pintu koridor toilet yang tadi tertutup rapat kini terbuka. Dinan menoleh seketika, sembari mengatur napas. Jaket merah yang diangkat hingga lengan, berat badan yang Dinan lihat semakin hari menurun, tidak diragukan jika itu Dikta.

"Kenapa lo? Overdosis lagi?" tanya Dikta, membuka keran salah satu westafel dengan tenang, mencuci tangan.

Dinan tertawa datar, menatap seakan ingin melumat. Sulit dibayangkan, Dikta terlalu tenang dalam mengatakannya. Tidakkah itu pertanyaan? Ataukah sebuah sindiran?

"Kalau lo pergi duluan, gue yang bakal menang," ucap Dikta, melepaskan gulungan tisu yang menyumbat lubang hidung lalu menekankannya pelan sembari menunduk. "Jangan biarin gue menang."

Diam-diam Dinan mengepalkan sebelah tangan, bergetar, saat melihat cairan merah segar mengalir di sana.

Dikta yang menarik napas terengah, tertawa pelan memperhatikan ekspresi Dinan. "Wajah lo pucat amat."

Tanpa menjawab, Dinan mengusap hidung dengan sebelah tangan, membuat Dikta segera memahaminya.

"Ah, ini." Dengan cepat, ia membersihkannya dengan air, membuat westafel yang harusnya putih meninggalkan bercak noda merah yang bercampur dengan air. "Bentar lagi juga kering."

"Baru kali ini ada orang yang pengen kalah," gumam Dinan. Usai dengan kegiatan, ia setengah melompat, membiarkan diri untuk duduk sejenak dan beristirahat di meja penghubung westafel. "Ajaib."

Dikta menyeringai, menarik selembar tisu kembali di saku jaket. "Lo sendiri kenapa?"

"Lupa sarapan, keburu pintu gerbang ditutup." Dinan memiringkan kepala, setengah menopangnya ke sisi dinding, bersandar. "Bodohnya lagi, jam istirahat pertama, gue juga nggak makan. Sial, mana bisa ke kantin jam segini."

"Baru kali ini gue dengar lo bicara panjang," sindir Dikta, dibalas dengan erlingan tajam dari Dinan. "Nyokap Sam sibuk? Setahu gue, nyokapnya doyan eksperimen menu makanan kayak nyokap gue."

Dinan memejamkan mata, mencoba mengalihkan pikiran begitu lagi-lagi rasa mual seakan mengacak lambungnya. "Gue nggak peduli."

Dikta mengusap hidung lalu tersenyum puas setelah beberapa menit mulai kembali normal. Tidak ada lagi noda yang membuatnya harus menyumpal lubang hidung itu dengan tisu. "Dasar kepala batu. Kalau lo kayak gitu terus, bisa-bisa mati kelaparan."

"Nggak usah ikut campur," tekan Dinan, membulatkan mata. "Gue bisa sendiri."

"Lho? Iyakah?" Dikta tertawa pelan, mengangkat sebelah alis. Dinan, dengan kondisi yang sekarang dan apa yang diucapkan, sangat berlawanan, bukan? "Mau makan bareng? Kebetulan nyokap siapin bekal, banyak. Gue minta tolong Raya buat antar ke ruang kesehatan."

Dinan menggeleng pelan.

"Etdah. Manusia ini entah apa maunya," gerutu Dikta. Tanpa basa-basi lagi menarik lengan Dinan saat suara perut berbunyi cukup kencang, tanpa bisa ditahan. "Buruan!"

"Pemaksaan," balas Dinan, menggerutu, mengikuti langkah yang terburu itu dari belakang. "Lo bawa bekal apaan?"

Sambil menarik Dinan dengan paksaan, Dikta menoleh belakang. "Lo milih-milih makanan?"

Dinan mengangguk, mengangkat kedua bahu. "Mumpung gue omnivora. Selagi bisa dipilih kenapa tidak?"

____


Omnivora, pemilih makanan, dan menyebalkan.

Dikta tertawa datar, tanpa berniat mengerjapkan mata, memperhatikan Dinan di hadapan. Beruntunglah, ruang kesehatan sepi dan tidak ada penjaga sekarang, jika ketahuan memenuhi brangkar dengan mangkuk rantang makanan entah bagaimana nasibnya.

"Enak bener ini, woi!" Tanpa permisi, Dinan kembali menyendok nasi, mencampurnya dengan beberapa sayuran lalu melahap dengan pipi mengembung. Cowok ini, tidakkah berbeda dengan Dinan yang sering kali Dikta temukan?

Ah, meskipun menyebalkan dan sikap keras kepalanya tidak berubah.

Dinan mengangkat kepala, memperhatikan Dikta yang duduk di brangkar. Ya, Dikta masih saja tercengang dengan sendok di genggaman. "Lo nggak makan brokoli?"

Dikta menggeleng, pelan. Setengah mengerjapkan mata, masih tidak percaya. "Aneh rasanya."

"Ya, udah. Kalau aneh, buat gue aja, sini." Tanpa basa-basi, Dinan langsung mencomot brokoli yang berada di sendok itu dengan sumpit lalu mata itu menyipit senang saat rasa higenis dari sayuran menyelimuti, tanpa ada banyak campuran asin dan bumbu lainnya.

"Milih makanan kayak apa ini, elah!" keluh Dikta, mendengkus, tidak sabar. "Wortelnya jangan dihabisin, elah, Dinan!"

Buru-buru Dikta menahan lima potongan wortel di mangkuk terakhir saat Dinan ingin menyambarnya kembali. "Lo boleh ambil brokoli, tapi tolong kembalikan wortel gue," ancam Dikta, membulatkan mata.

"Oh, oke." Dinan menuruti, cowok itu menaruh kembali wortel yang telah ia ambil. "Nih, satu."

"Si sialan ini," kutuk Dikta, membulatkan mata tidak percaya. Dengan terpaksa ia langsung melahap satu-satunya sayur kesukaan yang tersisa. "Lo benar-benar kelaparan kayaknya."

Sebagai jawaban, Dinan mengangguk lalu berbicara dengan pipi mengembung.

"Habisin dulu, elah! Mana gue ngerti kalau lo ngomong sambil makan!" keluh Dikta,menatap dengan gusar. Sungguh, tidak lagi-lagi ia mengajak Dinan makan seperti ini.

"Masakan nyokap lo enak," puji Dinan, meneguk sebotol air mineral. "Jarang-jarang gue ketemu yang gini."

Dikta hanya mengangguk saja. Selera makannya yang memang sudah lenyap sejak awal kini menghilang. Hanya melihat edisi mukbang dari Dinan saja, sudah membuat perutnya kenyang. "Lo tahu, kan? Di dunia ini nggak ada yang gratis?"

Dinan yang baru saja usai makan dan hendak menyusun kembali rantang makanan kini terhenti seketika, menoleh.

"Ah, mungkin ada, tapi nyaris mustahil." Dikta memejamkan mata, membiarkan tubuhnya berbaring tennag saat semua perlatan makan telah selesai dikemas seutuhnya. "Sebagai bayarannya, nanti tolong antarkan gue pulang."

_____

Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Vote, koemn, dan krisarnya sangat membantu.

Ku lagi nulis beberapa draft, wkwkwk.
Up : 24.11.21

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang