(19)

64 20 8
                                    

Ana mengecek satu per satu halaman buku itu. Ia membolak balik, hanya untuk memastikan sesuatu yang terjadi dan menurutnya aneh. Bagaimana bisa ia tidak menyadari ini? Apakah ia sudah terlambat? Ana menggeleng.

Buku itu, tulisan demi tulisan tangan yang ada di sana seperti menghilang. Ana baru menyadari kalau tulisan-tulisan di sana semakin memudar. Kini gadis itu menyimpan buku di laci, lalu mondar-mandir di kamarnya sambil memegang dagu.

Gadis itu berjalan, terus berjalan dan terus berpikir. Ia menerka-nerka apa yang akan terjadi nanti? Namun, Ana sudah berusaha berpikir dengan keras. Akan tetapi ia tidak menemukan satu pun jawaban yang memuaskannya. Gadis itu akhirnya duduk di tepi kasurnya lagi.

Ana mendesah pelan. "Gimana ini?"

Gadis itu menatap lantai kamar. Akhirnya ia menyerah. Ana merebahkan diri di kasur yang tidak terlalu empuk itu. Sebenarnya, ini masih terlalu pagi untuk tidur siang. Namun, gadis itu memaksakan diri memejamkan matanya agar segera terlelap.

"Huh, nggak bisa juga."

Setelah berpindah-pindah posisi tidur, membuka, menutup, kemudian membuka mata lagi, Ana akhirnya membiarkan dirinya tetap terjaga. Gadis itu kemudian duduk dan menatap rumah tetangga yang berjarak sekitar lima meter di sebelah kiri rumah ini. Entah kenapa, rumah satu-satunya sebelum hutan itu selalu terlihat sepi. Mau itu siang ataupun malam, rumah tersebut kelihatan tidak berpenghuni.

Ana tergelitik untuk melihatnya dari dekat, ia bergegas keluar dan memeriksa keadaan. Hanya ada Nenek di ruang tamu yang terlihat sibuk dengan benang dan jarum. Mau tak mau Ana berhenti dan membantu neneknya sebentar, memasukkan benang ke dalam jarum. Kemudian gadis itu berpamitan keluar dengan beralasan mencari angin. Nenek pun mengizinkan.

Setelah memeriksa sekitar, Ana berjalan-jalan menuju rumah itu. Rumah itu sama seperti rumah-rumah yang ada di desa ini, berbahan dasar kayu. Ukurannya tidak terlalu besar, pun tidak terlihat kecil juga. Gadis itu mengamati dari jauh sementara kakinya seakan berjalan sendiri. Akhirnya, Ana tiba di depan rumah tersebut dan lebih memperhatikan bangunan sederhana itu.

Rumah tersebut memiliki dua tiang untuk menyangga atap di terasnya. Ada semacam panggung yang terbuat dari papan dan teras itu sangat kotor. Kemudian di kiri dan kanannya penuh semak belukar, hingga di salah satu tiangnya itu Ana melihat seutas tanaman rambat yang melingkar.

"Kayaknya rumah ini kosong."

Gadis itu mencoba maju selangkah lebih dekat. Hingga kakinya menyentuh teras yang seperti panggung itu. Tangan Ana terjulur hendak membuka pintu. Ana seakan tersihir oleh sesuatu dan bergerak sesuai dengan instruksi sesuatu itu. Gadis yang selalu merasakan penasaran terhadap hal-hal yang baru itu memegang gagang pintu. Pintu cokelat yang terlihat rapuh itu ternyata masih kokoh.

"Ana?!"

Baru saja hendak menekan gagang, ia tersentak oleh suara panggilan neneknya. Ana menoleh dan mendapati ibu dari ibunya itu melambai. Mau tak mau gadis itu segera ke sana dan meninggalkan pintu yang sedang berderit terbuka. Belum jauh Ana melangkah, pintu itu kembali menutup, seakan-akan ada yang membantingnya dari dalam.

"Iya, Nek? Ada apa?"

Nenek segera menarik tangan cucunya itu dan menyeretnya ke dalam rumah. Terlihat raut kebingungan yang tercetak jelas di wajah Ana. Ana bertanya mengapa nenek bisa sekhawatir itu. Namun, nenek hanya mendekat hingga wajahnya tinggal berjarak beberapa sentimeter dari Ana.

"Jangan sekali-kali mendekati rumah itu. Penghuninya berbahaya." Nenek memperingati dengan ekspresi wajah yang agak menakutkan bagi Ana. Gadis itu mengangguk dan berjanji tidak akan ke rumah paling ujung itu lagi.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang