BAB 41 : FATAMORGANA

75 9 11
                                    

Suatu hal yang ingin dihindarkan, kadang adalah satu hal yang harus diterima dengan susah payah.

Not House, but Home

...

Mana mungkin, kan? Lagipula pria di samping perempuan itu siapa? Kenapa ia tidak pernah melihat tetapi begitu akrab? Tangan yang dirangkul ke pinggang itu, lalu sorot pandangnya yang Dinan tau, tidak hanya sekedar rekan kerja ataupun klien. Melainkan lebih dari itu.

"Dinan?"

Mata bundar Dinan membulat sesaat, menggeleng cepat, tidak percaya. Tanpa sadar mencengkeram tangan Rin yang ada di genggaman. Dingin dan gemetar, pasti samar-samar Rin dapat merasakannya.

Rin menoleh, bingung. "Dinan? Kamu kenapa?"

"Benar Dinan ternyata," ucap perempuan itu tersenyum lega. "Bagaimana sekolah kamu?"

Hening, Dinan membungkam, sama sekali tidak menjawab. Lidahnya kelu begitu juga dengan bibirnya yang tertutup rapat. Seluruh oksigen dan tenaganya seolah-olah hanya tersisa untuk bernapas saja.

Sesak, dingin, dan ketakutan. Untuk pertama kalinya Dinan menyadari bahwa jarak yang diciptakan sudah sejauh ini, lebih jauh dari apa yang dibayangkan.

"Dinan?" Rin menyikut dengan kuat, berhasil membuat Dinan tersadar. "Dijawab."

Dinan mengangguk, sebagai jawaban.

"Ah, kamu ...."

"Rin, Tante." Baru saja Rin ingin melepaskan sebelah genggaman untuk membalas jabatan itu, tetapi Dinan menahan, kembali menautkan jarinya dengan erat.

Perempuan itu tertawa, menyipitkan mata dengan senang, kembali menurunkan jabatan tangannya. Dinan menatap tajam sebelum tertuju pada pria yang tampak sebaya dengan perempuan paruh baya itu.

Menyadari tidak ada seorang pun yang memulai pembicaraan dan hanya saling tatap, Rin berdehem, mencairkan suasana. "Tadi Tante mau duluan antriannya? Boleh, silahkan."

Rin mempersilahkan, membuat keempatnya saling bertukar posisi.

"Tante lagi buru-buru untuk persiapan pesta pernikahan, maaf, ya."

Tanpa berbicara, Dinan semakin mengepalkan tangan dengan erat. Sorot matanya yang tadi tampak tajam kini membulat sesaat, perlahan namun pasti bagian putih itu memerah saat cairan bening mulai menguasai tempat.

"Ni ... kah?" gumam Dinan tiba-tiba serak.

Perempuan itu mengangguk cepat, memperhatikan anak laki-laki dengan seragam sekolah itu sejenak. Lima ... enam detik ....

"Bisa tolong beri Papa kamu?"

Secarik kertas dengan desain berwarna silver disodorkan tepat di hadapan Dinan. Dinan mengangkat kepala, memperhatikan perempuan itu tidak percaya. Secepat inikah?

Undangan diambil. Sungguh, Dinan berharap semoga sebelah tangan ini tidak langsung mencengkeram kertas itu dengan erat.

Perempuan itu menyipitkan kedua mata dengan senang, mendaratkan sebelah tangan ke puncak kepala Dinan dengan tenang. "Terima kasih, Dinan."

Tubuh Dinan membeku seketika, suara mesin kasir terdengar hingga derap langkah dari high heels yang menutup pintu kaca, keluar dari ruangan.

Surat undangan ....

Bahkan kue tiga tingkatan yang dipesan perempuan itu ....

Dinan menahan napas, sontak saja langsung menoleh ketika genggaman tangan yang belum ia lepaskan kini bergerak.

Rin mengerjapkan mata. "Kamu kenal? Aku kayak nggak asing."

Dinan tersenyum samar, berusaha sebisa mungkin tertawa. "Nyokap gue. Dia memulai kehidupan baru lagi."

***

"Din, bicara pelan-pelan sama gue. Kalau kayak gini gue nggak ngerti! Pulang dari rumah Rin tiba-tiba, padahal gue belum selesai bantu mereka beresin gudang! Din! Dengar gue nggak lo!"

Sam yang tadi berjalan cepat memasuki rumah langsung saja berlari mendekati Dinan yang berjalan jauh lebih cepat di depannya. Secepat mungkin ia menahan tubuh Dinan lalu berusaha menjauhkannya dari salah satu ruangan.

"Jangan dekatin ruang kerja Papa, woi! Dinan!"

Kalap. Dinan seakan tidak mendengarkan. Hanya ada suara sesakan napas dan menatap linglung akan sekelilingnya. Sesak, bingung, bahkan si pemilik tubuh itu tidak tahu bagaimana cara untuk menghilangkannya.

"Din! Dengarkan gue! Sh*t!" Sam menahan tubuh itu jauh lebih kuat, berusaha mungkin menyeretnya ke belakang agar keluar dari ruangan. Sungguh, jangan sampai adiknya ini mengacak seluruh berkas ruangan Papa dan menimbulkan masalah baru lainnya.

"Kita ke kamar lo, oke?" tekan Sam, mengalungkan sebelah lengannya ke leher Dinan, lalu setengah menuntunnya untuk meniti tangga. Berhasil.

"Napas gue." Sam menelan ludah, setengah membanting Dinan begitu sesampainya di kamar. Pintu dikunci rapat, berharap saja tidak ada salah satu anggota di rumah ini yang datang dan semakin memperkeruh keadaan. "Cerita ke gue."

Dinan menggeleng cepat, terduduk begitu saja di samping Sam sembari mencengkeram ujung rambut dengan erat.

"Lo mau marah?" tanya Sam.

"Pergi," gumam Dinan, membenamkan wajah ke lutut. "Buruan."

Sam berdecak. "Gue udah susah payah bawa lo ke sini. Kalau gue pergi, lagian lo mau ngapain, hah? Nya--"

Dinan memejamkan mata, cengkeraman tangan itu bergetar. "Gue mohon."

"Hubungannya ap--" Ucapan Sam terhenti sesaat, saat melihat sorot mata yang kini memerah. Kacau, Sam sudah pastikan itu. Dinan yang beberapa hari belakangan begitu stabil, ah, bahkan untuk pertama kalinya Sam melihat kedua sudut bibir itu benar-benar terangkat tulus, siapa sangka kalau beberapa jam selanjutnya akan menjadi seperti ini?

"Gue nggak mau terlihat lemah di depan lo atau teman-teman," pinta Dinan lagi, lalu susah payah mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya. "Tolong beri ke Papa."

"Hah?" Sam cengo sesaat, memperhatikan gumpalan kertas yang kini tidak berbentuk lagi. Ia rapikan kertas itu sejenak, memperhatikan nama salah satu pihak yang tidak lagi asing baginya.

Selain sering kali muncul di majalah, juga di layar televisi ketika menyelesaikan kasus-kasus besar. "Din, nyokap lo?"

Dinan mengangguk, membenamkan wajah pada kedua lipatan lutut.

Sam mencengkeram bahu Dinan dengan kuat, memastikan. Memperhatikan sekeliling ruangan sejenak. "Lo benar nggak apa gue tinggal sendiri?"

Dinan mengangguk, menarik terengah. "Itu jauh lebih baik."

"Oke, kalau itu mau lo." Sam bangkit, membuka laci belajar sejenak, lalu mengambil beberapa peralatan tulis seakan menyitanya. "Tapi janji, setelah emosi lo reda, lo harus panggil gue dalam keadaan hidup, mengerti?"

Dinan mengangguk lagi, mengangkat sebelah kelingking dari sela-sela rambut tersebut.

Perlahan namun pasti pintu ditutup dengan pelan. Sam memejamkan mata, saat suara teriakan kesal begitu juga bantingan barang terdengar kuat.

Sakit. Sam menelan ludah, memperhatikan langit-langit koridor, lalu beralih pada secarik kertas di tangan. Bahkan tanpa perlu bicara, ia dapat merasakan kekacauan itu.

Jelas. Begitu nyata.

___

Thabks for reading! I hope you enjoy it!
Aku kelupaan apdet semalam huhuu :')
Vote, kritik, dan sarannya sangat membantu ^^

Up : 30.12.21

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang