Melepaskan memang sulit, tapi untuk apa mempertahankan jika akhirnya saling menyakiti?
Not House, but Home
...
"Bahkan kalau diingat-ingat sampai sekarang, gue juga masih merasa bersalah," gumam Dikta, tersenyum samar. Meletakkan joystick-nya tidak selera. "Adakalanya kegelapan itu keluar lagi, tapi saat gue mengerti seberapa besar penyesalan itu, gue urungkan buat melakukan kebodohan yang sama."
Raya menelan ludah, lalu mengangkat sebelah sudut bibir. "Nyokap lo jauh lebih ngeri dari bayangan gue."
Dikta tertawa pelan. "Begitulah."
Lelah sudah bermain, Raya beringsut. Mengemas beberapa peralatan PS. "Gue kira lo keluar OSIS karena mukul orang cuma rumor. Secara, gue buronan kalian."
"Buronan." Dikta tertawa, pelan. "Gue bisa aja nangkap lo waktu bolos. Tapi, lo targetnya Sam. Bakal seru lihat Sam kerepotan sama tingkah lo."
Keduanya tertawa, sedikit lega saat Raya memperhatikan senyum itu kembali. "Yah, siapa sangka kalau pada akhirnya gue malah masuk ke dunia kalian."
Dikta tersenyum percaya diri. "Berkat gue, kan?"
Raya mendengkus, setengah ingin menendang punggung itu dengan pelan. "Sialan lo."
***
Surat pengunduran diri, beberapa berkas program kerja organisasi, lalu mengembalikan almamater resmi organisasi.
Dikta tersenyum terpaksa. Padahal bisa saja ia mengantarkannya langsung kepada Sam, tapi entah kenapa Sam jauh lebih sensitif dari biasanya. Kehilangan salah satu anggota,--ah, bahkan wakilnya sendiri--pasti membuat cowok itu terpuruk. Lebih baik, ia tidak usah menyentuhnya dulu, kan? Sampai Sam benar-benar menyesuaikan diri dan menerima apa yang terjadi.
"Permi--"
"Raya, kamu belum sampai setahun masuk ke sekolah ini dan lihat?"
Dikta menghentikan langkah seketika, mengurungkan niat untuk mengetuk pintu ruang bimbingan konseling. Raya, Dikta memperhatikan dari jendela sebelum memutuskan untuk duduk di bangku koridor. Pada akhirnya, Sam berhasil menangkap target, huh?
"Kamu punya masalah apa sampai harus buat catatan sebanyak ini? Ibu nggak mau kalau kamu sampai dikeluarkan dari sekolah."
"Bukan urusan Ibu," ucap Raya, mengerlingkan pandangan.
"Kamu tetap jadi urusan Ibu, Raya. Kamu bisa cerita kalau ada terjadi masalah."
Raya menggeleng, malas. Melipatkan kedua tangan.
"Kamu butuh teman?" tanya perempuan paruh baya itu, mencondongkan tubuh. "Selama satu semester ini, Ibu selalu lihat kamu sendirian."
Raya menelan ludah, mengalihkan pandangan. "Nggak."
"Teman?" Mata Dikta berbinar seketika, tanpa mengetuk lagi, ia langsung membuka pintu dengan semangat. Perenpuan paruh baya itu terlonjak, sementara Raya yang melihatnya mendesis seketika.
"Dikta? Kamu ada perlu?"
Dikta mengangguk, langsung saja meletakkan almamater dalam salah satu laci loker. "Dikta mau kembalikan pakaian, Bu. Sama ini." Dikta menyodorkan beberapa kertas dan amplop surat. "Dikta letak di loker bagian C aja, ya, Bu."
"Silahkan."
Dengan patuh, Dikta meletakkan. Bukannya langsung keluar, melihat suasana yang mendadak hening karena kedatangannya, Dikta memutuskan mendaratkan tubuh di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Подростковая литература[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...