BAB 13 : BREAK UP

122 13 9
                                    

Kadang lo cuma butuh seseorang yang bisa memahami agar tidak sendirian di dunia ini.

-Not House, but Home-

...

Aku percaya anak-anak adalah masa depan kita
Ajari mereka dengan baik hingga ia menemukan jalan
Tunjukkan kecantikan dari dalam diri mereka
Berikan mereka rasa bangga agar lebih mudah
Biarkan tawanya mengingat akan masa lalu kita

Lagu Whitney Houston, Greatest Love of All, mengalun di panggung taman kota. Cahaya malam terlihat jelas dipadukan dengan kerlap kerlip lampu dari stand makanan dan penjual mainan.

Ramai. Dinan menelan ludah, memasukkan tangan ke saku. Sungguh, ia sedikit menyesal menuruti ajakan Dikta untuk berkumpul melihat perayaan ulang tahun kota di malam ini. Namun di sisi lain, bukankah ia beruntung dapat keluar dari rumah itu?

"Din!" Dikta melambaikan sebelah tangan, memanggil dari kejauhan. Cowok berkemeja kotak merah yang menyelimuti kaos hitam itu tersenyum cerah, bersama dengan Rin yang tampak sungkan, begitu juga Raya yang  bahkan membuang wajah saat tatapan itu bertabrakan dengan Dinan.

"Lo lama amat, elah! Buruan, nonton acaranya! Nih, dari nyokap gue."

"Apaan?" tanya Dinan, menatap totebag berbahan kertas dari Dikta, tanpa berniat mengambilnya.

Dikta menghela napas panjang. "Nyokap gue desainer, punya butik juga. Sebelum produk barunya disebar, dia selalu buatin untuk orang terdekat gue."

Dinan menggertak gigi dengan geram, membulatkan mata. "Gue bukan orang ter--"

"Dah, ambil aja, kelamaan." Dikta menyodorkan secara paksa lalu secepat mungkin berdiri di samping Raya, berlindung di balik tubuh yang terlihat jauh lebih tegap dan besar itu.

Ah. Dinan memejamkan mata, mencengkram totebag dengan kuat. Jangan lupa, di antara semua teman sekelas maka Raya yang terlihat layaknya preman.

"Buruan, nonton acaranya!"

Dikta berjalan terlebih dahulu bersama Raya, sama halnya dengan Dinan yang tersentak saat Rin menarik tangannya, setengah berlari untuk menyamakan langkah dengan dua orang di depan sana.

"Greatest love of all ...." Seluruh penonton nyaris mengeluarkan suara, termasuk Dikta yang melambaikan sebelah tangan mengikuti irama. Perlahan mata bulat itu memperhatikan Dinan yang menatap ke arah panggung dengan tenang, lalu beralih ke genggaman Rin yang tidak kunjung melepaskan.

"Dasar. Gue sebodoh itu ternyata." Dikta mengembus napas panjang. Membuka kotal bekal yang sedari tadi tertutup rapat. Mendadak saja ia menelan ludah saat melihat porsi sayur-sayuran jauh lebih banyak dibanding makanan lainnya.

Raya, kenapa lama sekali keluar dari ruang guru, huh? Sungguh, Dikta tidak ingin lama-lama sendirian di kelas ini.

Baru saja ingin memasukkan makanan ke mulut, sontak sebelah alis Dikta terangkat, langkah Dinan yang tadi menjauh kini seakan memutarbalik ke kelas. "Kenapa? Ada barang lo yang ketinggalan?"

"Ada yang mau gue tanya." Dinan berdiri di ambang pintu  memasukkan sebelah tangan ke saku jaket biru tuanya. "Rin benar-benar sahabat lo?"

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang