POV MONICA
Leon mendiamkanku sejak semalam. Bahkan saat ini dia mengabaikanku dan lebih memilih melihat pemandangan jalan dari jendela mobil daripada menatapku.
Tiba-tiba saja dia marah tanpa alasan yang jelas. Bukankah seharusnya akulah yang marah, karena dia dengan seenak perutnya mencium bibirku tanpa ijin.
Mungkin hubungan kami di masa lalu, sudah terlalu sangat jauh. Berciuman atau melakukan hubungan yang lebih intim adalah sesuatu yang wajar.
Tapi aku yang sekarang, adalah seseorang yang tak punya ingatan apapun tentang segala kesalahanku dimasa lalu. Aku ingin memperbaikinya. Aku tak ingin terjerumus dalam dosa yang tiada akhir. Dimataku, dia tak ubahnya hanya sebagai seorang adik laki-laki, yang harus ku jaga dan kulindungi.
"Leon, aku ada kerja lembur hari ini. Mungkin pulang agak malam. Jadi kurasa nanti malam kau makan duluan saja." Ucapku saat mobil kami berhenti di depan gedung kampusnya.
"Hemmm." Jawabnya singkat.
Dia segera menyodorkan wajahnya di hadapanku dan seperti biasa, kulayangkan sebuah kecupan hangat di keningnya. Setelah itu dia turun dari mobil, langsung melangkah masuk ke kampus tanpa menoleh ke arahku lagi.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang.
Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan padanya. Dengan mudahnya dia terus melakukan sentuhan fisik padaku tanpa merasa malu ataupun sungkan.
Padahal aku tak terbiasa dengan sentuhan-sentuhan seperti itu. Aku rasa, itu bukanlah hal yang pantas dilakukan oleh seorang adik kepada kakak perempuannya.
Pernah suatu waktu, dia masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, saat aku sedang berganti pakaian. Bukannya malu dan langsung pergi, dia malah duduk ditepi ranjang dan dengan tenang melihatku.
"Aku sudah melihat semuanya. Apalagi yang mau kau tutupi. Aku bahkan bisa dengan lancar menyebutkan semua tanda yang ada ditubuhmu. Kita sudah sering tidur bersama, Monic!! Bukan hanya dalam hitungan hari. Tapi sudah dua tahun." Ucapnya kala itu.
Aku yang malu langsung segera mengusirnya keluar. Ingin rasanya aku mengubur diriku hidup-hidup kedalam tanah. Oh, Tuhan, mampukah aku melepaskan diri dari jeratan Leon.
"Nona, kita sudah sampai." Ujar Pak Sis menyadarkanku dari lamunan panjangku.
"Oohh.. Terima kasih, Pak!" Ucapku
"Jangan lupa nanti jemput tuan Leon dikampus ya! Dan waktu menjemput saya, menunggu telpon dari saya terlebih dahulu, soalnya saya belum tahu, pastinya akan pulang jam berapa." Jelasku.
"Baik, Nona." Ucap Pak Sis selanjutnya.
Begitu keluar dari mobil, aku langsung melangkahkan kaki menuju ke ruang kantorku di lantai 7. Disana sudah ada seseorang yang duduk dengan muka masam, menunggu kehadiranku.
Argaraja Danutirta, sang tangan kananku. Seorang pria tampan, berkulit putih nan kharismatik. Pertama kali berjumpa dengannya aku langsung jatuh cinta. Aku jatuh terperangkap dalam pesonanya yang luar biasa.
Dengan spontan, kuluncurkan kalimat-kalimat yang memuji ketampanannya, dan hal itu justru membuatnya sangat marah.
"Maaf Bu Monic, saya tidak suka mendengar ucapan ibu yang terdengar memalukan itu. Kita ini adalah rekan kerja, dan ibu sebagai pimpinan saya seharusnya jadi panutan. Kita harus bekerja secara profesional. Jangan libatkan masalah hati. Dan kedepannya tolong jangan mencoba menggoda saya lagi. Karena saya sudah bertunangan dan sebentar lagi saya akan menikah. Tolong hormati perasaan pasangan saya!" Ujarnya dengan nada ketus saat itu.
Oohhh .. aku hanya diam tak berkutik mendengar ceramah panjang lebarnya. Aku bahkan sudah ditolaknya sebelum sempat menyatakan perasaan cinta. Ibarat kata, aku sudah kalah sebelum bertanding.
Dan kini pria itu dengan angkuhnya langsung berdiri dengan bersedekap sambil menatapku. Wajahnya terlihat dingin.
"Tidak bisakah ibu datang lebih pagi lagi?! Ada banyak hal yang harus kita diskusikan hari ini mengenai proyek baru kita." Semprotnya begitu melihatku masuk ke ruangan.
Aku melihat ke arah jam, masih pukul 07.57.
"Bukankah aku tidak terlambat. Dan lagian ini juga masih pagi. Dan bukankah Jam masuk karyawan adalah pukul 08.00?" Bantahku dengan angkuh. Padahal aku cuman datang lebih awal 3 menit dari jam masuk. Alias nyaris telat.
"Tapi saya tak suka membuang-buang waktu saya. Bagi saya waktu itu sangatlah berharga." Ucap Arga dengan nada tak kalah angkuhnya.
"Apa? Astagaa! Disini tuh siapa bosnya?" Omelku kesal padanya.
"Kalau begitu, ibu cari orang lain saja yang bisa membantu ibu, menyelesaikan semua proyek baru diperusahaan kita. Saya memilih mundur. Saya tak bisa bekerjasama dengan orang yang tak bisa menghargai waktu." Ujarnya marah dan hendak berlalu keluar dari kantor.
Oh... Tidak! Aku benar-benar butuh bantuannya. Feelingku mengatakan kalau Arga bisa membantuku mengatasi kesulitan-kesulitan keuangan yang sedang dialami oleh perusahaan yang nyaris gulung tikar ini.
"Hei.. tunggu! Okey, Besok aku usahakan untuk datang lebih pagi lagi. Kalau perlu, aku akan menginap disini, tidak usah balik ke rumah sekalian." Jawabku kesal
Arga tertawa terbahak mendengar jawabanku. Dia terlihat sangat puas melihat wajahku yang masam karena sangat kesal.
Dasar sinting! Kenapa semua pria tampan yang kutemui tak ada satupun yang normal.
Yang pertama, Leon, yang terus mendorongku untuk bercinta dengannya. Dan sekarang Arga, yang terus memaksaku buat kerja keras bagai kuda. Emang sial!
Kami pulang kerja nyaris jam setengah sebelas malam. Aku hendak menelpon pak Sis untuk menjemputku. Namun dilarang oleh Arga. Dia menawarkan akan mengantarku pulang.
Begitu masuk ke mobil Arga, dan setelah memasang sabuk pengaman tentunya, aku langsung menyandarkan punggungku di kursi depan, disamping Arga. Tubuhku terasa kaku semua. Begitu juga mataku yang sangat lelah, karena dipaksa menatap layar laptop seharian.
Akupun langsung memejamkan mataku, sementara telingaku dimanjakan oleh musik-musik slow yang mengalun lembut lewat audio speaker dimobil Arga.
"Bu Monic!" Suara Arga terdengar memanggilku dari samping.
"Apa?" Jawabku masih dengan mata terpejam.
"Sebaiknya paha ibu ditutupi pakai tas. Karena itu sungguh sangat mengganggu konsentrasi saya saat menyetir."
Auto mataku melotot tajam kearahnya. Dengan segera, aku mengambil tas kerjaku dan langsung menaruhnya diatas pangkuanku.
"Kenapa kamu baru bilang?" Tanyaku kesal, mataku menatapnya dengan wajah tak terima.
"Baru bilang apa??"
"Kalau pahaku mengganggu konsentrasimu. Bukankah sejak pagi aku selalu duduk disampingmu dengan posisi seperti ini?"
"Hahahaha!" Arga malah menertawakan kekesalanku.
"Kalau tadi itu berkah. Buat nambah-nambah motivasi kerja saya. Agar kerja saya semakin semangat. Kalau sekarang kan bahaya, bu. Soalnya posisi kita ada dijalan raya. Itu bisa berakibat fatal, karena paha ibu telah memecah konsentrasi saya. Yang membuat saya secara otomatis lebih fokus ke paha ibu daripada konsentrasi dijalan." Ucapnya sambil terkekeh geli.
"Dasar mesum!" Ucapku kesal dan kembali memejamkan mata tak peduli dengan tawa Arga.
Dalam hati aku menyesal, kenapa dulu aku sempat jatuh cinta dengan cowok sinting yang tak kalah gilanya dengan Leon, yang selalu terobsesi dengan tubuhku.
"Bu Monic!"
"Apalagi?" Tanyaku kesal.
"Tapi saya tidak tahu, dimana alamat Bu Monic tinggal."
"Astagaaaa!" Ingin sekali aku melepas setir mobilnya dan langsung kuhantamkan ke arah kepala si Arga yang super nyebelin itu.
***************
Jangan lupa klik tanda bintang nya

KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye, Leon!!
FantasíaAku??? Entahlah siapa aku? Dan darimana asalku? Aku tak punya sedikitpun ingatan tentang itu. Saat aku terbangun dari tidurku, semua memanggilku dengan nama Monica. Apakah itu memang identitasku sebenarnya? Aku sendiri merasa tak yakin akan hal itu...