Saat sebuah pertemuan hadir, bukankah seseorang harusnya telah siap akan sebuah perpisahan, mengucapkan selamat tinggal, meskipun tidak peduli berapa banyak kenangan yang tercipta
Not House. But Home
...
"Ma ...." panggil Dikta, anak laki-laki berusia enam tahun itu berdiri di ambang pintu dapur setelah usai meletakkan kembali barang di kulkas. "Mama lihat cokelat Dikta?"Perempuan yang sibuk memoles buku gambar dengan cat kayu di ruangan tengah itu terbatuk seketika. "Cokelat?"
"Mama, cokelat Dikta ...." lirih Dikta, menaikkan bibir bawah, lalu menghampiri Mama dengan bungkusan cokelat yang tergeletak di meja ruang tengah. "Mama makan, ya?"
Perempuan itu tertawa pelan, lalu mengangguk, mengusap puncak kepala Dikta. "Mama makan, hehe .... Maaf, ya, belum bilang. Dikta mau lagi memangnya?"
"Itu ...." Anak laki-laki itu tertunduk, mencengkeram bawah kausnya dengan erat. "Dikta mau cari teman di luar, boleh?"Perempuan itu terdiam seketika, mengerjapkan mata, tidak percaya. "Eh?"
Dikta mengangguk. "Dikta ada baca di buku perpustakaan sekolah. Katanya kalau mau kenalan sama orang, Dikta harus mulai duluan. Dikta nggak bisa, mungkin kalau Dikta tawarin makanan mungkin bisa ada obrolan kali, ya, Ma?"
Bibir bawah perempuan itu terangkat, mencondongkan tubuh. "Coba, deh, sini Dikta praktekin dulu ke Mama."
"Hm?" Alis Dikta terangkat, wajah itu memucat sesaat, berdiri dengan tegap. Gugup. Lagi-lagi, pikirannya selalu bekerja jauh lebih cepat sebelum memgungkapkan kata. Apa yang di pikirkan pihak lawan bicara saat bertemu dengannya? Mengecapnya sama seperti apa yang terjadi di sekolah? atau mungkin menganggapnya anak man ....
"Dik?" panggil Mama, memyadarkan lamunan Dikta.
Dikta tersentak, dengan perlahan sebelah tangan kecil itu terangkat. "Adikta Prima, salam kenal. Mau jadi teman Dikta?"
Mama membalas jabatan tangan kecil itu. "Coba Dikta tanya namanya."
"Nama kamu siapa?"
Perempuan itu kembali menambahkan. "Kamu suka main apa? Makanan favorit kamu apa? Warna kesukaan juga. Kalau Dikta, suka baca buku, makanan favorit Dikta cokelat, warna kesukaan Dikta .... Dik, warna kesukaan Dikta apa?"
"Kuning, merah ini juga," Dikta menunjukkan gambar desain busana Mama. Tampak perempuan dengan gaun merah maroon glamornya. Tidak hanya itu juga tertera hiasan bunga yang cukup besar di kepala. "Memangnya penting, Ma?"
"Penting, Dikta," tekan Mama, mencengkeram kedua bahu kecil itu, menyemangati. "Obrolan kecil yang sering dianggap tidak penting, sebenarnya bisa jadi penting. Ah, tapi sebelum Dikta bertanya, Dikta harus terbuka dulu dengan teman Dikta, ya."
"Terbuka?" ulang Dikta, tidak memgerti. "Contohnya?"
"Tadi." Mama menjentikkan jari. "Kan, Dikta ada tanya makanan favorit, ataupun warna. Nah, Dikta harus beritahu dulu apa kesukaan Dikta, baru teman Dikta juga percaya."
"Rumit," gerutu Dikta, mengangkat bibir bawah.
"Coba dulu, ya," bujuk Mama, membalikkan badan Dikta lalu menuntunnya hingga keluar pagar. "Jangan main jauh-jauh, sekitar kompleks aja, mengerti?"
Dikta mengangguk pelan, menatap belakang dengan ragu. Suara teriakan saat mencetak gol dari beberapa orang terdengar. Terlihat menyenangkan, tapi Dikta tidak yakin bila kata menyenangkan itu terjadi ketika ia memainkannya.
Pintu pagar ditutup. Dikta berjalan pelan, tanpa melepaskan pandangannya pada lapangan sepak bola. Dikta memperhatikan. Setengah bersembunyi di belakang pohon lapangan.
Menakutkan, itulah kesan Dikta saat pertama menghadapinya.
Ada banyak orang di sana. Mulai dari seumuran dengannya bahkan hingga lebih dewasa.
Seperti apa pandangan orang itu terhadapnya?
Sungguh, Dikta tidak siap bila orang itu menganggapnya aneh, merendahkannya, lalu ....
"Ah! Maaf, maaf."
Dikta termundur seketika, begitu bola kaki berguling menyentuh sendal. Dahinya mengernyit sejenak, lalu mengambil. Tanpa peduli dengan tangan yang kotor terkena tanah, ia memperhatikan tanda tangan dengan spidol hitam.
"Gonzales," gumam Dikta.
Suara tawaan riang dari seseorang terdengar. Dikta mengangkat kepala, seseorang dengan tinggi yang setara dengannya. Anak laki-laki berkaus putih itu menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "Maaf, bolanya nyasar."
Dikta mengangguk pelan, menyodorkan bola.
"Ah!" Mata bundar si lawan berbicara membesar, tanpa permisi, ia berdiri di sebelah Dikta lalu merangkul bahu itu dengan semangat. "Kenal Cristian Gonzales? Ah! Kemarin aku dapat tanda tangannya waktu nonton sama Papa."
Dikta mengangguk pelan, canggung.
"Mau ikut main juga?" tanya anak laki-laki itu lagi, lalu membalas teriakan dari beberapa pemain di sana yang meminta bola.
Dikta menoleh sejenak, tersenyum tipis. "Nggak bisa main."
Anak laki-laki itu menggumam, menaikkan bola matanya berpikir. "Mau nonton? Aku juga udah selesai, biar gantian sama yang lain."
Baru saja Dikta ingin menggeleng, anak laki-laki itu seenak hati menarik tangan Dikta lalu menendang bola sesampainya di lapangan.
Dikta membungkam, duduk dari bangku penonton, memperhatikan.
Dengan napas terengah dan senyuman puas yang terukir di bibir bawahnya, anak laki-laki itu mengulurkan sebelah tangan lalu tertawa pelan.
***
"Dinangga Atma. Salam kenal."
Dikta bercerita, menjulurkan tangan. Ia melepaskan joystick dari genggaman, meniru ekspresi wajah dan nada bicara anak laki-laki itu.
Raya mengerjapkan mata, terperangah. "Gue mendadak jadi teringat waktu dia jadi anak baru di kelas. Lo nggak berhenti kenalan sama dia."
"Hm." Dikta mengangkat kedua bahu, membenarkan letak bantal sebagai penyanggal punggungnya yang bersandar di sisi tempat tidur. "Teman dia terlalu banyak, jelas nggak bakal kenal sama orang kayak gue."
Raya menoleh sejenak, memperhatikan bola kaki yang tergeletak di bawah meja belajar. Bola yang sama seperti diceritakan Dikta, dengan tanda tangan spidol hitam yang mulai memudar.
"Dia teman pertama gue." Dikta tersenyum samar. "Tapi menurut dia, gue bukan apa-apa."
"Hah?" Raya mencondongkan tubuh, memilih permainan yang lain. "Lo emang temenan sama dia berapa lama, dah?"
"Seminggu," jawab Dikta, tertawa pelan. "Setelah itu dia keburu pergi."
"Pergi?"
Dikta mengangguk. "Gue nggak tau ke mana, tapi rumahnya kosong, dan nggak lama ada tulisan dijual di sana."
Raya membungkam, membiarkan Dikta yang tertunduk itu berbicara. Tidak peduli berapa lama waktu yang dihabiskan, untuk hari ini, ia akan menemani Dikta. Tidak lagi sendirian.
"Harusnya gue senang, sekarang gue benaran satu sekolah sama dia. Tapi di saat itu juga, gue benar-benar merasa dipermainkan. Orang yang gue kagumi, bahkan ingin seperti dia malah hancur berantakkan. Mengingatkan gue pada seseorang ...."
"Siapa?" tanya Raya, heran.
Embusan napas panjang lagi-lagi terdengar. Dikta tertawa sarkas. "Diri gue di masa lalu."
***
Karena kugabut akhirnya kumemutuskan buat apdet wkwkwk. Vote, kritik, sarannya sangat membantu! Terima kasih sudah membaca ^^
Up : 10.12.21
KAMU SEDANG MEMBACA
Not House, but Home [COMPLETE]
Novela Juvenil[Remake : Your Home] Katanya, dapat mengawali hidup baru itu menyenangkan. Namun tidak menurut Dinangga. Kehidupan baru yang ia jalani sama gelapnya dengan apa yang pernah ia lalui. Hidup bersama abang tiri dan berhadapan dengan perempuan yang mengh...