Sendiri. Jangan tanya kenapa aku mulai terbiasa sendiri. Aku marah, aku lelah, aku tak tau harus apa. Ini seperti berharap sebuah batu besar terpecah menjadi kerikil dalam waktu singkat. Ketika terlalu memaksakan ego, bukannya berhasil, tangan kita malah terluka. Aku dan dirinya, seperti tidak ditakdirkan bersama, namun memaksakan ego untuk terus bersama. Apa gunanya? Hubungan kami tidak menghasilkan apapun melainkan rasa sakit.
Setelah malam penuh cinta dan pagi penuh airmataku itu, semua kembali seperti semula. Aku dan dia, asing. Kami tak lagi bicara, berinteraksi, atau apapun. Ia semakin jarang pulang ke rumah, dan tidak pernah lagi menyentuh makanan buatanku.
Yah, itu kenyataannya.
Terkadang aku sedikit egois, berharap dia berubah menjadi orang lain. Tetapi, itu tidak mungkin. Memaksakan egoku padanya hanya akan terus membuat kami menjauh.
Aku hampir putus asa. Seperti, kesabaranku hampir habis. Aku mungkin pada akhirnya akan terbiasa. Terbiasa tanpa dia. Mengharapkannya lagi, tidak. Memikirkannya lagi, tidak. Mungkin di akhir cerita, aku dan dia akan menjadi sama. Saling mengacuhkan.
Aku bosan di rumah. Aku ingin pergi ke luar menenangkan diri. Tapi aku tidak punya uang. Jungkook tidak pulang, sehingga dia tidak memberiku uang seperti biasa. Aku punya tabungan, tapi itu tidak boleh digunakan. Aku sudah berjanji pada ayah Jungkook untuk tidak pernah menggunakan uangku sendiri.
Lagi-lagi, alasan ku bertahan padanya adalah ayahnya. Dan kenyataan aku mencintainya, walaupun aku tau segalanya itu tidak akan berpengaruh. Aku melukai diriku sendiri dengan mencintainya, dan apa yang kulakukan hanyalah menyalahkan ketidakmampuanku untuk menolaknya. Mabuk dalam cintanya, yang seakan merusak diriku secara perlahan.
Aku ingin menjauh, tapi ajaibnya kaki ini tak pernah bisa melangkah jauh darinya. Dia, yang seperti menarikku dalam kegelapan untuk mencekikku dengan cinta dan benci, menjadikanku terobsesi. Aku memberikan segalanya, tetapi sesungguhnya tanganku bahkan tak bisa menggenggam apapun selain harapan kosong.
Aku lelah menangis. Menangisi dia yang bahkan tak tau. Tak mau tau. Jeon Jungkook, apa dia belum puas memperlakukanku seperti ini? Aku membongkar rumahnya, mencari kesibukan untuk menghabiskan waktu di rumah. Aku sudah tidak punya uang lagi. Jika dia tidak pulang hari ini, maka aku akan melanggar janjiku.
Aku mendapatkan beberapa barang lama milik Jungkook, seperti raket tenis, beberapa dadu dan juga foto keluarganya. Omong-omong soal foto keluarga, aku dan dia bahkan tidak memajang foto pernikahan kami di rumah. Miris, ya? Aku pernah ingin melakukannya, tapi dia melarangku. Tidak, dia tidak mengajakku bicara. Hanya sebuah kalimat yang keluar dari mulutnya begitu melihat foto pernikahan kami telah selesai dibingkai.
'Jangan gantung apapun di rumahku.'
Aku tidak menggantung apapun setelah itu. Kalau aku menggantung diriku di rumahnya, apa dia akan marah, ya? Haha. Ini bukan pertama atau kedua kali aku berfikir untuk melukai diriku agar diperhatikannya. Percuma. Tak perlu dilakukan karena semua itu sia-sia.
Aku sibuk membersihkan setiap debu di rumah. Gila memang, selama 100 hari terakhir, setiap hari yang kulakukan adalah membersihkan debu. Debu yang bahkan belum sempat mengotori rumah. Bisa saja Jungkook mempertahanku karena aku selalu bersih-bersih. Atau mungkin karena dia bisa mendapat pembantu dengan harga yang lebih murah? Terkadang aku terlalu pusing hingga berpikir kemana-mana.
Ponselku yang selalu sepi itu tiba-tiba berdering. Bukan. Bukan Jungkook, tapi Wonwoo.
"Yeoboseyo,"
"Hai, Wonwoo-ya."
"Kau sibuk?"
"Sejak kapan aku sibuk? Aku terlalu sering di rumah. Ada apa? Kau sudah pulang ke Seoul?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wattpad and Chill 18🚫
Fanfic🚫PLAGIAT ADALAH TINDAKAN KRIMINAL🚫 [REPOST] Wattpad and Chill was popularly known as Lost, Lust, Love. Penulis memperhatikan beberapa orang mungkin tidak akan nyaman ketika bias mereka mendapatkan karakter yang buruk. Mohon ditekankan bahwa semua...