✔️EPS. 14

269 39 6
                                    

Reva menautkan alisnya sesaat mendengar perkataan Deo barusan.

Deo benar, kamu mengalami mati otak selama ini Reva

Reva menatap Jinan sepenuhnya setelah membaca tulisan itu. Tak berapa lama pindah lagi ke Deo. Ia memandang keduanya dengan segenap rasa keheranan. Ia ingin sekali menyanggah dengan ketidak mungkinan yang sedang dialaminya saat ini. Tapi entah kenapa ia tak bisa mengucapkannya. Akhirnya, ia hanya bisa menghela napas berat dan terkesan pasrah kelihatannya.

"Jangan sedih. Meskipun kita nggak lama kenalannya saat lo masih sadar waktu itu, anggap aja kita udah kenal cukup lama." ujar Deo memulai pembicaraan.

"Nggak perlu pakai anggapan segala. Emang sebenarnya gue sama lo baru kenal." sahut Reva tanpa berpikir.

Deo mengngguk-nganggukan kepalanya tak menanggapi ucapan sarkas yang Reva katakan.

"Kapan gue udah bisa pulang?" tanya Reva dengan menatap ke sekitarnya. Ruangannya sangat luas sekali.

Kita bisa pulang sekarang kalau lo mau

Kata - kata Jinan kembali membuat Reva mengerutkan hidungnya. Pasalnya, baru beberapa menit yang lalu ia mendengar dokter yang memeriksanya tadi mengatakan bahwa ia boleh pulang sebentar lagi, tapi tidak sampai secepat ini juga bukan? Apalagi, dirinya saja baru bangun sekarang.

"Omong-omong, ayah lo nitipin lo ke gue, Rev. Katanya, pas kemarin sebelum dia balik lagi ke Berlin, kalau misal lo udah bangun. Disuruh pulang ke rumah gue aja katanya. Soalnya di rumah lo para asisten rumah tangganya pada disuruh pulang semua, terus cuma digantiin sama tukang kebun dan satpam doang. Nggak ada yang ngurusin lo nanti." ujar Deo memberi tahu.

"Emang iya? Sejak kapan bapak gue begitu? Biasanya juga pernah semingguan gue tinggal sendirian di rumah tanpa ART dll-nya. Nggak ada tuh papa gue nyuruh-nyuruh gue nginap di rumah orang." sanggah Reva tak langsung mengiyakan.

"Ya mungkin karena lo waktu itu nggak punya temen, Rev. Udah deh, mending sekarang kita siap-siap aja. Lo pulang ke rumah gue terus istirahat lagi." putus Deo.

"Kenapa harus di tempat lo? Kenapa nggak di tempat Jinan aja? Kalau ada apa-apa kan kita sama-sama bisa sharing ketimbang sama lo." tanya Reva kembali tak percaya.

Sudah gue bilangin begitu sama bapak lo waktu itu. Tapi beliaunya yang nggak mau. Pas gue tanyain alasannya katanya beliau lebih percaya cowok bisa siaga jagain anaknya, gitu. Jujur gue juga heran banget sama pemikiran bapak lo yg saking mudah percayanya sama orang itu.

"Emang begitu kok orangnya. Nggak cuma lo doang kok yang heran. Sama gue juga. Tiap kali dia ada di rumah juga gue suka heran sama bapak gue sendiri. Eh, tunggu, deh, Yo. Lo kan katanya bihuman, ya. Terus lo bisa tinggal di mana aja. Nah, kalau gue ikut sama lo pulang, tujuannya ke mana? Masa iya gue tinggalnya di dalam rumah pohon lo yang waktu itu?" tanya Reva yang membuat tak hanya Deo menatap penuh keheranan padanya. Jinan yang diam sedari tadi pun juga turut merasa bingung dengan pertanyaan Reva barusan.

Kayaknya lo jangan pulang dulu deh, Rev.

Tulis Jinan.

"Gue panggil dokter dulu, deh, kalau gitu." ucap Deo dengan beranjak dari bangku tapi ditahan tangannya sama Reva. Tapi tak lama kemudian makanan yang tadi dipanaskan Deo berbunyi. Ia pun bergerak untuk mengambilkannya.

"Nggak perlu! Gue nggak apa-apa. Gue baik-baik aja!" seru Reva menolak dipanggilkan dokter kembali. Ia tidak mau sampai harus merasa berlama-lama lagi di dalam kamar rumah sakit yang terlalu luas itu, meski begitu tetap saja ia masih merasa ada yang tidak beres.

Jinan kembali menatap Reva dengan seksama. Ada kilatan mata yang tak biasa dari sorotannya. Tatapannya lalu bertubrukan dengan mata Reva yang juga turut menatapnya.

"Kenapa?" tanya Reva heran. Jinan hanya menggeleng sebagai jawabannya.

"Ya udah, nih, lo makan dulu, abis itu kita pulang." kata Deo menengahi seraya menyodorkan makanan. Reva lantas menyambutnya tanpa berkomentar apapun.

Hampir satu jam berlalu dengan segala aktivitas dan persiapan untuk pulang serta obrolan random yang tak berhenti membuat Reva heran. Kemudian barulah ketiganya masuk ke dalam satu mobil yang sama. Katanya, mobil itu milik Deo. Reva tak bertanya lebih lanjut dan hanya diam saja sepanjang perjalanan. Karena merasa percuma membicarakan hal aneh yang pernah dialami bersama mereka kalau merekanya sendiri seperti tidak merasa pernah bersama dengannya.

Reva dibuat sangat kebingungan sekarang. Terlebih, ia tak ada melihat keberadaan dua teman beda zamannya itu sedari tadi. Biasanya Freya yang selalu ada bersamanya.

Deo memberhentikan mobil tepat di depan sebuah rumah yang terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Seingat Reva, itu adalah tempat tinggalnya Jinan. Tapi ada yang aneh dengan tempat itu. Penampakannya masih sama persis dengan 45 hari yang lalu ---mengingat katanya Reva pernah dirawat selama itu. Harusnya kan ada perbedaan tinggi tanaman walau sedikit. Tapi ini tidak sama sekali. Entah ingatan Reva yang kurang atau memang kenyataannya seaneh itu.

"Lo pulang, Nan?" tanya Reva setelah hening sedari tadi. Ia tahu pertanyaanya hanyalah basa-basi.

Ya. Sampai jumpa besok di sekolah..

Ujar Jinan yang kemudian turun dan menutup kembali pintunya.

Deo melambaikan tangan sedang Reva hanya menanggapinya secuek dulu seperti saat belum mengenal keduanya. Ia hanya menaikan alisnya sekali dengan wajah yang datar.

Mobil pun kembali jalan dengan keheningan yang sama seperti tadi.

"Deo!" panggil Reva setelah sadar setengah jam sudah berlalu. "Lo mau bawa gue ke mana, sih?" tanyanya yang ketika sadar kalau jalanan makin lama makin sunyi dan lampu jalan juga semakin jarang kelihatan. Membuat suasana jalan jadi terlihat suram dan gelap.

Belum lagi Deo menjawab, tiba-tiba mobil seperti dibawa masuk ke dalam sebuah terowongan. Ada suara bising aneh yang terdengar kencang di sana setelah mobil masuk sejauh puluhan meter.

"Deo!" panggil Reva lagi dengan mencengkram bahu Deo. "Lo mau bawa gue kemana anjir!? Yang jelas dong!" seru Reva dengan kesal.

Deo tak menyahut dan hanya fokus menyetir seolah tarikan baju di lehernya tak berpengaruh apa-apa untuknya.

"Sumpah ya ini gue dari tadi cuma nahan diri doang lho, Yo, biar nggak bunuh lo detik ini juga." kata Reva dengan menatap tajam ke Deo yang masih menatap lurus ke depan.

"Reva! Lompat keluar sekarang Reva!!" teriak sebuah suara yang lebih melengking dari suara bising yang lainnya. Reva kenal dengan suara itu.

Gara-gara suara itu, Deo jadi berbalik ke arahnya dan entah apa yang dilakukan Deo sampai membuat Reva tak sadarkan diri dengan secepat itu.

_______________

Perasaan silau yang menimpa tepat di wajahnya membuat Reva yang setengah sadar serta merta terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke sana ke mari sesaat begitu terbangun dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya saat kali terakhir ia pingsan.

Anehnya, kali ini ia tidak berada dalam terowongan maupun rumah sakit lagi. Melainkan kembali seperti awal di mana ia sedang berada dalam gedung teater, bedanya, sekarang suasana dalam gedung agak sedikit terang dengan adanya cahaya yang berasal dari sinar matahari yang tembus masuk dari celah kaca jendela berkarbon.

"Ih, sumpah aneh banget!" serunya yang membuat suaranya menggaung ke seisi ruangan.

"Reva!!"

"Gracio? Freya? Kalian keman---"

"Reva!!?"

LAYERS || 48 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang