BAB 22 : REGRET CAN'T LOST

153 9 4
                                    

Rasa penyesalan yang sebelum dan terjadi setelahnya, tidak akan pernah hilang. Hanya rasa lelah yang berujung lapang dada, dapat mengobatinya.

-Not House, but Home-

...

Dinan ....

Dinan ....

Untuk berapa kali nama itu terlintas di pikiran Sam. Kakinya berlari cepat, tanpa peduli dengan deru napasnya yang terengah. Tepat pukul dua siang, padahal ia sudah memutuskan untuk beristirahat ketika sepulang kuliah nanti, tetapi siapa sangka hal seperti ini akan terjadi?

Saat merebahkan tubuh, sontak saja sebuah panggilan masuk. Bukan dari Rin-- ah, padahal ia baru menatap foto itu terakhir kalinya dan menghapus-- melainkan Raya. Tanpa rasa bersalah, Raya langsung saja memakinya, meminta untuk datang dengan cepat, dengan suara paniknya dari seberang.

Ah, sial, bahkan Sam lupa di parkiran mana ia meletakkan mobilnya?

Sam mengibaskan tirai, begitu mendapat instruksi dari salah satu perawat di bagian penjagaan. Sontak, ia menelan ludah, begitu memperhatikan kondisi  penghuni brangkar di ujung kanan. Abaikan Raya yang terdiam kaku di sudut ruangan, jika dugaan Sam benar, maka Raya masih marah padanya, dan  ....

Ada yang aneh dari sorot mata itu. Merasa bersalah? Tapi kepada siapa?

"Adik gue ...," Sam menarik napas terengah, menyeka keringat di dahi dengan punggung tangan. "dia kenapa?"

"Selain penjelasan gue di telepon tadi, lo bisa lihat sendiri." Secarik kertas dan botol putih dengan tinggi tujun senti itu diletakkan ke telapak tangan Sam. Raya menunduk, lalu menatap tajam. "Gue mau pulang."

"Silahkan," gumam Sam. Menyeret kursi plastik, lalu memperhatikan tulisan yang sulit dibaca begitu juga botol di sebelah tangan lagi. Mendadak sebelah alis Sam terangkat, begitu membaca pada stiker yang tertera. Awalnya ia kira ini botol permen karet, tapi ... huh?

Sam menoleh sesaat, memperhatikan Dinan yang masih saja memejamkan mata, berbaring di brangkar. Nyenyak? Untuk pertama kalinya, Sam melihat Dinan tertidur tenang seperti ini meskipun dengan kondisi yang cukup berisik. Suara derap langkah, beberapa orang berbicara, bahkan saat Sam menepuk sebelah pundak itu juga tidak terbangun.

Sam mengembus napas panjang, memperhatikan Dinan dalam diam. Selang yang menyumbat salah satu lubang hidung itu seakan memompa keluar cairan dari dalam tubuh, lalu berakhir dengan tampungan ke kantong bening verukuran besar, menghasilkan warna yang keruh.

"Din," panggil Sam, pelan. Menelan ludah, tenggorokannya benar-benar tercekat sekarang. "Sesulit  itu lo nerima kenyataan?"

Hening, tak ada jawaban dari Dinan. Cowok yang masih berseragam sekolah itu memejamkan mata.

"Berhenti nanggung semuanya sendirian, lo nggak sehebat itu, dan wajar," gumam Sam, menggigit bibir bawah, bergetar. Ujung-ujung jarinya mendingin, sama hal dengan pikirannya yang kini ingin memutarbalikkan fakta. Ada hal yang ingin ia lupakan, sangat, dan melihat keadaan Dinan seperti ini seakan membawanya ke rasa penyesalan itu kembali.

"Gue takut, Din." Sam menunduk, membenamkan wajah di balik sebelah lengan Dinan. "Cukup gue nggak bisa selamatkan Papa. Jangan lo lagi. Maaf."

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang