#40

291 49 2
                                    

- Egois

"Ja–jadi pilihan lo?"

Hanya gelengan yang menjadi respon.

Kala tahu Wendy sangat berarti untuk Naka, jelas wanita itu ibunya, orang yang melahirkan Naka. Dan Kala siapa? Ia hanya orang asing yang kebetulan singgah di dunia Naka.

Tapi bolehkah Kala egois, sekali saja, Kala ingin Naka memilihnya.

"Gue bakal pikirin solusinya, yang pasti gue nggak akan ninggalin siapapun, baik lo ataupun ibu gue."

Kala hanya mengangguk. Semoga, semoga saja solusi itu ada.

*****

- Ulang Tahun

Nyatanya berjuang tak semudah yang mereka pikirkan. Menahan segala cacian kian hari semakin membuat Kala merasa seperti sampah yang harus disingkirkan jauh-jauh.

Meskipun teman-temannya tetap memihak, tetap saja lebih banyak yang menolak. Pun mereka harus melawan restu orang tua.

Bisakah mereka bertahan?

"Nggak usah dibersihin, biarin aja."

Kala melangkah mendekati Aji yang tengah membersihkan coretan-coretan juga beberapa kertas dan sampah snack di dalam lokernya. Bukan pertama kali, minggu ini bahkan yang paling parah ada yang sampai menaruh bangkai tikus.

"Tapi Kal, mereka udah keterlaluan. Apa nggak mau lapor ke—"

"Ke siapa, Ji? Percuma."

Tak hanya siswa, bahkan guru-guru pun memandang tak suka pada Kala dan Naka. Mereka dipandang seperti aib di sekolah ini. Tak ada yang peduli meski Kala dan Naka dibully atau dicacimaki sekalipun. Mereka seperti tak punya hati.

"Jangan sedih, besok kan ultah."

"Siapa?"

"Lo anjir!"

Astaga, iya, besok umur Kala bertambah satu tahun. Tepatnya ia akan berusia 18 tahun. Dan Kala hampir melupakannya karena lebih banyak hal yang lebih penting yang harus ia pikirkan.

Memang benar kata orang, semakin dewasa hidup semakin sulit. Kala jadi ingin kembali ke saat-saat di mana ia belum mengenal apa itu cinta. Saat di mana ia tak perlu memikirkan respon dunia meski dirinya jungkir balik sekali pun tak akan ada yang berkomentar.

"Lo mau rayain bareng kita apa sama Naka?" tanya Aji sambil mereka berjalan beriringan ke kelas.

"Nggak tau."

Hah ... apa Kala masih pantas merayakan ulang tahun?

Dan Naka, cowok itu dari kemarin belum membalas pesan-pesan Kala. Apa pekerjaan Naka sebegitu padatkah? Atau mungkin ... ada alasan lain?

*****

- Pilihan Naka

Malam tadi, saat Naka baru pulang dari tempat kerja ia dikejutkan dengan kemunculan seseorang yang amat ia kenal di rumahnya. Naka mematung di pintu.

"Jadi begitu cara kamu mendidik seorang anak, hah?! Mau jadi apa Naka diurus wanita nggak waras macam kamu?! Kamu bahkan nggak pantes disebut ibu!"

PLAK

"APA YANG ANDA LAKUKAN?!"

Naka menghampiri Wendy yang sudah menangis tersedu-sedu di lantai. Naka memeluk ibunya erat, melindungi jiwa rapuh itu dari iblis di hadapannya.

Entah dari mana pria paruh baya itu tahu tentang hubungan Naka, sore tadi Arya datang dan langsung memaki-maki Wendy. Niatnya pria itu mau mengambil Naka yang secara biologis tetaplah anak kandungnya. Pewaris sah nya.

"Mau apa Anda ke sini?!" Naka mendongak dengan tatapan nyalang.

Ia bahkan siap membunuh orang di depannya jika sekali lagi pria itu menyentuh ibunya.

"Huh ... kamu. Diajarin apa kamu sampai jadi seperti ini? Mau jadi apa kamu ke depannya, hah? Mau jadi orang gila seperti jalang ini?"

"CUKUP! JANGAN BERANI-BERANI ANDA MENGHINA IBU SAYA DENGAN MULUT KOTOR ITU!"

Napas Naka memburu. Kedua telapak tangannya terkepal kuat. Membuka suara sekali lagi, pukulan Naka dipastikan akan melayang ke rahang pria di hadapannya.

"Nak—Naka sudah. Jangan pukul ayah kamu."

Naka berbalik menatap ibunya, tatapan wanita itu terlihat memohon. Memohon agar tak terjadi perkelahian antara ayah dan anak itu. Wendy tetap tak mau anaknya menjadi durhaka terhadap ayahnya sendiri.

"Pergi dari sini sekarang!" desis Naka berusaha mengontrol emosinya.

"Wanita ini yang harus pergi. Kembalikan dia ke rumah sakit jiwa i—"

BUAGH

"NAKA!"

Wendy meraungkan tangis pilu. Wanita itu berusaha menghentikan perkelahian anak dan mantan suaminya. Naka memukul ayahnya tanpa ampun, terlebih pria itu tak memberikan perlawanan membuat Naka semakin mudah menumbangkannya.

"Naka, ibu mohon berhenti! Ibu mohon!"

Hingga akhirnya Naka menghentikan pukulannya. Membiarkan pria itu melangkah terseok-seok keluar dari rumah mereka. Meski Naka ragu ayahnya itu masih akan datang lagi atau tidak nanti.

Kedua kaki Naka mendadak melemas, tubuhnya merosot bersandarkan tembok. Isi pikirannya benar-benar kacau. Ia memang membenci ayahnya, tapi tak pernah sekalipun Naka berpikiran untuk menyakiti ayahnya sebrutal tadi.

Namun yang lebih menyakitkan adalah mendengar ibunya dihina tepat di depan matanya sendiri. Dan itu semua karena kesalahannya. Karena kegigihannya ingin mempertahankan Kala.

"Naka sudah ... sudah nggak apa-apa."

Wendy meraih Naka ke dalam pelukannya. Mengelus lembut punggung putranya. Sejak Naka kecil, baru sekarang Wendy melihat keadaan putranya bisa sekacau ini. Naka yang selalu Wendy lihat adalah Naka yang kuat, Naka yang selalu menampilkan keadaan baik-baik saja meski dunianya berantakan.

Terlalu banyak perasaan yang Naka pendam sendiri, dan kini anak itu sudah tak mampu untuk menahannya lagi.

Untuk pertama kalinya Naka menangis, menangis di pelukan ibunya. Menumpahkan segala rasa sakitnya.

"Maafin Naka, Bu, maafin Naka," lirih Naka hampir tak terdengar.

"Bukan salah kamu. Ibu yang seharusnya minta maaf. Ibu belum bisa jadi ibu yang baik buat kamu. Ibu belum bisa memahami keinginan kamu."

Dan masih banyak lagi peran yang belum Wendy penuhi. Sejenak wanita itu membenarkan perkataan mantan suaminya. Wendy merasa tak pantas disebut sebagai ibu.

Beberapa saat kemudian, Naka melepaskan pelukannya. Menatap sendu wajah sembab Wendy dengan pipi wanita itu yang kian memerah akibat bekas tamparan. Lalu, inilah keputusannya. Ini pilihannya.

"Ibu, Naka akan pilih ibu."

*****


You Make Me ✔ | hyunlix lokal au Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang