BAB 49 : THANKS FOR LOVING ME

135 12 12
                                    

Meski ada banyak hal menyebalkan di luar sana, baik kesakitan maupun kepedihan. Namun, terasa sempurna saat menemukan tempat pulang yang begitu nyaman.

Not House, but Home

...

Bersamu kulewati, lebih dari seribu malam
Bersamamu yang kumau ....
Namun kenyataannya tak sejalan.

Piano terus berdenting indah begitu juga dengan suara nyanyian yang terlontar. Berbagai nuansa diciptakan, memenuhi setiap sudut ruanhan aula. Perpisahan sepeeti ini, mungkin bagi beberapa orang tergolong biasa saja. Hanya acara formalitas, bukankah masih ada banyak cara beekomunikasi nantinya?

Ya, tapi untuk beberapa orang? Tidak, perpisahan adalah perpisahan. Di mana seseorang dapat pergi begitu saja, meninggalkan harapan dan kenangan pada orang terdekatnya.

Tuhan bila masihku diberi kesempatan.

Izinkan aku untuk mencintanya

Namun bila waktuku tlah habis dengannya

Biar cinta hidup sekali ini saja ....

Dinan memejamkan mata, sesekali menepuk dada dengan pelan, menahan diri agar dari dalam dasar diri sana tidak mencurahkan emosi dalam jumlah yang begitu banyak. Padahal, hanya sedikit ia meluapkan. Tetapi kenapa kewalahan?

Speeninggalan Dikta, dan juga sorot mata perempuan paruh baya itu ....

Berbinar. Entah sedih atau sebaliknya, Dinan tidak tahu. Yang pasti ia juga sama, menahan cairan bening di sudut mata dengan susah payah agar tidak tumpah begitu saja. Tuts ditekan dengan kuat, kontras dengan awal yang lembut dan menenangkan.

Tuhan bila dapat kuputar kembali

Izinkan sekali lagi untuk mencintanya ....

Namun bila waktu ini tlah habis dengannya

Biar cinta hidup sekali ini saja ....

Sesak.

Ia kesulitan bernapas.

Dinan menelan ludah, menarik napas terengah. Suara tepuk tangan saling beradu satu sama lain dengan penonton yang bangkit dari kursi. Akankah ini yang Dikta rasakan setiap harinya?

***

"Dik ...."

Pintu kamar diketuk lalu dibuka dengan pelan. Adikta Prima, tampak cowok berusia belasan tahun itu membenamkan wajah dilipatan tangan, menumpunya di meja belajar. Kedua mata bulatnya bergerak kiri kanan, berusaha sebisa mungkin mencerna materi dari buku pelajaran di hadapannya.

Bukankah segala hal akan menjadi mudah bila ia menganggapnya mudah? Tapi kenapa semakin ia mencoba memikirkannya malah ....

"Dikta," panggil Mama. Sebelah tangan perempuan itu terulur, mengusap punggung Dikta dengan pelan. "Mama tau kamu besok udah mulai ujian nasional, tapi istirahat dulu, ya?"

Di balik mata yang hampir terpejam, Dikta mengangkat sebelah sudut bibir. Membiarkan buku latihan soal dengan tebal empat senti itu terbuka di hadapannya. "Sebentar lagi, Ma. Tiga puluh menit."

"Istirahat dulu, Dikta," ucap perempuan itu setengah memaksa. "Lihat? Kamu udah ngantuk, jangan dipaksa. Kalau Dikta memang masih mau belajar, beberapa jam nanti Mama bangunin. Tapi, sekarang tidur dulu, ya? Udah malam."

"Sekarang jam berapa, Ma?" gumam Dikta, mata yang tadinya berusaha ia pertahankan untuk terbuka kini tertutup perlahan.

"Sepuluh," Mama menatap jam digital tepat di meja kecil samping tempat tidur lalu mengalihkan pandangan. "Jangan tidur di sini. Mana tangan Dikta? Biar Mama bantu tun ... Dik? Dikta?"

Not House, but Home [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang