Mencintai diri sendiri, tidak selalu menjadi perbuatan egois, kan?
Not House, but Home
...
Dan pada akhirnya, ia terdampar di sini. Tidak hanya bersama Sam yang mendadak berbelok arah ketika memutuskan untuk membeli sarapan bersama. Tetapi, juga bersama Rin dan seorang perempuan paruh baya.
Ah, Dinan mengenal orang ini. Sangat. Seseorang yang menanganinya dalam kurun waktu tertentu bukan?
"Dinan, gimana kondisi kamu?" tanya perempuan paruh baya itu, rambutnya yang tergerai diikat satu. Sungguh, tidak terbiasa bagi Dinan melihatnya berpakaian selain kemeja dan jas putih.
Dinan mengangguk, ulasan senyum terukir, lalu meletakkan mesin pemotong rumput yang ia gunakan setengah jam yang lalu. Halaman sudah tampak jauh lebih rapi, hanya perlu dibersihkan dan mengganti tanah di dalam pot yang terlihat kering.
"Jauh lebih stabil dibanding biasanya," jawab Dinan. Meraih segelas minuman dingin yang berada di halaman berlantai keramik lalu meneguknya.
Perempuan paruh baya itu tersenyum senang. Refleks saja Dinan menjauh ketika sebelah tangan itu ingin mengusap puncak kepalanya.
Merasa kecanggungan antar keduanya, Dinan berdehem, mengangkat beberapa pot dengan tanaman yang teelihat kering.
"Kamu mau Tante panggilkan Rin? Kayaknya dia juga sudah selesai."
Dinan mengangguk. Jika dugaannya benar, bukan di luar sini saja yang canggung, melainkan di dalam sana. Sam dan Rin ataupun Rin dan Dikta. Ah, dulu ingin rasanya Dinan mengatakan kedua orang itu serasi sekali, selain senantiasa ikut campur urusan orang lain, keduanya tidak pernah membiarkan orang lain tenang dan diam. Tapi sekarang?
Entahlah, Dinan ragu. Apakah boleh ia merasakan perasaan lebih kepada gadis itu? Di sisi lain ada rasa senang, tetapi semua kesenangan itu pudar begitu cepat saat mengingat betapa buruknya ia bila membangun hubungan dengan seseorang.
Ada banyak kekurangan yang ia pendam, dan jika ditunjukkan maka Dinan yakin tidak seorang pun dapat menerimanya.
"Kamu mau ganti tanah tanaman?"
Dinan menoleh belakang seketika begitu suara melengking seseorang seakan menyambutnya untuk kesekian kali. Kedua sudut bibir Dinan terangkat tipis, mengangguk.
Rin mendaratkan tubuh, duduk di pinggiran keramik halaman rumah, memasang sarung tangan khusus. Sementara Dinan, menyeret beberapa pot, lalu berapa kantong besar yang berisi tanah. Ah, sudah dicampur dengan kandungan kompos lainnya.
"Selamat untuk kepulangan nyokap lo."
"Besok kali, Din." Rin tertawa pelan, berhasil memperlihatkan lengkungan garis matanya. "Tapi makasih untuk ucapannya."
Dinan mengambil sekop, menggembur dan mengaduk tanah yang berada di kantong terlebih dahulu. "Buku dongeng yang dulu gue cari udah ketemu."
"Oh, ya?" Rin mengerjapkan mata, takjub. "Kamu ketemu di mana?"
"Pesan online," ucap Dinan, canggung. "Dari luar negeri, jadi isinya bahasa asing."
"Nanti kalau kamu udah baca, ceritakan ke aku, oke?" Rin mengangkat jempol, menyodorkannya tepat beberapa senti di hadapan wajah Dinan. Dinan terdiam sesaat, lalu mengangguk singkat.
Canggung. Sungguh kedua orang itu mengakui. Pembahasan basa basi dan hal kecil seperti ini bukanlah keahlian keduanya. Tetapi jika ingin membahas hal berat, apakah situasinya bagus jika dilakukan secara mendadak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Ficção Adolescente[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...