Part 2

11K 1.1K 5
                                    

Leon langsung menopang tubuhku yang hampir merosot ke lantai. Aku rasa dia tidak sedang berbohong dengan ucapannya. Apalagi bercanda. Karena hal kayak gitu tidak pantas dibuat bahan bercandaan. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang seserius itu.

Kupandang lekat-lekat tepat pada kedua manik matanya yang hitam kelam. Lagi-lagi aku hanya bisa menemukan kebencian untukku disana.

Kualihkan pandangan mataku menatap sesuatu yang ganjil ditubuhnya. Jika diamati  lebih dekat lagi, ada banyak sekali bekas luka cambukan ditubuh Leon. Tidak hanya bekas cambukan saja,  ada banyak sekali tanda merah yang terlihat mulai memudar tampak disana.

Rupanya Leon mengikuti  arah tatapanku.

"Benar sekali, ini semua adalah perbuatanmu. Dan ini adalah tanda cinta yang kau berikan untukku dua hari yang lalu, Nona." Ucapnya sambil menunjuk ke salah satu tanda merah di dadanya.

Dua hari yang lalu? Dua hari yang lalu adalah saat pertama kali ingatanku dimulai di tempat asing ini.

"Apakah kau ingin menyentuhnya?" Tanya Leon tiba-tiba yang kembali membuatku terkejut.

Leon menarik tanganku dengan paksa dan menyentuhkannya ke tubuhnya.

"Kenapa tanganmu terasa sangat dingin, nona? Apa kamu ketakutan?" Tanya Leon dengan seringai jahatnya.

"Tenang saja, Nona. Jika Nona lupa, izinkan aku yang akan mengingatkan nona. Malam ini biarlah aku yang akan memimpin nona di ranjang." Ucap Leon sembari memajukan wajahnya hendak mencium bibirku, namun aku segera memalingkan wajahku kesamping, hingga ciuman Leon hanya mengenai rambutku. Leon terdengar mendengus kesal.

Melihat reaksi tubuhku saat ini, aku rasa, aku tak mungkin melakukan hal hina kayak gitu, melihatnya telanjang dada saja, wajahku sudah memanas apalagi bercinta dengan menyiksanya terlebih dahulu. Ooh, Tuhan, hanya iblis saja yang tega melakukan itu.

Tapi jika benar aku yang melakukannya, mungkin aku memang benar-benar seorang iblis wanita yang sangat kejam.

Leon meraih tanganku dan menarikku menuju ke ranjang.

"Tung... Tunggu Leon!" Ucapku padanya yang membuat langkahnya langsung berhenti, kembali ditatapnya diriku dengan sorot mata  tajamnya.

"Aku sungguh bingung. Bukankah kau adalah adikku? Bukankah kita ini saudara? Bagaimana mungkin aku melakukan hal-hal hina itu kepadamu?" Ucapku kemudian, masih berharap mungkin saja Leon salah.

"Hahahaha!" Leon kembali tertawa terbahak-bahak. Di mataku Leon saat ini sudah sangat mirip dengan seseorang yang  sakit jiwa.

"Hina katamu?" Kini ekspresi Leon berubah mengerikan. Tawa sudah hilang sepenuhnya dari wajahnya, membuatku semakin ketakutan. Terjebak dalam satu kamar bersama seorang pria gila adalah sebuah mimpi buruk untukku.

"Kaulah yang terus memaksaku untuk menjadi budak pemuas nafsumu, Monica. Berapa kali aku menolakmu dan berapa kali aku memohon ampun dan menangis di hadapanmu, supaya kau tidak melecehkanku. Tapi kau malah semakin menyiksaku. Dan satu hal lagi yang mungkin kau tak ingat. Aku bukanlah adik kandungmu. Aku hanyalah anak angkat dari keluarga ini, yang kini menjadi budak seksmu, Monica Diaz!" 

"Astagaaa, tidak mungkin." Cicitku seraya membekap mulutku sendiri agar tidak berteriak keras. Aku sangat terkejut dengan kenyataan yang aku dengar saat ini dari mulutnya.

Lagi-lagi muncul tanda tanya dikepalaku, sebenarnya diantara kami berdua disini, siapakah yang  paling gila? Karena aku sungguh memang tak punya ingatan sama sekali tentang hal itu.

Tubuh Leon terlihat bergetar hebat dengan kedua tangan mengepal erat di masing-masing sisinya, menahan tangis dan amarah. Dia memandangku dengan sorot mata penuh kebencian yang berkobar di matanya.

Goodbye, Leon!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang