Memiliki orang yang berharga, saling mendengarkan dan menguatkan. Impian yang sederhana, tetapi apa mudah untuk menemukannya?
-Not House, but Home-
...
Hidup lo sempurna, Bego! Ada berapa banyak orang di dunia ini yang mau hidup kayak lo!
Raya mengembus napas terengah, terlonjak dari tempat tidurnya. Cowok dengan kaus hitam dan celana selutut abu itu menyeka keringat dengan punggung tangan, lalu menelan ludah.
Pukul dua malam, tidak seharusnya ia terbangun pada jam seperti ini, karena seingat Raya akan sulit untuk memancing rasa kantuknya kembali. Perlahan, ia memperhatikan beberapa deret ranjang yang terisi oleh anak-anak, tentu dengan umur di bawah darinya.
Dapat tertidur nyenyak setelah menyelesaikan tugas rumah yang diberikan oleh sekolah, mempersiapkan energi untuk menyerap ilmu di esok hari. Sungguh, menyenangkan sekali.
"Wow," gumam Raya terperangah sendiri. Merasa mustahil untuk tertidur, kini ia bangkit, meletakkan guling yang terjatuh, menuju ruang tengah.
Sepi, tidak ada seorang pun di sini. Hanya ada temaram cahaya dari lampu luar yang masuk melalui celah ventilasi. Saat seperti ini, bukankah cocok untuk kalut dengan diri sendiri?
Berpikir bagaimana bisa ia berada di dalam suatu tempat bernama panti, lalu menjadi buronan Ibu BK, serta ....
"Sial, kepikiran lagi," umpat Raya, menjulurkan kedua kaki di sofa, lalu menutup mata dengan sebelah lengan. Ayolah, ia boleh berpikir apa pun, pengecualian tentang Dinan.
Rasa bersalahnya ketika berbicara seenaknya saat itu. Tanpa mengetahui apa yang terjadi, dengan mudahnya ia berkata betapa menyenangkan bila hidup seperti Dinan. Ah, Raya mendesis, melirik majalah yang berada di bawah meja. Salahkan isi majalah itu, siapa suruh menggambarkan hal yang jelas berbeda dengan realita?
Dinan yang hidup dalam keluarga kaya raya, satu-satunya anak dari pemilik usaha mebel dan pengacara terkenal. Tidak hanya keluarga dan kekayaan, baru menginjak sekolah itu saja nilai-nilainya selalu menjadi bahan pujian.
Siapa sangka kalau pada akhirnya ....
"Gue benar-benar bego kayaknya," gumam Raya memejamkan mata, memiringkan tubuh, menghadap sisi sofa. Setelah mengetahui bahwa Dinan menjadi salah satu anggota keluarga Sam, lalu kejadian saat cowok itu mendadak ambruk ketika jam pelajaran, dan satu hal yang ia temukan saat mengawasi Dinan di rumah sakit tadi, tidak seharusnya ia mengatakan betapa bahagianya hidup cowok itu, kan?
Dinan yang terlalu pandai menyembunyikan, raut wajah dan sorot mata yang tenang tanpa beban, siapa sangka kalau semua malah sebaliknya? Menekan emosi dalam-dalam, dan bodohnya, saat kondisi yang tidak stabil dengan seenaknya seorang Raya ini memancing keributan demi keegoisan sendiri, huh?
"Raya?"
Untuk kedua kali, Raya terlonjak seketika. Tubuh itu langsung terduduk ketika sebuah tangan menyentuh kakinya. Ibun. Mata Raya membulat, berusaha menormalkan deru napasnya. Sesak? Sungguh, Raya sendiri tidak tahu kenapa, terkejut, sedih, dan marah seakan bercampur menjadi satu.
"Ini sudah lewat jam tidur." Perempuan paruh baya itu memperingatkan sekali lagi, menghidupkan lampu kedua ruangan yang terlihat redup.
"Kebangun," jawab Raya sekenanya. Mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, nembenarkan posisi duduk sembari memperhatikan perempuan paruh baya yang mendaratkan tubuh di sofa sisi kanan. "Ibun sendiri? Belum tidur?"
"Setelah ini," jawab perempuan dengan rambut terikat satu belakang. Raut wajahnya yang empat puluhan terlihat lelah, cekungan hitam pada matanya jelas terlihat meskipun Raya tau upaya Ibun untuk menghilangkan. "Kamu ada masalah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Teen Fiction[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...