BAB 24 : IN FRONT OF THE DOOR

98 10 2
                                    

Kenangan sebelum itu dan apa yang terjadi setelah itu bisa sangat menyedihkan tetapi bisa juga menjadi sangat menyenangkan, tergantung kita menjadikannya seperti apa

-Not House, but Home-

...

Ketuk, tidak. Ketuk, tidak.

Rin mengembus napas panjang, berulang kali gadis itu mengangkat sebelah tangan untuk mengetuk pintu cokelat di hadapannya, tetapi niat itu diurungkan dalam-dalam. Bukannya malah memanggil seseorang di sana untuk keluar, malah ia mencengkram tumpukan dengan kuat.

"Dinan nggak gigit orang!"

Sam menyengir lebar, cowok yang berada di lantai satu itu melepaskan celemek yang bergantung lalu membawa semangkuk cemilan ringan yang baru saja usai digoreng. "Ketuk aja. Paling lagi tiduran atau gitaran. Din! Rin datang, woi!"

"Sam ...." gerutu Rin setengah geram, membulatkan mata tetapi hanya disambut oleh angkatan kedua bahu dari lelaki itu lalu menyalakan televisi di ruang tengah.

Pintu kamar terbuka dengan cepat, memperlihatkan seseorang dengan kaos navy blue dan celana hitam selututnya. Rambut dengan potongan fringe itu tampak berantakkan, sama dengan mata bundar sayunya yang perlahan mengerjap, lalu menyipitkan mata. "Apaan?"

"Itu ...." Rin mengusap belakang leher sejenak sebelum menyerahkan tumpukkan buku ke hadapan Dinan. "Kamu nggak masuk sekolah tiga hari, ini ada beberapa catatan sama tugas."

Sebelah alis Dinan terangkat, memperhatikan salah satu buku tebal bersampul manusia salju. "Catatan? Tugas?"

Rin mengangguk, tidak enak. "Maaf, seharusnya aku bawakan kamu makanan, novel, atau hal yang menghibur, tapi--"

"Nggak perlu," potong Dinan cepat, kembali menutup pintu kamar dengan kuat. Rin terhentak, begitu juga dengan Sam yang tadi fokus dengan layar televisi kini mendongak. Memastikan apa yang terjadi di lantai dua.

Rin menggigit bibir bawah, gusar. Dinan, mungkinkah cowok itu marah padanya? Apa tidak seharusnya ia memberikan catatan ataupun tugas di saat seperti ini? Ah! Atau mungkin ....

Rin tertunduk. Setengah mengutuki diri. Sungguh, tidak sopan sekali, dalam keadaan seperti ini seharusnya ia menenangkan Dinan bukan? Menghibur cowok itu meskipun Rin tidak yakin apakah dapat melakukannya? Namun di sisi lain, tidak ada hal yang dapat ia lakukan selain satu-satunya mengantar buku-buku ini ke rumah Dinan.

"Tunggu." Pintu kamar terbuka lagi, membuat Rin yang membalikkan badan kini menoleh seketika, bersiap jika saja Dinan akan membentaknya ataupun melayangkan buku-buku yang ada di tangan cowok itu sekarang juga.

Dinan tersenyum tipis, mengangkat salah satu buku tulis. "Mau temanin gue nyalin catatan-catatan ini di gazebo taman belakang?"

Hingga pada akhirnya dugaan Rin salah. Cowok itu tidak bersikap kasar padanya bahkan menuntutnya. Tidak peduli? Ya, bagi Rin, Dinan cenderung tidak peduli. Sedari setengah jam tadi, cowok itu hanya menyalin catatan di buku pelajaran sembari menikmati beberapa alunan lagu dari airpods di telinganya.

"Dinan?" panggil Rin. Nihil, cowok yang duduk di seberang itu mengabaikan. Hanya tertunduk dan kalut dalam buku catatannya, sorot pandangnya tajam tetapi terasa kosong. Meskipun sekilas beberapa kali Rin melihat Dinan tersenyum tapi entah mengapa selalu ada rasa sakit yang tersirat dari raut wajah itu.

"Dinan, kamu main musik kegede--" Sontak Dinan menepis tangan Rin dengan kuat, mata itu membulat ketika kedua tangan gadis itu hampir saja melepaskan airpods di telinga.

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang