Matahari sudah lama tenggelam, semua orang merasa semakin lelah tiap-tiap menit bergulir untuk menjumpai malam. Pria itu menghela napas berkali-kali, ingin segera menerjunkan dirinya ke atas kasur, namun tak bisa. Punggungnya terasa pegal karena berkendara cukup lama. Jika bukan karena penumpang mobilnya yang terus bicara, ia bisa saja tertidur.
"Mama, aku haus."
"Mana botol airmu, Sayang?"
"Tidak ada. Hayun sudah mencarinya tapi tidak ketemu. Bukankah tadi Papa meminjamnya?"
"Oppa, botol minum Hayun bersamamu?"
Sesungguhnya ia betah menjadi seorang pendengar tanpa respon, tetapi pertanyaan itu datang berkali-kali layaknya tagihan hutang, ia lelah juga.
"Tidak ada. Sudah aku berikan padanya saat di restoran."
"Tapi tidak ada. Botolnya ketinggalan? Ah~ Mama itu botol kesayanganku!"
"Sudahlah, kita akan beli yang baru jika tidak ketemu."
Tidak tahu mengapa, ia gemas. Perasaan itu memunculkan aura negatif, bahkan ekspresi wajahnya pun sangat terganggu. Bukan hanya karena terlalu banyak kalimat protes dengan nada yang menyakiti telinga, tiap kali ia menoleh ke arah spion mobil, ia semakin geram.
"Tapi itu botol kesayanganku, Mama."
"Hayun-a, kau lebih baik tidur saja. Esok Mama akan belikan yang baru untukmu. Ada ribuan botol seperti itu dijual di mal."
"Tapi Mama-"
"-kau akan semakin haus kalau terus bicara, Hayun-a. Diamlah." Terlalu geram, ia akhirnya bersuara juga. Ia tak sempat lagi memperbaiki suasana sebelum berucap, hingga kalimatnya terdengar jelas tidak tertata dengan kelembutan. Kedua pendengar yang sama-sama duduk di belakang itu langsung menatapnya, kompak untuk memberikan protes.
"Oppa?" sang istri cukup memanggilnya dengan nada penuh arti, mempertanyakan perilakunya. Pria itu miris karena akhirnya sang istri mengangkat kepala juga, setelah sejak tadi tertunduk dan terpaku pada ponsel.
Suasana menjadi semakin buruk. Mereka bertiga diam saling tak mau menatap. Diungkapkan dengan sebuah dengusan, pria itu menampakkan kebencian dengan hidupnya saat ini. Bersama istri yang terus saja menjadi sosialita bersama ponsel kecintaannya, juga sang anak yang luar biasa manja bahkan menjengkelkan, ia benar-benar muak.
"Aku haus!" Tiba-tiba sang anak berteriak mengejutkan semua orang, pria itu tak bisa lagi menahan emosi.
"Lee Hayun!" ia berteriak lebih keras, membulatkan kedua matanya menatap sang anak.
"Oppa!"
Inilah yang terjadi. Alasan mengapa ia benar-benar muak dengan keluarganya sendiri. Anak yang tidak tahu sopan santun, istri yang hanya bisa bicara dan sok melindungi tanpa ada pembuktian, dan seorang suami yang muak dengan hidupnya.
Pria itu dengan penuh emosi menghentikan mobil di pinggir jalan, kemudian tanpa penjelasan ia keluar. Pendingin mobil tidak sanggup mendinginkan kepalanya. Meski sang istri memanggil, ia tetap tak ingin menoleh. Ia berjalan terus saja meninggalkan mobilnya tanpa ingin berbalik.
"Oppa!" sang istri menyusulnya turun dari mobil, ia membiarkan suara anaknya yang menangis terdengar oleh semua orang yang ada di sekitar mereka karena lupa menutup pintu. "Apa-apaan kau ini? Kau sadar dengan apa yang kau lakukan?"
Pria itu muak untuk memulai perseteruan, apalagi di tengah tempat umum seperti ini. "Aku ingin mencari swalayan. Kau tenangkan dia." Ia berucap lebih pelan. "Suruh dia menunggu. Akan aku carikan minuman juga cemilan agar dia tidak marah lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wattpad and Chill 18🚫
Fanfiction🚫PLAGIAT ADALAH TINDAKAN KRIMINAL🚫 [REPOST] Wattpad and Chill was popularly known as Lost, Lust, Love. Penulis memperhatikan beberapa orang mungkin tidak akan nyaman ketika bias mereka mendapatkan karakter yang buruk. Mohon ditekankan bahwa semua...