Ada saatnya, pembicaraan kecil yang dianggap tidak berharga, kini dapat menyelamatkan hidup seseorang.
Not House, but Home
...
Satu hal yang Dinan paham akhir-akhir ini selain Rin terlalu berbahaya adalah gadis itu pantang menyerah. Seandainya saja Dinan tidak meminta menghargai keputusan dan disusuli permintaan yang sama oleh Rin, pasti semuanya tidak akan pernah terjadi seperti ini.
Tidak akan.
"Ini." Pembatas buku disodorkan. Dinan yang berniat menyembunyikan diri dari tiga orang terkutuk di kelas--Dikta, Rin, dan Raya--malah terperangkap tepat di perpustakaan.
Menyebalkan, bagaimana bisa ia lupa kalau gadis itu seringkali diminta untuk berjaga di meja sirkulasi sana?
Buku non-fksi disanggal menggunakan jari. Dinan mengembus napas panjang, setengah mendongak memperhatikan gadis yang berdiri di samping kirinya dengan malas. "Gue nggak butuh."
"Aku nggak mau bukunya terlipat." Rin menyodorkan pembatas buku berwarna krim itu kembali, ditolak mentah-mentah oleh Dinan. "Kamu tahu itu buku baru di sini. Gimana kalau belum sampai tiga tahun udah rusak? Kasihan adik-adik kelas kita yang mau baca."
"Nggak bakal rusak di tangan gue." Dinan membuka kembali ensiklopedia, tema luar angkasa.
"Pokoknya pakai. Aku yang bertanggung jawab di sini." Tanpa basa-basi, Rin langsung saja menyelipkan pembatas buku di celah ensiklopedia. Membuat Dinan menahan sabar diam-diam. Gadis ini, benar-benar keras kepala, huh?
"Ah! Satu lagi!" Rin membalikkan badan membuat Dinan yang mendesis kini terdiam sesaat begitu melihat sorot mata tegas dari gadis itu. Sulit dipercaya, Rin bisa melakukannya. Apa tempo hari gadis itu benar-benar marah padanya?
Harusnya Dinan bersyukur, kan? Tapi kenapa ....
"Buku itu belum bisa dipinjam, mengerti?"
Dinan menelan ludah, mengangguk pelan.
Mungkin memang tidak seharusnya ia berada di perpustakaan. Bukannya menikmati pendingin ruangan maupun buku yang dibaca, matanya malah tidak bisa berhenti untuk tidak memastikan Rin yang sedang berjaga berulang kali.
Rin yang selalu terlihat lemah dan lembut, tetapi tegas. Hari ini-tepatnya setelah kejadian di gazebo kemarin--pandangannya terhadap Rin seakan berbalik arah, berubah sesaat. Mulai sejak kapan gadis itu mau berdebat dan menghadapi orang sepertinya?
Mungkin sudah lama, hanya saja Dinan baru menyadarinya.
"Dan aku tak punya hati ...."
Langka Dinan terhenti seketika. Mata bundar itu menoleh pada salah satu ruangan di ujung koridor lantai satu. Hanya ada sepasang sepatu di sana, dengan suara alunan gitar akustik dan vokal bass tinggi milik seseorang.
Dikta. Dinan benar-benar tau siapa pemilik sepatu dan suara itu.
Pintu ruangan musik dibuka lebar dengan sekali hentakkan, berhasil membuat Dikta yang tertunduk memperhatikan senar gitar itu menoleh sesaat. Dinan menggeram, menatap tajam. "Bisa berhenti nyanyikan lagu itu? Banyak lagu lain yang bisa lo nyanyikan."
Seakan tidak peduli, cowok berwajah kepucatan itu mengerjapkan mata sejenak lalu mengangkat kedua bahu. "Untuk menyakiti dirimu ...."
"Lo nggak dengar gue, ya?" desis Dinan. Gila! Sungguh dirinya bisa gila dalam sehari saja! Jika tau akan seperti ini, maka ia tidak seharusnya mengiakan dengan sesuka hati saat Papa memasukkannya ke sekolah ini.
"Ini lagu," jawab Dikta datar. Tidak seperti biasanya, kedua sudut bibir yang senantiasa terangkat itu turun, memang sekilas tampak fokus dengan permainan tapi yang dapat Dinan tangkap hanyalah Dikta sedang kalut dalam dunianya, cowok itu mencoba menenangkan perasaannya. "Lo kayaknya punya masalah sama lagu ini."
"Jangan ikut campur," tegas Dinan, membalikkan badan. Nihil, Dikta memanggil, membuatnya mengurungkan niat.
Dikta memejamkan mata, mengembus napas sesaat sebelum tersenyum sinis. "Gue janji nggak bakal mainin lagu ini kalau lo cerita alasannya."
Diam-diam Dinan mengepalkan tangan di balik kedua saku celana. "Harus?"
"Kalau lo mau." Dikta memetik gitar kembali. "Ini lagu favorit gue soalnya. Lagian bentar lagi hari ulang tahun sekolah, kita bakal bawakan lagu ini."
"Sial," umpat Dinan, membalikan badan. Buru-buru ia melepaskan kedua sepatu lalu memasuki ruang musik dengan cepat. "Gue bakal cerita, puas!"
____
"Ma! Dikta ganteng pulang!" Pintu pagar terbuka, berhasil menimbulkan deritan saat hendak dikunci dari dalam. Seperti biasa, pintu depan terbuka lebar seakan menyambut kedatangannya, disusuli dengan perempuan paruh baya yang tersenyum cerah, semangat.
"Dik?" Dikta membenamkan wajah, melingkarkan kedua tangan ke bahu perempuan itu dengan erat. "Kenapa?"
Hening sejenak. Untuk kesekian kali cowok dengan jaket merah maroon itu tenggelam dalam pikiran. Mendengar nada suara khawatir Mama, secepat mungkin ia menjawab, "Dikta kangen Mama."
"Umur kamu sebenarnya udah berapa tahun, hm?" Perempuan itu tertawa terbahak, mengusap puncak kepala Dikta. Keduanya masuk, tampak ruang tengah berantakkan dengan beberapa majalah fashion terbuka, begitu juga buku gambar yang menunjukkan model desain pakaian.
Kadang ingin rasanya Dikta bertanya, apakah Mama benar-benar menikmati hobinya? Atau hanya sekedar pelampiasan saja?
"Cuci tangan kamu, kalau mau makan lagi, udah Mama siapkan di dapur."
"Dikta masih kenyang," gumam Dikta, tersenyum samar. Memperhatikan Mama sekali lagi yang sibuk menggoreskan pensil di buku gambar. "Ma ...."
"Hm?"
"Raya mau ke rumah," izin Dikta, setengah menatap perempuan itu dengan kedua alis terangkat. "Dikta mau minta tolong ke Mama, bilang ke Raya langsung masuk ke kamar. Dikta mau istirahat, malas mau turun ke bawah."
Perempuan itu mengangguk, meraih penggaris sejenak lalu mengusap puncak kepala Dikta. "Nanti Mama sampaikan."
"Makasih," gumam Dikta tersenyum samar, bangkit.
Suara deritan pintu kamar yang tertutup rapat kini terdengar. Menyadari tidak ada anaknya lagi di sekeliling, perempuan paruh baya itu mengembus napas panjang, setengah membanting punggungnya sendiri ke sandaran sofa.
Adikta Prima. Mungkin sekilas hubungannya sebagai ibu dan anak terlihat dekat. Dikta yang ceria dan kerap kali manja padanya. Ah, tidak hanya itu, Dikta juga tidak ragu mengungkapkan kekesalannya jika keinginan itu tidak dituruti.
Latihan band? Pengobatan? Ya, benar. Tapi kenapa di sisi lain ia merasa ada jarak yang cukup jauh dari Dikta? Anak itu seringkali menahannya sendirian, sebuah masalah yang besar seperti tersesat dalam mencari jawaban.
Harusnya cukup bertanya bukan? Tapi kenapa Dikta tidak melakukannya? Lagipula rintihan yang kerap kali digumamkan Dikta ketika tertidur mengingatkan kejadian terbesar yang dialami anak itu beberapa tahun yang lalu.
Siapa sangka hal kecil bagi orang dewasa, memberi dampak yang besar bagi seorang anak?
Entahlah. Perempuan itu menunduk, menutupi wajah dengan kedua tangan. "Bahkan Mama nggak cukup baik untuk menjaga kamu, Dik."
____
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Vote, kritik, dan sarannya sangat membantu.
Up : 17.11.21

KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Teen Fiction[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...