✔️EPS. 6

380 54 3
                                    

"Yap!" sahut Deo dengan menjentikan jarinya.

Reva menatap bergantian pada Jinan dan Freya.

"Gue persis dengan apa yang ada dalam pikiran kalian sekarang." kata Deo lagi.

"Pikiran yang mana? Gue justru nggak mikir apa-apa selain heran." sahut Reva dengan jujur.

Lo udah punya teman beda alam masa model yang setengah begini lo masih nggak tahu, Rev?

"Ya emang gue nggak tahu. Gue mah orangnya cuma merhatiin doang. Tapi nggak pernah nyari tahu lebih dalam. Kecuali kalau diceritain duluan." aku Reva dengan sesaat melirik Freya yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo sendiri emang mikirnya dia siapa?" tanya Reva lagi.

Bihuman

"Bihuman itu adalah suatu makhluk astral seperti jin yang bisa menyerupai manusia. Berbeda dengan jenis makhluk - mahkluk biasanya, dia lebih sering menghabiskan waktunya sebagai manusia dibanding jadi mahkluk tak kasat. Dan sifatnya pun emang benar-benar seperti manusia sekali. Bisa makan dan bisa minum, serta berkeluarga juga. Cuma, jenis makhluk seperti bihuman ini jarang ada. Alias jarang sekali ditemukan. Apalagi di zaman sekarang. Lebih parahnya mungkin di zamannya Gracio sudah tidak ada lagi." jelas Freya.

"Kok, bisa nggak ada?" tanya Reva pelan nyaris tidak kedengaran.

"Nggak tau. Tanya Gracio saja nanti."

Reva hanya manggut-manggut sebagai tanggapannya.

"Terus? Kita mau ngapain lagi sekarang?" tanya Reva dengan menaikan sebelah alisnya menatap Deo yang diam saja dari tadi mendengarkan obrolan mereka.

"Apalagi kalau bukan masuk ke dalam. Tenang, ini aman, kok. Paling cuma gelap doang." sahut Deo seraya menarik kulit batang pohon itu yang terbuka layaknya seperti pintu.

"Tunggu, lo bisa lihat teman gue? Maksudnya, bukan dia. Tapi, yang hampir menyerupai lo." tanya Reva.

"Tergantung. Kalau lagi jadi begini gue paling cuma bisa rasain atau dengar suaranya doang. Itupun nggak begitu jelas. Beda cerita kalau gue udah balik ke wujud gue yang asli." jawab Deo.

Kita jadi masuk nggak, nih? Gue udah penasaran banget tahu.

"Oh! Ayok!" ajak Deo seraya masuk lebih dulu dan kemudian disusul oleh Jinan.

"Jinan sudah masuk lebih dulu. Kamu tidak segera menyusulnya?" tegur Freya.

Setelah sesaat meyakinkan diri dan percaya Freya juga turut menemaninya, akhirnya Reva pun ikut masuk ke dalam.

Beberapa meter setelah masuk ke dalam batang pohon itu memang sangat gelap gulita hingga Reva mengandalkan hawa dingin yang ditinggal Freya saat bergerak sebagai penunjuk jalan ia melangkah. Dan tak berapa lama kemudian, jalurnya dipenuhi cahaya yang terang benderang dan tidak tahu asalnya darimana. Terlebih lagi, Reva sempat tertegun ketika menyadari bahwa dirinya sekarang tengah berada dalam sebuah batang pohon yang sangat besar.

"Harusnya tidak seluas ini isi di dalamnya kan." gumamnya.

"Ini dimensi lain, Reva. Wajar saja jika hal yang menurut kamu aneh bisa terjadi." jawab Freya yang merubah wujudnya menjadi cahaya.

"Tempat yang aneh tapi keren." celetuk Gracio yang muncul tiba-tiba dan berdiri tak jauh dari belakangnya Freya.

"Uh, kamu darimana saja, Gee?" tanya Freya.

"Menjalani kehidupan normal di zaman gue tentunya." jawab Gracio masih sempat songong. Mentang-mentang dia masih bisa melanjutkan hidup secara nyata di zamannya. Lain halnya dengan Freya, ia hidup juga, tapi secara berulang. Dia mati tapi kemudian hidup lagi dan menjalani hidup yang sama. Itulah sebabnya, Freya lebih banyak ada waktu bersama Reva karena ia sudah terlalu bosan menjalani hidup yang sama berulang-ulang.

Freya hanya mendengus saja mendengarnya sedang Gracio tertawa renyah.

"Ih, sumpah, luas dalamnya lebih gede dari pohonnya." celetuk Reva.

"Ya, namanya juga dunia lain. Nah, sekarang kita bisa ngobrol di sini secara leluasa tanpa takut di dengar oleh siapapun." ujar Deo seraya duduk lebih dulu di sofa dalam ruangan yang lumayan luas mirip seperti ruang tamu di dalam rumah yang sangat besar. "Ayo, duduk dulu."

"Jujur aja, ini adalah pohon teraneh yang pernah gue masukin. Tapi, sekali lagi, tujuan lo ngasih tahu ke kita mengenai ini semua apa, ya? Apa hubungannya sama rawa juga?" tanya Reva lagi.

Tempat ini unik sekali.

Komentar Jinan masih dengan berdiri memperhatikan sekitar. Ia dari tadi tidak bisa diam.

"Oke, jadi gini, jujur sebenarnya gue udah lama banget merhatiin lo selama ini. Jadi---"

"Kata lo tadi di luar baru kita orang pertama yang bahas rawa disaat orang-orang tidak tahu menahu. Itu artinya kita juga baru pertama kali dong ketemu." potong Reva saat merasa janggal dengan kalimat pembuka Deo.

"Iya, kita emang baru pertama kali bertemu dan saling kontak begini baru tadi siang pas di kantin. Cuma---"

"Jangan bilang lo diam-diam selama ini suka sama gue. Nggak, ya! Gue nggak mau sama lo!" tukas Reva lagi memotong ucapannya Deo dengan ekspresinya yang datar. Jinan yang mendengar itu langsung mengalihkan tatapnya ke Reva.

"Kepedean banget sih lo. Sakit hati nih gue. Belum juga punya rasa udah ditolak aja." keluh Deo dengan sedikit bercanda. Sedang Reva bersikap seolah tak ada yang salah dengan apa yang dikatakannya.

Bisa tolong langsung ke intinya aja nggak ngomongnya?

Tulis Jinan dengan kecepatan turbo. Reva pun mengangguk dan memilih mengenyampingkan akan rasa janggalnya dengan kalimat pertama Deo tadi.

"Oke, sebelumnya gue yakin lo berdua pasti udah bisa nebak gue ini siapa, kan." Reva dan Jinan kompak tak menyahut dan hanya memberikan tatapan meminta penjelasan secepatnya.

"Kalian pernah dengar nggak dengan adanya larangan untuk memasuki gedung teater yang sekarang tiba-tiba ditutup semenjak kenaikan kelas?" tanya Deo menatap bergantian pada keduanya.

Gue murid baru.

"Gue inrovert."

Deo hanya mengangguk paham tanpa bersikap seperti menghakimi akan sifat Reva maupun Jinan.

"Jadi, gue sebagai mahkluk setengah manusia ini, sering kali lihat atau nyaksiin sendiri dengan adanya 7 murid dan 9 guru yang diikat di dalam ruangan itu satu per satu, ---tapi, mereka sudah mati, sih, sekarang. Gue bisa lihat mereka, tapi anehnya mereka nggak bisa lihat gue." kata Deo yang kemudian berhenti sejenak memperhatikan reaksi yang ditampilkan oleh dua cewek itu. Tapi nyatanya Reva dan Jinan hanya diam saja dan seperti meminta Deo untuk melanjutkan ceritanya.

"Dalam ruangan itu terhubung sama rawa yang ada di belakang gudang tua atau yang ada di samping pohon ini. Kalau secara denah sekolah emang kelihatannya nggak searah. tapi kalau lo lihat secara dunia yang berbeda itu sebenarnya sealur. Lo pernah lihat kan, Rev?"

"Mana gue tahu, gue mah lihat-lihat aja, tapi nggak merhatiin bener-bener." sahut Reva enteng.

Murid sama guru itu mereka diapain sampai diikat segala? Kok mereka bisa sampai mati?

"Gue dengar sih mereka itu dijadiin tumbal buat sekolah kita pas sekolahan ini mau direnovasi." kata Deo dengan menatap keduanya secara bergantian.

"Maksud lo arwah mereka masih ada di sana dan dalam kondisi masih terikat gitu?" tanya Reva yang langsung disambut dengan jentikan jari Deo yang membenarkan dugaannya.

"Ah, sumpah gue senang banget akhirnya bisa ngobrolin hal ini dengan orang yang tepat." pekik Deo pelan agak terkesan kegirangan.

Eh, kok lo bisa-bisanya pasang muka segembira begitu. Padahal yang lagi kita bahas bukan hal yang lucu tau.

"Bukan gitu, gue---"

"Tunggu dulu, apa ini ada kaitannya dengan suara gaduh yang sering terdengar di salah satu ruangan entah dari mana, tapi pas di cek nggak ada satu kelas pun yang ngaku habis buat keributan?" potong Reva lagi sesaat teringat dengan kejadian yang sering terjadi selama ini di sekolahnya.

LAYERS || 48 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang