Seseorang hanya butuh diterima. Tetapi untuk menerima seseorang bukankah membutuhkan banyak pertimbangan?
-Not House, but Home-
...
Bagi kebanyakkan orang akan mengatakan bahwa hari ulang tahun adalah hari yang patut dirayakan, di mana sebagai sebuah hadiah atas diri kita yang begitu kuat menahan segala cobaan yang tiada habisnya. Kesedihan, kebahagiaan, tangisan dan canda tawa, semuanya wajib dirayakan dan kembali dikenang sebagai catatan perjalanan diri kita sebelumnya.
Namun tidak bagi sebagian orang, adapula yang menganggap hari ulang tahun tidak jauh berbeda dengan hari biasanya. Untuk apa adanya perayaan, hanya bertambah umur saja, kan?
"Raya! Kancing baju kamu! Ini sekolah!"
Nihil, Raya mengabaikan panggilan dari guru yang menjaga gerbang sekolah. Membiarkan seragam putih itu tanpa dikancingkan dan membaluti kaos putih yang ia kenakan. Tidak peduli, sungguh sedari dulu bukankah ia selalu saja mengabaikan peraturan-peraturan ini? Jadi apa gunanya menuruti? Bukankah namanya juga sudah terlanjur dicap buruk di dalam sini?
"Raya! Jangan cari masalah lagi! Ini masih pagi!" Kali ini salah satu guru yang berada di tangga berteriak menyusuli teriakan guru piket di gerbang sekolah.
Raya berjalan cepat, menggeleng kuat, berusaha sebisa mungkin mengusir teriakan melengking yang membuatnya menjadi sorotan para siswa di pagi ini. Ayolah! Ia hanya ingin merasa tenang dan nyaman berpakaian seperti ini! Jadi siapa yang mencari masalah dengan siapa sebenarnya?
Duk!
"Sial," umpat Raya begitu salah satu kaki mendadak terjulur menyandunginya. "Woi! Lo!"
Mata Raya membulat, mencondongkan tubuh memerhatikan seseorang yang duduk dengan santai di sudut kelas seraya menjulurkan sebelah kaki. Nihil, suara dengan nada tinggi itu sontak berubah menjadi heran. "Dik? Udah masuk sekolah lagi lo?"
"Yep. Jauh lebih cepat dari dugaan gue." Cowok dengan jaket merah maroon-nya itu menyengir. Masih dengan wajah yang tampak pucat dan badan yang kepayahan, Dikta bangkit, lalu menepuk punggung Raya dengan jail. "Selamat bertambah tua bro ahaha..."
"Sialan," umpat Raya, meletakkan sebelah tangan Dikta ke bahunya, berjalan menuju bangku. "Lo kenapa masuk, Bego? Duh, padahal gue udah senang kalau lo enggak masuk."
"Hilih." Dikta mendesis, tubuh itu mendarat di bangku lalu melirik Raya dengan tajam. "Gue udah susah payah ke sekolah padahal."
Raya tertawa, merangkul Dikta dengan kuat. Dikta, orang yang dulunya asing dan sangat ingin ia jauhi kini terasa begitu dekat seperti keluarga sendiri. Dikta yang sekarang baginya bukan hanya lagi menjadi sahabat tetapi juga sebagai adik dalam hidupnya. Ya, meskipun tak dapat dipungkiri ada rasa takut alih-alih Dikta juga akan seperti Sam akhirnya.
Meninggalkannya.
"Bercanda ahaha..." ucap Raya, menepuk dua pundak itu dengan kuat seolah memberikan tenaga pada tubuh tersebut. "Lagian gue suruh istirahat, lo-nya malah kelayapan di sekolah. Kalau gue jadi lo, gue nikmatin tuh hibernasi semingguan."
Sontak Dikta menoleh, menatap tajam. "Jangan pernah mau jadi kayak gue."
"Ya, ya." Raya mencondongkan tubuh, menatap meremehkan. "Karena lo mau jadi kayak gue, kan?"
Dikta menggeleng pelan. "Enggak juga. Lo bego sampai ke persendian, gue enggak suka."
Raya ingin mengumpat tetapi Dikta mengabaikan. Suara gesekan antara bangku kayu dan lantai terdengar. Secepat mungkin Dikta menoleh belakang, senyum itu tampak lebar sama seperti biasanya.
"Woi, Juleha! Eh, gue dicuekin. Dinan, woi!"
Dinan yang baru saja sampai ke kelas dan meletakkan tas sandang itu kini menoleh, mengangkat kedua alis.
Dikta menghentakkan meja di belakangnya dengan kuat seraya mengulurkan tangan. "Kenalin gue Adikta Prima, lo mau jadi sahabat gue?"
Tanpa jawaban dari Dinan, cowok itu menekan volume musik setelah menyumbatkan airpod di telinga. Sudah berapa kali Dikta menjulurkan tangan dan memperkenalkan diri seperti itu, huh?
"Raya lagi ulangtahun, kagak ngucapin lo?"
Raya mendesis. Sementara Dinan, mata bundar itu memperhatikan Raya, mengerling. "HBD."
Raya terdiam sejenak, lalu memalingkan wajah. "Thanks."
Tak ada jawaban dari Dinan. Seperti biasa, mata bundar itu berkutat kembali dengan buku yang baru saja dikeluarkannya dari tas. Dikta yang tadi menghadap belakang kini kembali membenarkan arah. "Jadi, pulang sekolah nanti lo ada rencana?"
"Enggak ada," ucap Raya, setengah duduk di meja Dikta.
"Oke!" Dikta menjentikkan jari dengan kuat. Seperti biaa, mata itu berbinar cerah bersamaan dengan sorot pandangnya yang bersemangat. "Eh, udah datang, selamat pagi masa depannya Dikta!"
Rin mendengkus, melayangkan tas sandangnya ke arah Dikta dan ditangkap Dikta dengan sigap.
Dikta tertawa pelan. "Din, Rin, Ray! Pulang sekolah ini kita ke bioskop!"
"Hah!"
____
"Ya elah, Pak! Kan kita udah pada pulang sekolah!"
Dikta merengek tidak terima, untuk kesekian kali cowok itu berbicara kepada penjaga pintu bioskop. Dinan mengembus napas panjang, begitu juga Raya dan Rin yang menatap malas. Si keras kepala Dikta, sudah dibilang tidak akan bisa, kan?
"Mau ngumpat tapi sayangnya dia lebih pinter daripada gue," kutuk Raya, bersedekap dada sembari bersandar di pinggiran koridor. Pasalnya, sudah tau keempatnya mengenakan seragam sekolah dan si menyebalkan Dikta tetap saja teguh akan pendiriannya.
Stand by Me : Doraemon 1, yang dikatakan menjadi akhir dari kisah robot kucing berwarna biru membuat Dikta mati-matian menonton film tersebut.
"Pak!" Dikta menatap memelas. Sungguh, Rin dan Dinan yang melihat ingin saja membenamkan wajah di lantai koridor ini sedalam-dalamnya. "Lagian kita anak baik-baik, kok. Kita tuh mau nonton-- Ray! Woi! Ngapain lo!"
"Berisik! Udah, nyerah aja." Raya menarik belakang kerah baju Dikta, setengah menyeretnya menjauh dari bioskop. "Masih ada besok. Pulang dulu kita."
Rin menunduk, mengusap belakamg leher tidak enak. "Maafin temen kita, ya, Pak."
Pria dengan seragam penjaga itu tersenyum, mengangguk. Sama halnya dengan Rin, Dinan membalikkan badan, mengikuti langkah dua orang di hadapan. Keduanya berjalan pelan, tanpa sadar menyamakan langkah satu sama lain, beriringan, hanya saja tidak sepemikiran.
Rin yang kali ini memperhatikan Dinan penasaran, tetapi Dinan? Tidak, cowok itu sibuk memperhatikan perempuan dan pria paruh baya dengan pakaian formal yang jauh beberapa meter darinya. Kedua tersenyum, memiliki sorot mata yang penuh dengan kehangatan bahkan kepedulian.
Mungkin Dinan bisa menyebutnya asing, tapi reaksi tubuhnya? Sebaliknya, entah mengapa tangannya terkepal erat dan mendadak saja buliran keringat dingin menyembul di dahi yang mengernyit selama beberapa detik. Reaksi yang sama ketika di malam hari, pasokan oksigen seakan menepis berhasil membuat tenggorokannya tercekik.
"Dinan?" panggil Rin, membalikkan badan ketika sadar Dinan tidak lagi berjalan bersisian. "Ayo."
Dinan tersentak seketika, lamunan itu buyar sesaat ketika tangan kecil Rin tanpa permisi menggenggamnya, menariknya berjalan bersama Dikta dan Raya.
Untuk pertama kalinya, Dinan mengakui, ia mengerti alasan Sam sulit untuk melepaskan gadis ini.
____
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Karena ada buat beberapa draft. Nah kalau vote yang part ini banyak, aku bakal update besok untuk part selanjutnya. Makasih ^^Masih patah hati lihat berita Kim Seon Hoo huhuu :')
Up : 20.10.21
![](https://img.wattpad.com/cover/280894609-288-k122807.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Teen Fiction[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...