BAB 15 : LOST

123 9 6
                                    

Kehilangan. Siapa yang siap jika dihadapkan dengannya?

-Not House, but Home-

...

"Rin, tolong jelasin ke adik gue yang gue bego ini."

Dikta mengerjapkan mata, cowok dengan fever patch yang tertempel di dahi itu membungkam, membiarkan punggungnya bersadar di sisi tempat tidur sembari memperhatikan pemandangan luar melalui jendela.

Jam menunjukkan pukul empat sore dan ia masih saja mengenakan baju tidur seperti ini, sudah hari ketiga ia tidak bersekolah dan sudah ketiga harinya pula ia terus-terusan berada di kamar.

Membosankan, pikirannya terus memikirkan hal yang tidak harus dipikirkan sekarang.

"Sam, Dinan ...," gumamnya, mencengkram ujung selimut dengan erat, tampak bergetar. "Mustahil."

Seingat Dikta, tidak ada yang dinamakan adik atau kakak kandung dalam kehidupan Sam. Tapi dengan lantangnya saat kejadian di gerbang itu Sam menyebutkan? Malah hubungan keduanya terlihat renggang, bukan?

Seperti dua orang asing. Dinan dan Sam yang menjaga jarak serta melemparkan tatapan tajam antar satu sama lain. Berbeda dengan Sam ketika bersama anggota band  yang dianggap sebagai abang pertama, cowok itu terlihat hangat kepada siapa saja.

Lantas, apa yang berubah? Apa masalahnya?

Dikta mengembus napas panjang, tertunduk lemas. "Kalau gini terus bisa-bisa gue yang ketarik di kehidupan Dinan."

Sungguh, ingin rasanya Dikta memalingkan pandangan dari kenyataan sekarang.

"Dik ...."

Pintu kamar diketuk, lalu terbuka perlahan. Menampilkan perempuan paruh baya dengan meteran baju yang bergantung di leher, kedua sudut bibirnya yang terangkat. "Ada Raya."

"Suruh naik ke atas aja, Ma," balas Dikta, tersenyum tipis.

Benar, tidak butuh waktu yang lama bagi Raya untuk ke atas. Hanya dalam beberapa hitungan detik, cowok dengan seragam sekolah yang terlihat berantakkan itu masuk ke kamar. Dasi yang miring, seragam putih yang tidak dimasukkan ke celana, serta ah! Lihat saja, rambut itu sudah tak tentu arah.

"Rambut lo mencerminkan pikiran lo," ucap Dikta tertawa pelan, setengah mendongak memperhatikan Raya. "Berantakkan amat."

"Cepat sembuh, elah. Gue nggak ada temen di sekolah," gerutu Raya, meletakkan tas ke lantai lalu menyodorkan beberapa komik yang telah diikat dengan rafia. "Tuh, bacaan buat lo, kebetulan tadi gue lewat ke tempat rental komik."

"Gila!" Mata Dikta membulat, membuka ikatan dengan semangat sembari menatap judul dan volume komik di sana. "Gue kira udah nggak ada lagi rentalan kayak gini!"

Raya mengedikkan kedua bahu, menggeser kursi belajar ke sisi tempat tidur. "Kalau udah gesrek, berarti lo udah mau sembuh."

Dikta menyetujui, meskipun refleks mendelik. "Harusnya  besok gue bisa sekolah. Etdah, semalam panasmya  tinggi, kurang ajar. Terpaksa ditunda sampai tiga hari lagi."

Diam-diam Raya mengembus napas panjang. Tiga hari, berarti resmi ia harus menahan diri dari suasana dingin di sekolah seminggu lagi.

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang