✔️EPS. 15

288 40 4
                                    

"Reva? Lo ke mana aja selama ini? Kita berdua nyariin lo dari tadi. Freya bilang lo disesatin ke tempat mereka. Dia mau nolong tapi energinya nggak kuat." ujar Deo mengampiri.

Reva tak menjawab dan ia lantas menoleh pada Freya dengan tatapan tak mengerti.

"Intinya sesaat kamu salah ambil langkah. Kamu hilang, aku dan Gracio sempat coba tarik kamu kembali tapi nggak bisa. Jadinya aku sama Gracio cari-cari sesuatu yang bisa buat kamu kembali. Dan kita malah bertemu mereka berdua. Asal kau tahu Reva, kau sudah pergi selama tiga hari." jawaban Freya sukses membuat Reva ternganga.

Reva tak bicara apa-apa seraya menoleh ke sekitar dan ia sudah tak lagi ada di dalam gedung teater melainkan pelataran gudang tua.

Reva terhuyung sesaat merasakan pusing. Ia kemudian dibantu Jinan untuk pergi ke mobilnya yang kini sudah terparkir dalam area sekolah. Bukan depan rumah kosong lagi.

Semakin Reva memikirkan tentang apa yang sudah terjadi padanya, semakin sakit pula kepalanya dibuatnya. Ia juga merasa mual.

"Gue bakal antar lo pulang, Rev. Nan, lo tahu rumah Reva dimana, kan?" tanya Deo yang hanya dijawab dengan acungan jempol oleh Jinan sambil mengangguk.

________________
________

Sesampainya di rumah Reva, suasana yang terlihat selalu sama. Sunyi dan terkesan misterius.

"Lo istirahat dulu aja, Rev. Gue tahu lo pusing banget sekarang sama tempat-tempat yang lo datangi. Nanti kalau lo udah baikan, kita ketemu lagi." kata Deo setelah mengantar Reva ke kamarnya.

"Thanks ya buat kalian berdua. Gue nggak tahu mau ngomong apa lagi. Gue bingung banget sekarang, asli." ucap Reva dengan tatapan lelahnya.

Kalau gitu kita pamit pulang dulu, Rev
Kalau ada apa-apa lo bisa hubungin kita
Gue udah taroh nomor hape gue sama Deo di ponsel lo

"Maaf, kita bukannya nggak bisa nemenin lo. Cuma kata dua penjaga lo kita lebih baik pulang dulu dan biarin lo nya istirahat sendiri dulu." Deo menjelaskan.

Reva hanya mengangguk sekenanya. Barulah kemudian Deo dan Jinan keluar.

Sepeninggalnya Deo dan Jinan, barulah Freya dan Gracio mendekat. Reva masih duduk sambil bersandar di bahu ranjangnya seraya memikirkan hal aneh yang sudah ia lewati. Kepalanya sekarang tidak sepusing saat masih berada dalam sekolah.

"Sumpah, Gee! Ini petualangan teraneh yang pernah gue dapati sepanjang hidup gue. Tapi, seriusan gue udah 3 hari di sana? Pantesan gue pas bangun nggak langsung nemuin Freya. Biasanya dia kan yang selalu ada sama gue. Perasaan itu cuma sebentar doang, deh, gue di situ." ungkap Reva menceritakan kebingungannya.

"Namanya juga dibawa ke dimensi mereka, Rev. Gimana? Pasti mirip sama dunia nyata lo kan?" tanya Gracio.

Reva mengangguk kencang membenarkan.

"Iya banget. Gue aja hampir ketipu kalau nggak dengar suara Freya tadi. Tapi sebenarnya gue dari pas bangun udah merasa ragu sih sama penampakan Deo dan Jinan. Soalnya mereka aneh banget. Ditambah Freya nggak ada sama sekali. Gue langsung berasumsi kalau ada yang nggak beres. Dan untungnya lo sadarin gue tepat waktu, Frey. Kalau nggak. Nggak ngerti lagi deh, tuh gue. Tapi, omong-omong, ini dunia nyata gue beneran apa gue masuk ke dimensi berikutnya lagi, nih?" cerocos Reva seraya melirik ke seisi kamar mengamati.

"Tidak, Reva. Kali ini kamu sungguhan lagi ada di dunia nyata kamu sekarang. Sekarang sudah larut malam. Sebaiknya kamu tidur. Ragamu pasti sangat lelah sekali." ucap Freya dengan menyentuh lengan Reva tapi tembus. Meski begitu Reva masih tetap bisa merasakan hawanya.

"Inginnya sih begitu, tapi mata gue sama sekali nggak mengantuk sekarang. Pusing di kepala gue juga sudah lebih baikan. Tampaknya gue butuh suatu kejelasan dulu dari apa yang sudah gue laluin. Gue nggak akan tenang kalau semuanya masih kayak kepingan puzle yang berserakan kayak gini. Gue mau tahu maksud dan tujuan gue sekarang tuh apa gitu? Biar gue tahu apa yang seharusnya gue lakuin." tutur Reva agak sedikit menggebu seraya bicara sambil menggerakan tangannya.

"Kalau gue jadi lo gue bakalan lebih mentingin tubuh gue dulu, sih. Karena kehidupan di masa depan meski segalanya sudah diambil alih sama robot, bukan berarti lo bisa istirahat secukupnya. Sebab hampir semua orang akan sibuk di depan monitornya masing-masing tanpa sempat untuk tidur." kata Gracio dengan memunculkan hologram dari benda di telapak tangannya yang menampilkan suasa kantor dan rumah orang-orang di masa depan.

"Gracio benar, sebaiknya kamu istirahat dulu, Reva. Masih ada waktu untuk kamu bisa menyelesaikan puzle itu. Bukankah Deo dan Jinan juga akan menceritakan semuanya saat kamu sudah lebih baik? Ayolah, Reva. Sekarang bukan saatnya untuk mendengarkan cerita. Kau tidurlah. Cepat." kata Freya dengan mukanya yang datar dan serius.

"Oke oke! Gue bakalan tidur sekarang, tapi tolong jawab satu pertanyaan gue yang satu ini aja."

"Apa?"

"Apa yang terjadi sama orangtua gue?"

"Sejauh ini mereka baik-baik saja. Namun... seperti yang kamu dengar dari mereka, keduanya memang benar terlibat dengan kejadian dari yang kamu saksikan saat dibawa paksa menjelajah dimensi. Nah, cukup! Aku harap kamu tidur sekarang."

Reva menghela napas seraya menyahut, "Ternyata beneran. Gue kira cuma bagian dari hayalan yang ada dalam dimensi sana doang."

___________________

Pukul 12 tepat Reva baru saja membuka lebar kedua matanya. Setelah lebih dari 14 jam ia tidur tanpa bermimpi apapun, akhirnya ia bisa bangun dalam keadaan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Sesaat ia terbangun, secara bergantian memori-memori yang ia lewati sepanjang waktu kemarin seperti membentuk sebuah barisan di kepalanya seakan memintanya untuk mengingat semuanya. Untungnya, karena Reva terbangun dalam keadaan segar, ia jadi lebih bisa menyimak dengan jelas soal apa saja yang sudah terjadi.

Lihat saja, ia tampak begitu santai meski semua kejadian yang pernah berlangsung singkat hanyalah seperti kepingan puzle yang tak jelas.

Freya yang memperhatikannya sedari tadi tak langsung menegur. Sebab, ia pun sudah sangat hafal dengan bagaimana kebiasaan Reva setiap kali bangun tidur.

Sedang Gracio kembali sibuk dengan tempat di mana dia seharusnya berada.

Hampir setengah jam Reva seperti itu, akhirnya ia mengembuskan napas beratnya seraya menoleh pada Freya yang juga masih memandangnya sambil duduk di meja belajarnya Reva.

"Turun, Frey. Di situ ada alquran." tegur Reva.

"Oh, iya, maaf." sahur Freya seraya berpindah ke kursi.

Reva bangun dari ranjangnya dan menarik tirainya. Tak lupa ia juga membuka jendelanya.

"Frey."

"Ya?"

"Benar nggak, sih, orangtua gue juga terlibat hal semacam ritual begitu? Kok, gue masih agak kurang percaya, ya." katanya sambil berpikir.

"Jujur, sebenarnya aku pun sempat berpikir seperti itu. Namun, setelah menyaksikan sendiri semuanya walau dalam jangkauan penglihatan yang agak sedikit abu-abu, memang benar kenyataannya seperti itu." tutur Freya.

Reva menoleh membelakangi jendela dan berdiri sambil menyender. Reva menghela napas dengan perlahan sebelum kembali lagi berbicara.

"Gue jadi ingat sekarang kenapa papa larang gue buat main di basecamp selama ini. Karena dulu waktu gue masih kecil dan belum ngerti apa-apa. Gue sempat masuk ke basecamp yang kebetulan lagi nggak kekunci. Ruangannya aneh dan baunya juga aneh. Terus gue ada lihat kotak yang sama seperti yang kita lihat di gedung teater. Gue tahu di mana-mana kardus bentuknya pasti sama. Cuma, kalau nggak salah ingat dikardusnya itu ada tulisan yang buat gue agak familiar, gitu."

"Apa tulisan yang kamu lihat?"

"Tanam nyawa 9 tua muda 7 abadi bilah bambu."

LAYERS || 48 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang