Mereka bilang, rumah adalah tempat ternyaman. Di mana kamu bisa menjadi diri apa adanya, tanpa harus berpura-pura.
Not House, but Home
...
Dinan tidak tahu, mulai sejak kapan ia menjadi begitu dekat dengan Sam. Sejak kapan ia menaruh kepercayaan dengan orang ini begitu saja, bahkan sialnya lagi kadang membiarkan cowok itu menjahilinya. Contohnya saja, tepat di hari libur ini, ia terpaksa bangun jauh lebih pagi akibat ulah Sam yang seenak hati menyenggol pipi Dinan dengan jempol kaki.
"Iya! Gue minta maaf!" ucap Sam, mengendarai kendaraan roda empatnya dengan pelan. Tidak hanya menenteng banyak sarapan di pagi ini, bahkan Dinan patut mencurigai adanya beberapa beberapa peralatan random yang dibeli cowok itu.
Mulai dari pewangi ruangan, pot bunga beserta tanah komposnya, dan beberapa gulungan stiker dinding ruangan.
Dinan menoleh, memperhatikan Sam yang tengah mengemudi. "Lo mau pindah rumah?"
"Hah?" Sam cengo seketika, membuat Dinan ingin rasanya memukul wajah itu sekarang juga. "Ngapain gue pindah rumah?"
"Menahan rasa ingin mengumpat," gumam Dinan, menepuk dada, menahan sabar. Lalu membalas jawaban melalui mata yang melirik bangku belakang. "Lo bilang cuma mau beli sarapan."
"Ah ... itu." Akhirnya cowok itu mengangguk paham, membulatkan mulut. "Yah, niat gue tadi gitu. Mendadak gue dapat pesan dari Rin, nyokapnya besok udah dibolehin pulang. Jadi hari ini dia mau beres-beres rumah."
Dinan diam saja, sembari mengernyitkan dahi.
"Ya, lo bayangin kali, Din. Rumah segede itu dia ngurusin sendiri dalam sehari. Selesai kagak, tepar iya," gerutu Sam. "Lagian meskipun gue akui dia mandiri, tapi nggak semua hal bisa dia lakukan sendirian, kan?"
Dinan mengeluarkan ponsel, mengecek pesan lalu mengangguk pelan. Ah, benar. Bahkan gadis itu juga mengirim pesan padanya. "Rin kirim pesan jam berapa?"
Sam mencondongkan tubuh, memperhatikan traffic light yang terus menunjukkan warna merah hingga beberapa menit berlalu. "Barusan juga, waktu kita cari sarapan."
Dinan hanya mengangguk sebagai jawaban. Tanpa sadar, kedua bibirnya melengkung ke atas, sembari memperhatikan jalanan kota. Padat drngan kendaraan.
Sam melirik, lalu menginjak pedal gas. "Kenapa? Lo dikirimin pesan juga sama Rin?"
"Ya, semalam," jawab Dinan singkat, masih dengan senyum yang merekah.
Aneh. Sebelah sudut bibir Sam terangkat, berbicara untuk terakhir kalinya dalam perjalanan hingga menuju rumah Rin yang menyisakan jarak beberapa menit.
"Biar gue tebak, lo naksir Rin?"
___
"Dik! Lo ngomong apaan dah sama Sam sampai gue kena damprat!"
Dikta yang sedang fokus dengan beberapa buku di meja belajar tersentak seketika. Mata bulatnya mengerjap, lalu menoleh belakang tanpa berminat melepaskan pena di tangan.
Raya. Cowok itu datang tanpa mengirimnya pesan. Kalau cowok itu bisa ke atas tiba-tiba maka sudah dipastikan, Mama yang mengizinkannya.
"Bukannya gue bilang, pergi jauh dari gue?" tanya Dikta, membalikkan badan tidak selera.
"Lo ngajak ribut? Sini! Buruan!" tantang Raya, meletakkan tas yang di sandangnya dengan asal, lalu langsung saja menarik kerah baju Dikta. Mata Raya membulat, tampak memerah. "Kalau ada masalah, cerita, Bego! Bukan tiba-tiba jaga jarak terus hilang dari gue!"
Dikta mengembus napas panjang, melepaskan cengkeraman Raya lalu lanjut kembali mengerjakan tugas sekolah. Hari libur yang seharusnya digunakan untuk beristirahat, sudah tidak asing lagi untuk Dikta yang mengulang kembali materi pelajaran dan mengerjakan setiap tugas yang ada.
Aneh? Biarkan, Dikta tidak peduli.
"Gue nggak mau lo kena imbas," gumam Dikta.
"Percuma! Udah kena!" ucap Raya langsung, menarik pena Dikta dengan kasar lalu menutup buku-buku itu dengan cepat, setengah menyitanya. "Gue bahkan nggak tahu apa-apa antara lo sama Sam. Keegoisan apa? Hubungannya dengan Dinan apa? Gue berasa kayak diasingin sama lo, Bego! Nggak gini caranya!"
"Jadi, gue harus apa, hah!" tanya Dikta balik, tubuh itu bergetar, menatap dengan nanar. "Saat bersikap egois, Dikta yang ada di depan lo bukan lagi orang yang lo kenal! Gue bisa aja nyakitin kalian semua!"
"Makanya, cerita, Bego! Hadeh," gerutu Raya, mendaratkan tubuh di di lantai bercorak kayu krim tersebut lalu menyambungkan beberapa kabel PS. "Lo lebih nyakitin banyak orang kalau tiba-tiba gini, Dik."
Dikta menunduk.
"Hasil pemeriksaan lo nggak bagus?" tanya Raya, memilih jenis permainan.
Dikta mengangguk.
"Itu yang buat lo sedih?" Raya menyodorkan joystick, diterima oleh Dikta.
"Mungkin. Tapi bukan itu."
Embusan napas panjang terdengar, Raya mendaratkan tubuh di sisi tempat tidur, begitu juga halnya dengan Dikta yang memilih duduk bersebelahan. Diam-diam Raya mengerlingkan pandangan, memperhatikan si pemilik wajah kepucatan, Dikta.
Banyak berubah? Sangat. Jika saja boleh jujur, Raya sedikit kehilangan. Tidak cukup dengan rona wajah yang nyaris hilang, senyum dan tingkah jail yang selalu saja dilakukan Dikta kini menghilang entah ke mana. Dikta berubah, cowok itu seakan jatuh dalam lubang asing yang bernama kegelapan.
"Jadi?" Raya berbicara hati-hati. "Gara-gara apa?"
"Gue merasa udah setengah gila kayaknya," gumam Dikta, memperhatikan arena pertarungan dari permainan balap mobil yang Raya pilih.
"Memang," jawab Raya memperjelas. Bersiap-bersiap menekan joystick saat kata go! usai tertera di layar.
"Gue harus jelasin dari mana?"
"Dari mana aja. Termasuk waktu di ruang musik. Gue nggak paham. Sial! Cepat amat udah tikungan!" Tubuh Raya miring ke kanan seakan mengikuti arah mobil yang tertera di layar.
"Lo pasti nyesal pernah sesekali nyuruh gue buat mentingin diri sendiri."
"Bodo amat!" Entah berapa umpatan yang keluar dari mulut Raya, padahal permainan yang dimainkan tidak seseru seperti yang Dikta kira. "Gue nggak pernah nyesal sama keputusan gue!"
Sebelah sudut bibir Dikta terangkat, samar. "Oke, gue mulai ...."
___
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Apdet selanjutnya di malam minggu, ya!
Vote, komen, dan krisarnya sangat membantu!
Terima kasihhhUp : 1.12.21
KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Novela Juvenil[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...