BAB 8 : WHAT'S WRONG?

152 15 2
                                    

Kenapa? Mengapa? Tidak bisakah kalimat sesederhana itu diucapkan? Bukankah selalu ada alasan di balik seseorang melakukan?

-Not House, but Home-

...

Bukan hanya hari ini Dinan mengutuki diri, tetapi di hari inilah ingin rasanya ia mengumpat begitu melihat nilai seni yang hanya selisih satu angka di bawah Dikta. Bayangkan! Satu angka di bawah Dikta! Huh?

"Selamat bergabung, bro." Dikta tersenyum puas, baru ingin menepuk bahu Dinan dengan akrab, sontak saja ditepis dengan kuat.

"Kita mulai darimana? Perkenalan diri?" tanya Dikta lagi, melipatkan kedua kaki, keempat duduk melingkari ruang musik.

Dinan yang tertunduk malas kini melirik. Di antara semuanya, hanya Dikta yang paling bersemangat. Raya? Ah, jangan dilihat lagi mukanya, sekilas saja Dinan sudah tau kalau cowok itu ogah-ogahan. Tidak cukup menjadi teman sebangku, tetapi juga bergabung dalam satu band bersama Dinan.

Rin? Gadis dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu tertunduk, sesekali menggigit bawah bibir. Gugup? Atau takut? Entahlah, yang pasti Dinan baru mengetahui kalau gadis itu menjadi anggota band ini.

"Oke." Dikta menghirup napas dalam-dalam lalu merenggangkan jari. "Karena kita udah saling kenal satu sama lain, bahkan teman sebangku dan sebaris. Jadi, gue cukup kenalin ke Dinan tentang nama band kita. Udah tau, Din?"

Dinan menggeleng. Sungguh, jika tau pun, ia tidak cukup peduli.

"Nama band kita Square, dengan formasi empat orang. Gue sebagai chorus sekaligus gitaris di sini. Rin bagian keyboard, tapi kadang-kadang dia juga nyanyi, khususnya lagu ceria, kan, Rin?"

Tanpa sadar saja, Dinan menoleh. Gadis itu tersenyum tipis.

"Takjub lo, Din?" tanya Dikta, menatap meremehkan. Dinan kembali memasang wajah malas. "Terakhir, di samping gue, Raya. Dia main bass, nggak bisa nyanyi tapi jago ngerap. Lo kasih aja tuh lirik satu kertas, dia bisa lakukan dalam satu napas."

Jika saja kondisinya bukan seperti ini, mungkin Dinan akan tertawa mendengar umpatan Raya yang menendang punggung Dikta dengan pelan.

"Lo mau main apa?" tanya Dikta.

Seulas senyuman sinis terbit dari bibir Dinan. "Gue boleh keluar?"

"Ke mana?"

Entah, penggunaan bahasanya yang payah atau Dikta yang tidak mengerti akan kalimat sarkas, sungguh Dinan tidak tahu. "Keluar dari band."

"Belum juga mulai! Udah keluar aja lo!" Dikta menggeleng kuat, membulatkan mata. Persis mengingatkan Dinan pada bocah lima tahunan saat merebutkan mainan. Ya, bahkan ekspresinya saja dapat kontras berganti dengan cepat. "Gue harap, dengan adanya kehadiran lo, band kita ada suasana baru."

"Makin suram?" gumam Raya, tertunduk sinis, memperjelas.

Sebagai balasan, Dinan membalas tatapan sinis. "Gue pulang dulu." Dinan menyambar tas begitu juga jaket biru tua yang senantiasa dikenakannya. Sebelum Dikta memperkeruh suasana dengan menahannya, secepat mungkin Dinan mengeluarkan ponsel dari saku, mengancungkan. "Ada urusan."

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang