✔️Bab. 13

275 41 2
                                    

Reva terhempas ke dinding begitu sesaat ia masuk ada cahaya berwarna merah menyala yang terbang dengan sangat cepat ke arah punggungnya. Sampai - sampai Gracio dan Freya tak sempat untuk mendorong Reva agar terhindar.

"Reva, kamu(lo) nggak apa- apa?" tanya Freya dan Gracio berbarengan sambil membantu Reva untuk bangun kembali.

Reva menggerakan bahunya sedikit merasa agak sedikit sakit tapi ia masih bisa menahannya.

"Gue nggak apa-apa." ujarnya kemudian seraya berdiri sambil menatap ke sekitar.

Suara bising aneh tadi masih kedengaran meski samar. Tapi arahnya tidak jelas lantaran gelap dan pula setiap Reva arahkan telinganya kesana kemari tinggi suaranya tetap sama saja, seolah berasal dari segala arah.

"Reva, aku menangkap adanya bau bihuman di sini." ujar Freya memberi tahu.

"Gue rasa dia juga nggak sendirian. Apa mungkin dia lagi sama Jinan belum pulang dan mereka memilih masuk ke mari karena buku itu? Entah kenapa tiba-tiba aja gue mikirnya gitu." ucap Gracio.

Reva tak langsung menyahut. Ia mengembuskan napas kesal lalu kemudian berdecih sesaat menyahut,  "Jujur, gue kemari karena dengar lo nyebut orangtua gue doang, Frey." katanya dengan mengarahkan cahaya sentar dari hapenya bergantian ke arah Gracio dan Freya walau tembus.

"Lo nggak peduli sama mereka, Rev?" tanya Gracio.

"Ck, tentu saja gue peduli. Tapi, alasan terbesar gue tentu saja karena orangtua gue. Sekarang, gue nggak tahu gue harus ngapain di sini?" jawab Reva dengan berjalan perlahan lebih masuk ke dalam. Sekilas ia seperti berjalan memasuki sebuah lorong jika tidak mengingat kalau ia sekarang dalam gedung teater. "Jadi, apa yang terjadi pada orangtua gue? Dan, apa hubunganya dengan gedung teater?" tanya Reva kemudian dengan berbalik memandang kedua sahabat beda dimensinya itu.

"Sesuai bayangan yang sempat melintas dalam pikiranku. Kedua orangtuamu terlibat dalam pembangunan ulang gedung sekolah ini. Merekalah yang membuat perjanjian dengan  melibatkan 16 nyawa yang pernah dibunuh di sini." kata Freya dengan dengan diangguki pembenaran oleh Gracio.

"Benar hal itu juga sama persis dengan apa yang terlintas dalam benakmu, Gee?" tanya Reva merasa tidak yakin lantaran terdengar seperti tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana bisa dua sosok yang pernah hidup beda generasi bisa melihat bayangan yang sama persis dalam satu waktu? Terlebih, mereka saja tak bisa saling lihat. Reva ingin menyanggah, tapi ia pun cukup sering dibuat terheran-heran dengan sesuatu yang aneh dan janggal dalam kehidupan sehari-harinya.

Lagipula, setahu Reva kedua orangtuanya tak ada sama sekali urusan pekerjaannya menyangkut sekolahan. Karena seingat Reva, keduanya itu bekerja dibidang fashion dan makanan. Serta ada beberapa hal lagi yang tidak dipahami Reva, tapi yang jelas tidak ada hubungannya dengan sekolahan. Bukankah itu aneh sekali?

"Iya, Rev. Gue juga nggak tahu kenapa bisa tiba-tiba di kepala gue melintas bayangan yang seperti Freya sebutin tadi. Semuanya terjadi tanpa dibuat-buat." sahut Gracio dengan serius.

"Huhhhh!! Jadi, apa tujuan kita datang kemari sekarang? Sudah sangat jelas sekali orangtuaku tidak mungkin ada di s---" ucapan Reva terhenti sesaat sebuah buku tiba-tiba saja tergeletak di bawah kakinya. Gracio yang melihat hal itu langsung mencari darimana sumbernya, begitu pun dengan Freya. Sayangnya keduanya tidak menemukan apa-apa dalam kegelapan itu.

Reva bergerak untuk memungutnya. Tapi, baru saja tangannya terulur, buku itu langsung terbuka dan menampakan sebuah tulisan yang seperti sengaja ditulis dengan tinta merah. Atau mungkin darah?

"Pergi dari sini sekarang!!!." baca Reva pada tulisan itu. Ia mengernyit heran kemudian menatap ke seliling sambil arahkan senter ponsel. Harusnya karena ia dalam ruangan, dengan posisinya yang mungkin masih belum jauh dari pintu, cahaya senternya itu masih dapat menerangi tembok yang ada di samping pintu. Tapi, nyatanya ia tak menemukan sama sekali tembok atau dinding, bahkan pilar yang seharusnya ada beberapa di tengah ruangan juga tidak tampak.

"Firasatku mengatakan kalau kita sekarang bukan lagi di gedung teater saat ini." kata Freya yang sedang berjalan menyusuri sekitar dalam kegelapan.

Lagi-lagi Reva menghela napasnya dengan berat bercampur dengan kekesalannya. Sebenarnya, ia sudah mau memutuskan untuk tidak mau melibatkan diri lagi dalam hal-hal yang berbau mistis seperti ini. Ia ingin hidup dengan mengamati dua dunia seperti biasanya saja tanpa mau masuk dan merubah apapun yang ada di dalamnya.

Reva lalu beranjak maju ke depan meninggalkan buku itu begitu saja dan dalam sekejab buku itu pun menghilang seketika. Reva sengaja tidak memungutnya karena ia tahu akan percuma saja nantinya.

Luas gedung teater itu sebenarnya tidak sampai memakan waktu lama kalau untuk sekedar berjalan keujungnya. Tapi, entah kenapa sedari tadi Reva berjalan ia tidak mendapati adanya ujung ruangan tersebut. Meski ini adalah kali pertamanya ia masuk dalam ruangan ini. Tapi, dilihat dari luar setiap kali ia melewatinya, bisa dikira seberapa luas dan panjangnya ruangan itu di dalamnya. Tidak disangka ternyata jauh lebih luas dari yang diperkirakan.

"Ini gue jalan lurus kok nggak nemu - nemu ujungnya, ya? Jangan-jangan gue dari tadi cuma muter-muter doang tanpa gue sadari." kata Reva pada keduanya.

"Tidak Reva. Tempat ini memang sangat luas sekali dan kurasa kita tidak akan pernah menemukan ujungnya ada di mana." sahut Freya.

"Terus? Gue harus ngapain sekarang?" tanya Reva lagi dengan berhenti berjalan.  Wajahnya kesal tapi sebisa mungkin ia tahan dan berusaha untuk tetap tenang agar keadaan tetap bisa dikendalikan.

"Sudah selesai kalian main-mainnya?" tanya sebuah suara dengan asal yang tidak tahu dari mana. Kali ini Freya dan Gracio sudah kembali berada di samping Reva.

"Siapa lo!?" tanya Reva dengan ketus.

"Reva, sepertinya dia adalah sosok yang melempar buku dan kasih peringatan ke kita tadi." bisik Gracio.

"Aku sudah beri kalian kesempatan untuk cepat pergi dari sini. Tapi sayangnya kalian justru menyia-nyiakan kesempatan itu." kata suara itu lagi.

Gracio dan Freya mengapit Reva di tengah mereka sambil bersikap siaga agar tak ada serangan mendadak lagi seperti sebelumnya.

"Reva, ja.. ngan.. disi.. ni.. cepat.. pulang saja.. Re..va." lirih sebuah suara yang terdengar jelas tapi tidak menunjukkan posisinya di mana.

"Oh! Itu Jinan dan Deo!" seru Gracio dengan menunjuk ke samping. Tapi, Reva sama sekali tidak melihatnya.

Dash!! Domb!!

Tiba-tiba sebuah ledakan terjadi dan mengempaskan tubuh Reva begitu saja hingga rasanya tulangnya seperti remuk semua.

Sesaat Reva merasa sangat kesakitan sekali. Samar-samar ia melihat wajah ibunya yang menatapnya dengan wajah penuh kekhawatiran sampai akhirnya pandangannya gelap sepenuhnya.

____________

Reva mengerjabkan mata saat ia tersadar dari tidur panjangnya.

"Reva!!" seru Deo diikuti Jinan yang langsung memeluk dirinya. Tak lama berselang seorang dokter datang untuk memeriksa dirinya.

Reva tak bicara apa-apa. Ia masih mencoba untuk mengingat apa saja yang sudah terjadi pada dirinya sampai membuat ia mesti berada di rumah sakit sekarang.

Setelah dokter pergi dan menyatakan kalau kondisi Reva sudah membaik dan secepatnya akan diperbolehkan pulang, barulah Reva bicara.

"Akhirnya, lo sadar juga, Rev." ucap Deo mendahului.

"Kalian baik-baik aja?" tanya Reva dengan tatapan penuh perhatian kepada kedua teman barunya itu.

Jinan yang mendengar ucapan aneh Reva itu langsung mengetik untuk menjawab responnya. Kali ini ia sudah berganti media menggunakan ponselnya.

Tentu saja kami selama ini baik - baik saja Reva. Justru lo yang sejauh ini keadaannya selalu buat kita khawatir. Sampai orangtua lo saja jadi bolak balik dari Berlin demi mengecek keadaan lo.

Tulis Jinan yang seketika buat Reva menatapnya dengan segenap rasa keheranan sekaligus bingung.

"Lo udah 45 hari nggak bangun - bangun, Rev." ujar Deo memberi tahu seraya membuatkan makanan yang siap dihangatkan.

LAYERS || 48 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang