BAB 5 : ISN'T TIME TO BE KIND

151 17 4
                                    

Mereka yang tenggelam dalam kegelapan, akan merindukan cahaya. Namun secepatnya pula mereka menyadari, bahwa sebuah cahaya dapat menyeretnya kembali pada lubang yang jauh lebih gelap.

-Not House, but Home-

...

Dari sepersekian buku yang Dinan baca, seseorang diajarkan untuk membantu orang lain ketika jatuh dan terpuruk. Tetapi entah mengapa, dalam realitanya, dibandingkan membantu, banyak orang yang lebih senang menertawakan orang lain ketika terjatuh.

Seperti memvalidasi diri sendiri mungkin?

Entahlah, yang Dinan tahu, ketika orang terjatuh maka tergantung pada diri tersebut, apakah memiliki rasa ingin bangkit yang dalam? Ataukah membiarkan diri terpuruk dengan anggapan bahwa akan ada banyak lagi luka yang dialami ketika bangkit?

Dinan tidak yakin, tapi untuk saat ini sepertinya ia lebih memilih opsi kedua dibandingkan yang pertama.

Tenggelam dalam kegelapan yang menenangkan.

"Aku pulang," gumam Dinan, nyaris tanpa suara. Pintu rumah yang entah berapa lama terbuka lebar kini ia rapatkan, berhasil membuat perempuan paruh baya dengan lembaran kertas di meja ruang tamu menoleh seketika.

"Pintunya biarkan saja."

Bukannya mengindahkan, Dinan melakukan hal sebaliknya. Cahaya senja yang menyinar sudut ruangan kini lenyap sesaat.

Perempuan paruh baya dengan kaca mata yang bertengger di batang hidungnya, tersenyum hangat. "Gimana sekolah kamu hari ini?"

"Bukan urusan Tante."

"Dinan ...," panggilnya lagi, membuat Dinan yang meniti anak tangga kini mengembus napas panjang, membalikkan badan. "Kotak bekal kamu."

"Hampir lupa," ucap Dinan setengah menggumam. Buru-buru ia mengeluarkan sepaket bekal makanan dari tas sandang. Ya, sebuah bekal yang sudah jelas akan mendapat bulatan mata dari Papa apabila ia menolaknya.

Kotak bekal dibuka, tidak ada yang berubah bahkan dari susunan nasi dan lauk pauk seperti tidak disentuh siapa pun. "Kamu nggak makan?"

"Jelas nggak." Sebelah sudut bibir Dinan terangkat, menatap tajam. "Entah apa yang Tante masukkan ke dalamnya sampai Papa rela ninggalin keluarganya demi manusia kayak Tante."

"Dinan, kamu salah paham. Waktu itu--"

"Nggak ada lagi yang perlu diluruskan," tekan Dinan. Secepat mungkin ia memalingkan pandangan, saat hawa gelap menyelimuti sebagian tubuhnya. Ada rasa tidak enak, setiap ujung jari-jari ini mendingin seketika bahkan tenggorokannya tercekat hingga kesulitan bernapas.

"Sebaik apa pun penjelasan yang kalian berikan, nggak akan bisa mengubah segalanya."

___

Beda hal dengan Dikta. Jika Dinan berhasil menciptakan suasana dingin di balik kehangatan rumah yang tercipta. Maka Dikta sebaliknya, kendaraan beroda empat berhenti di parkiran rumah, berhasil membuat cowok berjaket merah maroon itu menundukkan badan.

"Makasih, Pak. Hati-hati ke kantor Papa."

Pria paruh baya yang menjadi sopir kepercayaan keluarga Prima itu mengangguk, tersenyum. "Saya duluan, Den Dikta."

Dikta melambaikan tangan, kedua sudut bibirnya terangkat hingga mobil tersebut menjauh dari pinggiran. Ya, harusnya ia akan tersenyum ketika sampai di rumah tapi untuk sekarang?

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang