Surat untuk Pangeran Je Eun telah dikirimkan sejak beberapa hari yang lalu, saat Yang Mulia Je Ha memberikan titah. Choi Yun dan Do Rim pun juga sudah mengetahui terundurnya jadwal mereka kembali ke barak utara.
"Siapa itu?" Tanya Ha Na pada seorang dayang.
Saat ini ia sedang berjalan sendirian tanpa si adik. Ha Na hendak menuju taman istana sebelum sesi latihan dengan Choi Yun dimulai. Entah kenapa hari ini ia ingin menikmati semilir angin di tempat sepi tanpa ada gangguan sekecil apapun.
Dimatanya terpampang Adik Yang Mulia Je Ha - Pangeran Je Eun - yang turun dari kuda berwarna silver, dan berjalan kearahnya.
Si dayang baru saja ingin menjawab, tapi Sang Pangeran sudah berdiri di hadapan Ha Na, berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Ha Na.
"Wah, lihat siapa ini! Kau sudah besar Ha Ni" Ucap Pangeran Je Eun sembari menepuk - nepuk pucuk kepala Ha Na.
Ha Na menatap tajam tangan Pangeran Je Eun. Kemudian tatapannya beralih pada kedua manik mata Pangeran.
"Ingin mati?" Ucap Ha Na. Tangan yang sedari tadi masih menepuk - nepuk pucuk kepala Ha Na langsung berhenti kaku. Senyuman ceria Pangeran Je Eun ikut memudar.
"H-Ha Na?" Ucapnya gelagapan. Bukannya menjawab Ha Na menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan mata masih menatap Pangeran Je Eun.
Dalam hati Pangeran, ia sedang menghela napasnya pasrah. Ia pikir yang sedang ia sapa adalah si bungsu - Ha Ni - siapa yang tahu bahwa yang ia sapa malah si sulung. Ia masih dengan jelas mengingat bagaimana perbedaan sifat anak - anak kakaknya tersebut.
Saat masih umur tiga tahunan, itu adalah kali keduanya ia menemui keponakan - keponakan kecilnya setelah kelahiran mereka. Meskipun kedua kalinya bertemu Pangeran Je Eun tetap memperkenalkan dirinya kembali.
Awalnya Ha Ni terlihat sedikit takut, tapi tetap mau menerima jabat tangannya, membuat Pangeran Je Eun segera memeluk Ha Ni karena tingkah menggemaskannya. Setelah perkenalan kedua itu Ha Ni sering mengunjunginya selama ia singgah di istana. Membawakan camilan maupun teh ke paviliunnya, walaupun yang memegang napan adalah para dayang. Pangeran Je Eun selalu tertawa melihat tingkah lucu dan polos Ha Ni.
Bagaimana dengan Ha Na? Sepertinya tidak perlu dijelaskan lagi.
Saat Pangeran Je Eun mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, bocah kecil itu hanya diam dan menatapnya tanpa ekspresi. Malahan, tanpa menerima jabat tangan Sang Pangeran, tiba - tiba Ha Na melontarkan pertanyaan acak.
"Aman takut ngan wan apa?"
[Paman takut dengan hewan apa?]"Paman takut dengan hewan apa?" Beo Pangeran Je Eun. Ha Na mengangguk - anggukkan kepalanya.
"Em, paman takut dengan laba - laba. Kakinya yang banyak dan bulu disekujur tubuhnya membuat paman merinding"
"Aiklah"
[Baiklah]Ha Na melenggang pergi diikuti oleh Ha Ni di belakangnya. Sejak saat itu setiap pagi di paviliunnya, Pangeran Je Eun selalu menemukan laba - laba dengan ukuran yang cukup besar. Karena hal itu prajurit yang berjaga di gerbang paviliun Pangeran Je Eun sering mendengar teriak ketakutan tuannya.
"H-Ha Na sudah tumbuh besar, apakah Ha Na tidak mengingat siapa paman? Paman Je Eun"
"Paman Je Eun?"
"Ya, Je Ha, Je Eun. Ingat?" Saat mengatakan nama Yang Mulia Je Ha, Pangeran Je Eun menunjuk tempat rapat yang biasa digunakan kakaknya, dan saat mengatakan namanya, ia menunjuk dirinya sendiri.
"Wajar jika Ha Na lupa. Terakhir paman datang ke istana sekitar tujuh tahun yang lalu. Em, kira - kira saat umur Ha Na masih tiga tahun"
"Baiklah, Ha Na mengerti. Kenapa tiba - tiba paman pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartless [TAMAT]
Fiksi SejarahTerlahir sebagai anak kembar dari Permaisuri Kerajaan Yang. Ha Na, si kakak. Memberikan posisi yang seharusnya ia duduki pada si adik, Ha Ni. Ia memilih untuk melindungi Ha Ni untuk menggantikan posisi ayahnya menjadi seorang pemimpin. Untuk bisa me...