BAB 47 : GIVE UP

106 9 1
                                    

Tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban. Ada kalanya lebih baik tidak mengetahui fakta yang sebenarnya.

Not House, but Home

...

Nyerah, sudah saatnya ia mengangkat tangan atas apa yang dihadapi. Demi apa, seberusaha apa pun Dinan bertanya kepada sekeliling, hasilnya nihil. Mengapa seseorang tetap mempertahankan hubungan padahal sudah jelas tidak ada kesesuaian di antara keduanya?

Jawaban apa yang tepat untuk menghentikan sedikit rasa bersalah itu?

Satu-satunya jawaban ... Dinan tahu harus bertanya ke mana, tetapi Dikta lebih dahulu seakan membaca pikiran dan meminta untuk tidak melakukannya.

Pintu salah satu ruangan rumah sakit digeser dengan kuat. Dinan terdiam sesaat, ia yang ingin langsung melontarkan kekesalannya sontak berhenti begitu saja ketika melihat beberapa tumpuk tisu dengan noda merah di beberapa bagian.

"Dik--"

"Lo mau ganti rugi fasilitas rumah sakit?" tanya Dikta, menatap tajam, Meletakkan gitar yang tadi di pangkuan kini ke sisi tempat tidur dengan pelan. "Lo lihatin apa, hah? Tenang aja ini udah lewat dua jam yang lalu."

Secepat mungkin Dinan mengalihkan pandangan, begitu Dikta mendesis, memasukkan tumpukan tisu itu ke kantong plastik.

"Kayaknya ada yang mau lo bicarakan."

"Sangat, ada." Dinan menggeser kursi plastik dengan cepat, melipat kedua tangan ke sisi tempat tidur. "Ada banyak jawaban yang gue dapatkan. Tapi gue nggak tau apa ini memuaskan atau tidak."

"Yang lo bahas semalam?" tanya Dikta lagi, lalu mengangguk paham. "Itu udah cukup buat gue."

"Wajah lo mengatakan sebaliknya," teliti Dinan, melipatkan kedua tangan ke dada, bersandar dengan santai. "Memang jawaban seperti apa yang lo pikirkan?"

Kedua bahu Dikta terangkat, kembali membenarkan letak rambut begitu juga memanjangkan lengan jaket saat hawa dingin menyerang tubuh. Lagi-lagi ia harus membiarkan tubuh istirahat, padahal baru saja hendak bermain gitar.

"Mama jelas sengaja mempertahankan Papa dalam hubungan." Dikta menelan ludah, tampak jari di antara kedua tangan yang bertautan itu gelisah. "Beda dengan yang lain. Menurut nyokap, memberi hukuman secara langsung, melepaskan hubungan, sama saja dengan membiarkan seseorang bebas dari apa perbuatannya."

Dinan bergidik, mengusap belakang leher, meremang.

"Gue takut," gumam Dikta, tertawa hambar. "Dengan cara itu, Mama cuma menyakiti diri sendiri. Gue juga nggak tau seperti apa yang terjadi ke depannya. Apa bisa berubah? Atau malah jauh lebih parah dibandingkan sebelumnya?"

"Siapa yang bakal nengahin mereka? Siapa yang jaga saat kedua-duanya tersakiti? Siapa yang menampung emosi mereka saat--"

"Pikirkan diri lo sendiri, Dik." Dinan mengembus napas panjang, menepuk pundak dari berat tubuh yang semakin turun itu dengan pelan. Dikta menunduk, membenamkan wajah dengan kedua tangan. "Mereka punya cara selesaikan masalah masing-masing."

"Gue nggak bisa, kalau suatu saat nanti gue pergi, dan hal buruk terjadi ... siapa?" tanya Dikta, menatap menuntut. "Apa lo bisa memastikan semuanya baik-baik saja?"

Dinan menatap tegas, menahan untuk tidak menggertak gigi dengan geram. "Gue yang bakal gantikan lo, puas? Sekarang fokus sama kesehatan, juga diri lo. Silahkan, minta apa saja, hal egois sekalipun selagi gue masih masuk akal buat gue mewujudkannya, oke! Gue lakukan!"

"Kenapa?" tanya Dikta. "Lo mau direpotin sama orang kayak gue?"

Dinan mengembus napas jengah. "Apa perlu gue jelaskan?"

"Dasar," gumam Dikta, tersenyum samar. "Gue berhutang banyak sama lo sedari dulu."

"Gue nggak ada melakukan apa-apa. Gue cuma melakukan apa yang gue mau, cukup itu." Bosan, menatap ruangan yang disinari cahaya matahari terbenam, Dinan meraih gitar, memangkunya. "Akhir-akhir ini lo suram. Habis keluar dari tempat ini, lo mau nge-band?"

"Yakin?" tanya Dikta tersenyum meremehkan.

Kedua alis Dinan tertaut, mengangguk. "Ya. Kenapa emang?"

Dikta tertawa pelan, meraih buku tulis, lalu menyodorkannya ke hadapan Dinan.

"Gue mendadak optimis masih bisa bertemu kalian sampai dua puluh tahun ke depan."

***

"Yash! Berhasil," gumam Sam, memejamkan mata, senyuman puas terukir di bibir setelah melihat kedua orang di dalam sana melalui celah pintu ruangan. Sementara Raya dan Rin yang berusaha mengintip dari belakang punggung tegap itu langsung nengangkat kedua alis, meminta penjelasan lebih lanjut.

"Gimana?" tanya Raya.

"Dikta sama Dinan, mereka berhasil jadi lebih akrab?" tanya Rin.

"Ya," jawab Sam, bersandar di dinding koridor lalu menggamit leher kedua adiknya itu dengan cepat, menuju lift. "Jauh lebih cepat akrab dari yang gue duga."

Raya mengembus napas panjang, tombol lantai satu ditekan, membuat pintu lift tertutup rapat. "Jujur, gue nggak bisa imbangin masalah dan percakapan dia."

"Aku juga," gumam Rin, tersenyum. "Beruntung ada Dinan."

"Ah, masalah mereka nggak jauh beda." Sam bersandar, melipatkan kedua tangan. "Gue pikir mereka memang saling membutuhkan satu sama lain. Keras kepala, naif, selalu memikirkan semua hal secara mendalam."

Raya menyetujui, langkah ketiga orang itu kembali berjalan, menuju bagian kantin. "Seketika gue merasa nggak dibutuhkan."

"Pikiran lo." Langsung Sam menjitak kepala Raya dengan kuat, lalu menggamit leher jenjang itu. Rin yang sembari melipat sweter yang dikenakan hanya tertawa pelan mengikuti dari belakang. "Kita juga dibutuhin mereka! Bisa kacau kalau mereka mode serius kayak gitu terus! Mereka paling payah buat tau menu makanan enak, apalagi Dinan, haish! Gue udah susah payah pamerin kemampuan masak padahal."

Raya menjetikkan jari, melepaskan gamitan tangan dari Sam, menyetujui. "Mereka juga payah buat santai. Belajar terus, sampai mual gue lihatnya. Produktif, kagak! Mabok, iya!"

Rin tertawa pelan, berlari menyamakan langkah ketika Sam dan Raya terhenti saat menyadari gadis itu tertinggal di belakang. "Mereka juga susah buat jujur sama perasaan, apalagi mengekspresikannya."

"Payah." Raya setengah mengumpat diiringi dengan tawaan pelan. Sam menyetujui, begitu juga Rin. Ketiganya menaiki tangga, mengambil meja paling sudut, tanpa penghuni.

Sam berdehem. "Lo berdua pesan apa pun sepuasnya. Gue traktir."

"Serius?" tanya Raya, duduk dengan tegap lalu memperhatikan buku menu dengan semangat. "Oke, gue bakal pilih yang paling mahal. Rin? Buruan!"

"Kurang ajar," kutuk Sam. "Oh ya, gue baru dapat informasi dari nyokap Dikta."

"Apaan?"

Raya mencondongkan tubuh, begitu juga Rin. Dahi kedua orang itu mengernyit, lalu menatap heran ketika membaca pesan dari ponsel Sam.

"Beneran?"

Sam mengangguk, semangat.

____

Thanks for reading! I hope ypu enjoy it!
Update : 15.01.21
Vote, kritik, komen, dan sarannya sangat membantu ^^

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang