"Kata-katanya terdengar seperti mantra yang aneh. Tapi, agak sedikit tak asing terdengar di telingaku." kata Freya sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari tangannya.
"Gue juga langsung mikirnya begitu pas pertama kali baca. Tapi, pas gue baca ulang lagi jadi tiba-tiba ingat sama apa yang dibilang Deo kemarin. Nah, gimana kalau sekarang lo temenin gue ke basecamp. Mumpung or--- eh, tunggu. Orangtua gue dimana sekarang? Kabar mereka gimana?" kata Reva seraya beranjak dari ranjang menatap Freya meminta keterangan.
"Orangtua Kamu masih di Berlin. Masih baik-baik aja. Dan mereka juga kayaknya masih belum tahu kalau kamu sudah tahu semuanya. Dan kalau dipikir-pikir lagi, lucu juga ya kamu taunya dari cerita alam bawah sadar."
Reva mengembuskan napas beratnya sesaat sebelum kembali berucap. "Alih-alih itu, gue justru nggak nyangkanya mereka bisa terlibat dalam hal-hal menyimpang kayak begini. Gue pikir mereka tuh selama ini kerjanya yang sehat-sehat aja. Nggak taunya..." ujarnya dengan wajah kecewa.
"Kamu kuat, Reva. Kamu pasti bisa lewatin semua ini." dukung Freya dengan menepuk pelan punggung Reva meski tak kena.
Tak lama kemudian, keduanya pun beranjak pergi ke ruang keluarga yang jarang digunakan semenjak kedua orangtua Reva sibuk dengan bisnis mereka. Ruang keluarga itu tidak tampak ada debu sedikit pun, sebab selalu rutin dibersihkan oleh asisten rumah tangga yang datang dua hari sekali. Dan hari ini adalah hari dimana ART itu tidak sedang bertugas.
Reva ingat kalau pintunya berada di dalam sebuah lemari berisi piringan hitam milik ayahnya. Sesaat setelah mengosongkan lemari, dengan sentar yang sudah ada di tangan, Reva langsung menyorotkannya ke seisi lemari dan mendapati gembok bersandi menempel di lantai pojok lemari.
"Apa kamu masih ingat kodenya, Reva?"
Reva menggeleng sebagai jawaban. "Tapi, aku akan mencobanya." katanya.
Awalnya, Reva tak menyangka kalau kata sandi kunci gembok itu semudah dengan memasukan angka-angka yang berhubungan dengan kelahirannya. Dan setelah gembok terbuka, Reva segera membuka engselnya dan menggeser pintunya.
Sebuah tangga dengan ujungnya yang gelap pun terlihat. Bahkan senter Reva saja tidak dapat menjangkau sampai ke ujungnya.
"Kamu yakin akan pergi ke sana?" tanya Freya khawatir.
"Sebenarnya, sih, nggak. Cuma... ya... karena Gracio lagi nggak ada ya gue kepaksa mesti turun ke bawah buat mastiin dugaan gue. Lagian kalaupun gue pake kemampuan gue tuh yang bisa lihat masa depan, makin nggak keliatan nggak sih tempatnya gelap banget begini." sahut Reva seraya sambil beranjak perlahan menuruni undakan tangga. Tak lupa Freya juha turut menemaninya.
Baru separuh tangga yang dituruni, bau amis sudah mulai menguar masuk ke hidung Reva. Sebelum bau itu membuatnya mual, Reva merogoh slayer yang terikat di senternya untuk ia gunakan untuk menutupi hidung.
Ia kemudian kembali melanjutkan jalan dan berhenti di ruangan yang lumayan luas seraya menyalakan saklar lampu dan terlihatlah sebuah ruangan luas dengan debu tebal serta sarang laba-laba yang ada di mana-mana.
"Tempat ini terlihat tak pernah digunakan lagi. Aku jadi ragu kalau ayahmu sungguhan terlibat dari ritual tragedi itu." komentar Freya sambil melihat ke sekeliling.
Sementara Reva berjalan mencari-cari di mana ia pernah melihat kotak bertulisan mantra tak jelas itu. Tapi yang ada hanya berisikan barang-barang lawas yang sudah tidak terpakai lagi.
"Reva!!" pekik Freya sesaat mendapati tumpukan 2 kotak dibawah kain merah berdebu di ujung ruangan dekat lemari kecil. Reva pun langsung mengampirinya.
Reva membulatkan matanya seketika melihat kotak itu dan tulisan buram yang ada di sisi kotaknya. Ia langsung menarik kotak itu dari sana. Ia menatap Freya sebentar lalu kemudian menarik lakbannya untuk membuka.
Tak ada hal yang mengejutkan selain sesuatu berbentuk serpihan berwarna hitam. Dan kotak keduanya pun sama.
"Ini sungguh diluar dari ekspektasiku." gumam Reva setengah menyesal.
"REVA!!" suara bariton yang sarat dengan kemarahan berhasil membuat fokus Reva teralihkan. Matanya membulat dengan sempurna pada siapa orang yang baru saja memanggil namanya dengan membentak. Ia adalah Niel, ---ayahnya--- yang tiba-tiba saja sudah ada di rumah.
"Pa-papa!?" gumam Reva sedikit gugup.
"Sial! Ternyata kamu sudah tahu semuanya." ucap Niel seraya bergegas mengampiri Reva dengan tatapan tajamnya. Tubuh Reva seketika gemetar menyadari hal itu.
"Reva! Sadarlah! Ayo, kita pergi dari sini sekarang!" desak Freya.
Belum lagi Reva sempat tersadar dari ketakutannya, tamparan telak menyentuh tepat di wajahnya dengan suara yang lumayan keras sampai membuat Reva terjatuh. Ada darah disudut bibirnya.
"Papa?" sebut Reva dengan menyentuh pipinya dan menatap ayahnya tak percaya.
"Apa yang sedang kamu pikirankan mengenai tempat ini, hah!? Kamu pasti tengah merencanakan sesuatu, kan!?" tukas Niel dengan menatap penuh pada Reva.
"Nggak ada! Aku nggak punya rencana apapun. Sumpah!" sahut Reva dengan cepat.
"Reva." Niel berkata dengan penuh penekanan disetiap kalimat yang akan diucapkannya. "Papa tahu kamu anak yang tak suka dengan kebohongan, bukan? Dan kamu pun tahu kalau papa lebih suka ketika Reva berkata jujur dengan apapun." lanjutnya.
"Jadi." Niel menatap dengan pandangan yang membuat sekujur tubuh Reva menjadi gemetaran. Rasanya ia seperti lebih takut ketika berhadapan dengan ayahnya dibanding dengan mahkluk astral lainnya.
"Ekh!!" kerah Reva ditarik mendadak sampai Membuatnya terpekik.
"Kalau kamu sedang berusaha menyembunyikan sesuatu dari papa dan kelak papa tahunya bukan dari kamu sendiri. Maka, papa nggak akan pernah segan-segan untuk hilangkan kamu sebagai mana ibumu pernah hilang!" ucapnya yang membuat pikiran Reva jadi teralihkan dengan kalimat janggal yang ia dengar.
"Maksud Papa apa?! Bukannya selama ini Papa selalu bersama mama di Berlin!?" serunya Reva tak percaya. Seketika keberaniannya datang kembali dengan tiba-tiba.
Niel tak langsung menjawab, ia hanya tersenyum miring menatap anak semata wayangnya itu. Entah ia tak sadar bahwa tatapannya itu berhasil membuat sekujur tubuh Reva menjadi merinding kembali dibuatnya. Padahal, Reva tahu kalau ayahnya itu juga sama seperti dirinya, manusia asli dan bukan hantu. Tidak tahu kenapa kesannya ayahnya malah terlihat lebih menakutkan dibandingkan hantu itu sendiri.
"Begini saja, Nak." ucap Niel dengan berubah tenang dan halus. Reva tak menyahut, ia hanya diam mendengarkan. "Setahu papa, kamu kan punya kemampuan aneh yang bisa pergi ke tempat-tempat yang tidak jelas itu." perkataan Niel sukses membuat Reva menggemeretakan giginya merasa tersinggung. Tapi, ia tak mampu untuk mengeluarkan suaranya sama sekali. "Jadi, papa minta kamu bawa kotak itu ke tempat sana dan sembunyikan ke dalam suatu tempat yang tidak akan pernah bisa ditemukan oleh siapapun kecuali kamu sendiri. Jika kamu mau melakukannya, maka kamu dan teman-teman kamu dapat hidup dengan normal seperti biasanya. Bagaimana?" tawar Niel masih dengan tatapan penuh ancamannya. Tak lupa dengan senyuman miring yang lebih mirip menyeringai itu.
"Tidak, Reva. Permintaannya tidak benar. Kau harus menolaknya!!" seru Freya.
Hening sejenak, sementara Niel mulai mengambil alih kotak yang tadi dibuka oleh Reva.
"Kamu tahu ini apa?" tanya Niel memecah keheningan.
"Ini adalah potongan kering kulit-kulit mereka yang sudah mengorbankan hidupnya untuk menjadi yang lebih baik." kata Niel lagi dengan tenang tanpa merasa bersalah sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAYERS || 48 [Completed]
Mystery / ThrillerAku bisa melihat dua dunia sekaligus dalam satu waktu.. Kalau kalian nyari yg kapal-kapalan, nggak ada di sini. kalau kalian nyari yg uwu-uwu, nggak ada juga di sini. Dan kalau kalian nyari yg alurnya mainstream, juga nggak ada di sini. KARENA...