(2)

160 38 18
                                    

"Perasaan baru berapa menit, tapi kok ...."

Ana terkejut menatap sekitarnya. Matahari sudah di ujung barat, itu berarti ia sudah sangat lama berada di tepi sungai ini. Gadis itu berdiri, kemudian memasangkan sepatunya, tak peduli dengan kaki yang basah. Ia mencoba berpikir jernih, orang yang sedang melamun pasti akan lupa waktu 'kan?

Ana memutuskan untuk pulang ke rumah Nenek. Meski jarak dari sungai ke rumah Nenek sangat dekat--hanya beberapa meter--ia takut juga. Kalau-kalau ada buaya sungai yang menerkamnya, sedangkan ia hanya sendirian sejak tadi. Sesampai di rumah, Ana melihat ibu dan neneknya sedang berada di dapur.

Ibu sedang sibuk dengan kuali di hadapan, sedangkan Nenek pun sibuk dengan pisaunya. Nenek memotong sayur-mayur dan juga ikan mentah. Bunyi-bunyian yang diciptakan keduanya seakan beradu. Ana kemudian menghampiri mereka dan duduk di tengah dapur, di atas tikar anyaman yang kasar.

"Kamu dari sungai? Jam segini kok baru pulang," tegur Ibu. Ana hanya menyengir tak berdosa. Gadis itu kemudian mengangguk-angguk hingga rambut sebahunya bergoyang ke sana kemari.

"Udahlah, Mi. Biarkan saja, biasalah orang kota baru pertama kali lihat pemandangan desa." Nenek ikut tersenyum.

Sambil menunggu makan malam, Ana memutuskan untuk membantu Nenek dan Ibu. Mereka bersama-sama memasak hingga menyiapkan hidangan. Kebahagiaan terselip, tetapi mungkin itu tidak berlangsung lama.

***

Desa Berangai adalah sebuah desa yang terletak jauh dari kota. Jarak yang ditempuh untuk sampai ke kota terdekat kurang lebih sekitar lima jam perjalanan. Itu pun apabila bepergian menggunakan roda empat. Meski begitu, desa ini juga tidak terlalu terpencil sebab jaringan telepon masih bisa dijangkau walau harus pergi ke dataran yang lebih tinggi.

Gerbang desa terletak di timur. Satu-satunya jalan keluar dari kawasan ini. Desa Berangai dikelilingi oleh perkebunan kelapa sawit yang buahnya mulai muncul di satu sisi, juga di sisi lain ada hutan dengan berbagai macam tumbuhan liar yang mengepung. Desa ini akan semakin sepi apabila malam menyelimuti.

"Juk, nanti antar air tiga galon ke rumah Pak RT, ya," titah seorang bapak-bapak bersarung yang kini merapikan rambutnya. "Abis maghrib."

"Iya, Pak." Seorang remaja laki-laki tengah mengancing bajunya. Dia mematut diri di depan cermin.

"Loh, kamu mau kemana?" tanya sang bapak dengan raut wajah kebingungan.

Juki pun menoleh ke arah bapaknya, memasang ekspresi yang sama bingungnya.

Remaja berambut keriting itu menjawab, "Mau jamaahan di musala, ikut bapak."

"Nggak usah. Salat di rumah aja, sambil jaga ibumu."

Perintah sang bapak tak bisa dibantah. Apabila Juki menyangkal, ia akan disabet dengan kayu penyangga pintu rumahnya. Lagipula ibu Juki sedang sakit, tidak ada salahnya menjaga beliau. Juki hanya mengangguk pasrah menatap punggung tegap sang bapak yang menghilang di balik pintu rumah.

Selepas menunaikan ibadah salat maghrib, Juki mengambil dua buah galon air yang kosong. Ia pergi ke sumur di belakang rumahnya. Meskipun mentari sudah ditelan malam, sumur di belakang rumah itu sangatlah terang dan bersih sebab keluarga penjual air minum ini selalu merawat dan memberi lampu penerangan. Saat galon ketiga hendak diisi, Juki merasa bimbang.

Ia menatap gayung putih yang tiba-tiba saja ada di pinggir sumur itu. Seingatnya, ia belum menciduk air lagi saat pergi mengambil galon ketiga. Tangan remaja itu menyentuh pinggiran gayung yang kecil, betapa terkejutnya dia melihat isi di dalam gayung itu.

Juki segera melempar gayung yang terbuat dari potongan galon tersebut. Ia baru ingat agar tidak berlama-lama di luar rumah jika hari sudah malam. Warga desa Berangai percaya, siapa pun yang bepergian keluar rumah sendirian meskipun hanya sebentar, ia akan diteror Bangkit.

Bangkit adalah sebutan untuk makhluk yang konon katanya keluar dari kuburan. Entah apa tujuan makhluk itu tidak ada yang tahu.

"Udahlah, dua galon aja." Juki segera mengangkat dua galon berisi air sekaligus.

"Besok bapak harus beli pompa baru," gerutunya sambil menahan berat kedua galon tersebut. Ia segera pergi meninggalkan gayung penimba itu. Lumpur berwarna merah yang bau amis berhamburan di sekitar sumur, asalnya dari dalam gayung yang dibanting Juki.

***

Senja sudah beranjak sejak tiga puluh menit yang lalu. Keluarga Ana sedang duduk melingkar di atas tikar anyaman, sedang makan malam bersama. Persis seperti tadi siang.

"Ayah tadi ke mana?" tanya Ana sambil melahap nasi yang tergumpal di tangan kanannya. Ayah menelan makanannya sebelum menjawab.

"Tadi ayah tanya-tanya warga, mau ke rumah Pak RT. Nanti kamu mau ikut melapor?" Ana mengangguk menanggapi perkataan ayahnya.

"Tapi jangan bawa anakmu lama-lama." Hening merayap di seluruh sudut dapur. Bahkan Ayah yang sedang mengunyah pun berhenti.

"Kenapa, Nek?" tanya Ana. Alisnya mengerut karena heran.

"Pamali."

Ayah mengangguk. Kemudian, makan malam pun berlanjut. Tidak ada lagi percakapan hingga masing-masing makanan tandas. Dapur segera dibersihkan oleh Nenek dibantu Ana dan Ibu.

Ana ikut Ayah pergi ke rumah Pak RT untuk melapor. Biasanya di desa seperti ini harus melapor apabila bertamu ke kawasan tersebut. Ayah mulai membuka percakapan saat mereka sudah di dalam mobil.

"Desa ini udah banyak berubah."

Sambil menginjak pedal gas, Ayah bercerita tentang bagaimana keadaan desa Berangai sebelum ia pergi ke sini. Kakek Ana dulu adalah seorang mandor proyek pembangunan jalan. Karena iseng, Ayah ikut Kakek pergi ke desa ini. Namun, keisengan Ayah masih muda justru mempertemukannya dengan ibu Ana yang sebayanya. Ana memutar mata, padahal ia sudah sering kali mendengar kisah masa muda ayahnya ini. Namun, tidak bosan-bosan sepertinya, Ayah selalu mengulang kisah yang sama.

Dalam perjalanan, Ana melihat rumah-rumah warga dari balik kaca mobil. Semua rumah warga terlihat sepi. Terlintas kembali di pikiran Ana tentang larangan yang dibilang Nenek tadi. Yang benar saja? Masa' hanya keluar rumah malam dibilang pamali?

Mereka sudah sampai di pekarangan Pak RT. Sepertinya ketua RT di sini adalah orang terkaya di desa. Bangunan yang lebih megah daripada sekitarnya itu terlihat mencolok daripada yang lain.

Desa Berangai terdiri dari tiga RT. Daerah desa ini lumayan luas. Hanya karena diapit hutan dan berjaraknya rumah yang berdiri membuat desa ini seakan-akan terpencil. Juga jalan transportasi umum yang hanya satu jalur. Sisanya gang-gang yang belum diaspal.

Bangunan di depan Ana adalah sebuah rumah berbahan dasar kayu dan memiliki loteng. Rumah Pak RT itu sepertinya rajin dirawat karena catnya masih terlihat baru, tidak seperti rumah warga lain yang juga terbuat dari kayu tapi catnya sudah lusuh. Di depan pintu ada tangga kecil. Di kiri dan kanannya ada pagar setinggi pinggang orang dewasa, kemudian di atas pagar ada macam-macam bungan dalam vas kecil.

Di halaman ada mobil hitam, satu jenis dengan milik Ayah. Hanya saja punya ayah Ana berwarna putih. Kendaraan mereka berjejer. Ayah pun keluar, diikuti gadis semata wayangnya.

Ana melihat sekeliling, lagi. Batinnya bertanya-tanya tentang kenapa orang-orang di desa ini begitu takut dengan mitos?

"Ana, ayo sini."

Gadis itu tersentak dan segera menoleh ke arah sang ayah. Ia berlari kecil menuju tangga rumah Pak RT. Mereka mulai bercengkrama setelah Ayah menjelaskan maksud keduanya datang kemari. Saat sudah selesai melapor, Pak RT menyuruh mereka untuk segera pulang.

"Ada sebabnya kenapa desa ini dinamakan desa Berangai."

Ayah mengangguk, ia tahu itu karena pernah berada di sini beberapa hari sewaktu masih bujangan. Sementara Ana hanya membuang muka. Warga desa ada-ada saja, batin Ana. Mereka pun segera memasuki mobil.

Dalam perjalanan, gadis yang selalu penasaran akan sesuatu tergelitik dengan benda beroda di bawah tiang lampu jalan. Ana yakin kalau ia juga melihatnya saat dalam perjalanan kemari. Awalnya ia mengira kalau-kalau itu adalah gerobak salah satu warga, atau semacamnya. Namun, bukan itu yang menarik perhatian si gadis.

Di samping gerobak, ada siluet yang terlihat seperti orang jongkok.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang