Jinan dan Deo langsung tersentak begitu melihat sosok yang tak asing selama ini sering mereka saksikan pada suatu tempat di sekitaran sungai utara. Dia adalah Ratu Flora dengan pakaian biru lautnya. Entah apa tujuan makhluk air itu datang ke daratan terutama pada sekolah mereka.
"Oh, selamat sore anak-anak! Tampaknya kalian sedang ada perlu sesuatu ya di sini?" ujar Ratu Flora lagi yang kali ini berbicara dengan nada yang ramah, meski begitu, tetap tidak mengubah mimik wajahnya yang selalu terlihat pucat.
"Kenapa kau bisa ada di sini? Apa yang sedang kau rencanakan pada sekolah kami?" tanya Deo dengan berani meski agak sedikit takut.
"Lucu sekali, kau bertanya seperti itu seolah tidak tahu sama sekali dengan apa yang kuinginkan." jawab Ratu Flora sedikit memelankan suaranya. Ia menyeringai sesaat kemudian menghilang begitu saja.
Apa maksudnya?
"Nggak tahu. Ini saja kali pertama gue ketemu langsung sama sosoknya." sahut Deo yang masih menatap kosong pada ketiadaan Ratu Flora.
Sudahlah, kalau begitu, mari kita cari sesuatu di dalam sini. Barangkali kita akan menemukan petunjuk di dalamnya.
Deo mengangguk dan mengikuti Jinan untuk mencari sesuatu di dalam gedung teater. Tak ada yang banyak bisa digeledah di dalam situ, sebab semua properti sudah banyak yang dipindahkan ke dalam gedung teater yang baru.
Pada akhirnya, mereka tidak menemukan apa-apa.
"Coba kita baca sekali lagi tulisan itu, Nan." pinta Deo dengan menadahkan tangannya. Jinan membukakan bukunya dan meletakan di tangan Deo.
"Tanam nyawa 9 tua muda 7 abadi bilah bambu." ucap Deo seperti menggumam. Dahinya mengernyit masih dengan kebingungan yang sama.
Jinan melihat ke sekitar sekali lagi untuk mencari tahu sesuatu apa yang berhubungan dengan kalimat aneh tersebut.
Dalam beberapa menit mereka hening dan masih memperhatikan ke sekitar sampai tak merasa hari sudah beranjak malam. Samar-samar terdengar suara gemuruh. Ada yang terdengar seperti teriakan jarak jauh. Meski Jinan dapat membaca ingatan dari suatu benda, tapi nyatanya ia tak menemukan apa-apa. Bahkan lantainya pun tidak dapat memberikan ingatan sama sekali. Tampaknya isi dalam ruangan itu sudah diganti sepenuhnya sehingga sama sekali tidak meninggalkan jejak satu pun.
Aku menyerah. Kita tidak akan menemukan apa-apa di sini.
"Benar, tampaknya kita harus mengajak Reva ke mari. Lagipula, bukankah kita semua dapat saling melengkapi satu sama lain?" sahut Deo.
Baru saja mereka mau beranjak bersamaan untuk memilih pergi dari tempat tersebut, tiba-tiba sebuah tali tambang muncul dan menyeret keduanya ke belakang.
"Sial---" Deo sempat hendak mengumpat namun mulutnya langsung dibekap dengan sesuatu yang tidak tahu itu apa dan yang jelas suaranya jadi benar-benar tidak bisa keluar sama sekali. Deo berusaha keras merubah wujudnya tapi seperti terhalang sesuatu yang membuat tubuhnya seketika terasa seperti terbakar. Jinan pun sama, ia mencoba memotong tali itu dengan kemampuan supranatural yang ia miliki, tapi tetap tidak berhasil.
Sampai akhirnya keduanya pun terhempas ke dinding lalu masuk ke dalam sebuah ruangan yang tampak sangat asing sekali.
Bersamaan dengan hal itu, di rumah Reva, Freya datang dan membangunkan Reva yang baru saja terlelap setengah jam yang lalu.
"Reva! Bangun Reva! Bangun!!" seru Freya dengan menembus-nembuskan tangannya ke wajah Reva. Itu biasanya efektif karena dapat merubah suhu yang ada pada wajah Reva. Benar saja, tak lama kemudian Reva bangun dan menunjukan muka bantalnya sekaligus menahan marah karena ia baru saja terlelap.
"Ck, ada apaan lagi sih!?" tanyanya masih dengan menutup mata dan tiduran.
"Ke gedung teater sekarang!" seru Freya dengan nada penuh kekhawatiran.
"Ada ap--"
"Nggak ada waktu lagi, Reva! Kamu harus bergegas secepatnya pergi ke sana sekarang juga!" desak Freya.
"Nggak mau! Gue nggak ada urusan dengan masalah orang lain!" jawab Reva seraya berbalik memunggungi Freya.
"Tapi ini menyangkut orangtuamu Reva." mendengar orangtuanya disebut, Reva langsung buka mata dan menoleh pada Freya. "Aku merasa mereka dalam bahaya dan tiba-tiba saja aku terbayang dengan gedung teater sekaligus buku biru yang kau berikan pada Deo tadi siang. Terlebih, kau lihatlah tanganku ini?" Freya menunjukan separuh tangannya yang seperti bara api. "Ini muncul begitu saja bersamaan dengan bayangan yang terlintas di pikiranku." jelas Freya dengan menunjukan wajah ketakutannya.
Reva tak langsung bereaksi. Ia justru memandang Freya dengan tatapan penuh keheranan.
"Tunggu dulu." Reva bangun dari tidurannya dan duduk masih dengan menatap Freya. "Bagaimana ceritanya lo bisa tahu ada hal yang sedang terjadi di tempat lain sedang jarak dari rumah gue aja sama sekolah itu lumayan jauh. Lo nggak bisa pergi sejauh itu tanpa gue, Freya. Pula, sejak kapan ada bayangan bisa melintas di pikiran lo? Lo lagi ngerjain gue ya? Ayolah, Freya, gue lagi nggak mau bercanda sekarang! Gue mau istirahat, mau tidur!" keluh Reva dengan memelas.
"Freya benar, Reva. Mungkin ini adalah kali pertama untuk kami bisa merasakan sesuatu hal yang janggal. Baru saja juga gue melihat sekilas bayangan seperti yang dikatakan Freya. Orangtuamu dalam bahaya dan itu ada kaitannya dengan gedung teater." tambah Gracio tiba-tiba.
"Tunggu apa lagi Reva? Cepatlah bergegas!" desak Freya lagi.
Akhirnya, dengan agak sedikit malas, Reva pun beranjak dari kasurnya. Bukannya ia tidak merasa khawatir atau kurang peduli pada kedua orangtuanya, hanya saja, selama ini ia sudah terlanjur merasa terbiasa hidup tanpa keduanya. Makanya ia tidak terlalu berambisi untuk menolong. Tapi, setidaknya ia masih memiliki rasa sayang itu walau hanya sebatas mengingat keberadaan mereka.
Reva hampir meninggalkan ponselnya kalau saja ponsel itu tidak bergetar menampilkan adanya panggilan masuk. Nomornya tidak dikenal. Reva sempat mengabaikannya berkali-kali sampai akhirnya ia pun mengangkatnya sambil masuk ke mobil dan menyalakannya.
"Cepatlah datang sebelum kamu menyesal." ujar suara dari panggilan telpon tersebut.
"Suaranya tampak terdengar familiar." tanggap Gracio.
"Ya, rasanya gue juga pernah mendengar suara ini. Tapi, gue lupa kapan dan di mana." sahut Reva dengan melajukan mobilnya sekencang mungkin.
Karena tidak bisa memasukan mobil ke dalam sekolahan, Reva pun memarkirkan mobilnya ke halaman sebuah rumah kosong yang jaraknya tidak jauh dari sekolahan. Sesaat Reva turun ia sempat merasa ada yang aneh dengan rumah tersebut. Tapi ia abaikan karena kedatangannya ke mari bukan untuk mencari tahu perihal rumah itu.
Dengan berlari-lari kecil, Reva masuk ke sekolahan melewati pagar yang ada di samping. Ia memanjatnya dengan mudah seolah sudah biasa melakukannya. Gracio dan Freya yang melihat hal itu pun sempat dibuat terperangah sejenak.
Begitu masuk, Reva langsung lari menuju gedung teater dan mengabaikan seseorang yang sedari ia meninggalkan mobil tadi sudah memperhatikan dirinya. Reva antara menyadari dan tidak karena ia hanya melihat sekilas saja. Entah itu orang sungguhan atau bukan.
Sesampainya di depan gedung teater, ternyata pintunya dalam keadaan terbuka dan sangat gelap sekali di dalamnya sampai tidak kelihatan apapun. Bahkan biasan lampu dari luar pintu pun tidak terpantul di lantainya.
"Aaaaaakkkkkk!!!" "Hiiiissk~ hikssss~"
"Okdjjsnhahshhhttfcczsakp."Suara seperti teriakan tidak jelas itu masuk ke telinga Reva sesaat ia melangkahkan kakinya untuk masuk.
"REVA!! REVA AWAS, REVA!!!"
DASH!!
KAMU SEDANG MEMBACA
LAYERS || 48 [Completed]
Mystery / ThrillerAku bisa melihat dua dunia sekaligus dalam satu waktu.. Kalau kalian nyari yg kapal-kapalan, nggak ada di sini. kalau kalian nyari yg uwu-uwu, nggak ada juga di sini. Dan kalau kalian nyari yg alurnya mainstream, juga nggak ada di sini. KARENA...