✔️EPS. 22

261 41 2
                                    

"Jadi, lo bakal pergi selamanya sebentar lagi?" tanya Reva sekali lagi.

Deo mengangguk membenarkan.

Kenapa lo mesti pergi? Bukannya lo selama ini sudah hidup menjadi sosok bihuman? Lo sudah hidup lebih lama dari kita tanpa menua. Kenapa sekarang malah jadi begini?

"Mungkin, itu efek dari apa yang terjadi dalam beberapa hari belakangan, Nan. Kita sudah bantuin dia dan inilah pada akhirnya." kata Reva sebelum Deo sempat menjawab.

"Reva benar. Ini adalah konsekuensi yang mesti gue dapatkan setelah apa yang sudah kita lalui sejauh ini." kata Deo.

"Ya, Yo. Gue harap, setelah ini nggak ada lagi orang-orang yang dijadikan tumbal proyek dari pembangunan sekolah ini lagi. Kasihan mereka. Matinya nggak tenang." -Reva.

"Iya. Terima kasih banyak ya atas bantuan kalian berdua. Sama teman-teman beda dimensi lo juga. Bilangin kalau gue senang udah kenal sama mereka walau, yah, gue nggak sebebas lihat kayak lo ke mereka." -Deo.

Aku tidak merasakan keberadaan Freya dan Gracio. Dimana mereka sekarang?

Reva lantas memanggil keduanya sesaat tak mendapati keberadaan keduanya.

"Uh, kau sudah siap pergi rupanya." tegur Freya begitu muncul. Deo dapat mendengar suaranya dengan jelas tapi tidak dengan tubuhnya. Samar-samar.

"Ada apa dengannya?" tanya Gracio menyusul.

Omong-omong di mana pak Elios sekarang? Bukankah kita sempat melihatnya waktu itu

"Entah. Mungkin tengah menyibukan diri mengenai kasus yang telah terungkap sekarang?" sahut Gracio dengan menggedikan bahu.

"Omong-omong, apa kalian tidak merasa sedih kalau waktu kita bersama sudah tak lama lagi? Bahkan kalian tidak terlihat merasa kehilangan sama sekali." ucap Deo dengan cemberut.

Reva hanya mengangkat sebelah alisnya seraya menoleh pada Jinan.

Emang kita dekat?

"Mantap, Nan!" Reva mengacungkan jempolnya seraya kembali berkata. "Kena mental, nggak?" tanyanya pada Deo dengan tersenyum miring. Sedikit banyaknya ia masih kepikiran kalau dalam beberapa waktu belakang yang membuat harinya suram adalah Deo.

"Ceh, gue rasa yang sedih itu sebenarnya dia, deh." celetuk Gracio sambil bersedekap.

"Sudah-sudah, dari pada keadaan makin kusut. Deo dan Jinan mending pulang dulu, deh. Kelihatan dari raut  wajah kalian tuh butuh istirahat banyak dalam beberapa hari ke depan. Dan untuk kau Deo, aku yakin kau tak akan pergi dalam waktu cepat. Yah, mungkin sekitar satu bulan lagi kurasa." tegur Freya menengahi.

"Yah, kau ada benarnya juga. Aku seperti ini mungkin karena kita semua sudah terlalu banyak menghabiskan energi di tempat yang tidak biasa. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi dulu. Sampai jumpa lain hari." kata Deo seraya beranjak.

"Lo jangan balik. Di sini aja temenin gue." seru Reva menghentikan gerakan Jinan yang bersiap mau nulis kata-kata pamit.

"Oke, bye, semua." pamit Deo lagi kemudian berjalan pergi.

Lo mau ngapain sama gue?

Jinan bertanya setelah Deo tak terlihat lagi.

"Nggak ada. Temenin aja." ucap Reva dengan enteng.

Jinan hanya mengangguk sesaat menatap Reva sebentar.

"Eh, Gee, bapak gue gimana keadaannya? Jangan bilang dia juga ikut tewas seperti yang tadi Deo ceritain." tanya Reva pada Gracio.

Dalam sekejab, Gracio pun merubah sudut pandang Reva ke masa depan. Tampak Niel tengah duduk sambil meminum kopi di suatu ruangan. Entah ia dapatkan dari mna semua itu.

Reva mengembuskan napas berat dan lelahnya dan Jinan pun mengusap pelan pundaknya.

Istirahat, yuk

Ajaknya. Dan Reva pun dengan lemah mengangguk seraya mengikuti Jinan menuju kamarnya.

****

"Papa?" panggil Reva bengong saat dilihatnya Niel tengah membuatkan sarapan untuknya dibantu oleh Jinan.

Selamat pagi

Sapa Jinan dengan bahasa isyarat. Reva hanya memberikan senyuman tipis sebagai balasannya. Ia masih agak sedikit heran dengan keberadaan sang ayah yang tiba-tiba sudah ada di rumah.

"Papa sejak kapan ada di rumah?" tanya Reva dengan duduk di bangku diikuti oleh Jinan yang meletakkan sepiring nasi goreng di hadapannya.

"Entah. Papa juga nggak ingat. Yang jelas, begitu papa terbangun. Papa sudah ada di kamar. Papa merasa ada banyak hal yang sudah papa lewati. Tapi, papa lupa hal apa itu." jelas Niel.

Reva hanya mengangguk anggukkan kepala dan menatap ke arah Gracio yang mengatakan bahwa ayahnya saat ini tak ingat apapun tentang semua kejadian yang telah terjadi.

Setelah selesai dengan urusan dapurnya, Niel pun turut duduk.

"Ada apa dengan tanganmu, Reva?" tanya Niel begitu menyadari adanya memar di pergelangan tangannya Reva. Reva yang tak merasa sama sekali pun turut menoleh pada tangannya. Ia pun mengernyit heran lantaran baru tahu ada memar di tangan. Padahal, seharusnya ia yang lebih tahu tentang keadaan tubuhnya.

Sesaat kemudian, memar itu pun dengan perlahan seperti menjalar kesekitar lengannya.

"Freya!? Apa yang telah terjadi dengan Reva!?" seru Gracio.

"Ikut aku. Ini bukan hal yang bisa dilakukan Reva sendirian. Kita harus meindunginya." ucap Freya yang kemudian disusul Gracio dengan lenyap seketika.

Sementara itu, Niel berusaha untuk menahan pergerakan memar aneh itu agar tidak menyakiti anaknya. Sedang Jinan berusaha untuk mencari tahu dari mana asalnya memar yang muncul tiba-tiba itu. Jinan sangat yakin kalau memar itu munculnya begitu tiba-tiba sekali. Pasalnya, saat tadi malam mereka masih mengobrol, tak ada bekas luka apapun di tubuh Reva.

Ini aneh sekali.

LAYERS || 48 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang