Langit mulai berwarna setelah beberapa saat yang lalu hanya gelap yang terlihat. Suara para ayam jago berlomba-lomba menjadi alarm alami bagi warga desa. Embun bekas tadi malam mulai minder, segera turun dan menempel pada tanah ataupun daun yang ada di tempat terbuka.
Ana sedang beberes kamar. Gadis itu merapikan sajadah yang ia gunakan tadi untuk beribadah. Setelah itu, ia duduk lagi di kasur lapuk milik neneknya. Gadis tersebut menghela napas. Semalaman ia benar-benar tak bisa tidur lagi. Semua hapalan doa yang diajarkan padanya habis dibaca. Ia merebahkan diri di kasur, bukan untuk tidur lagi. Melainkan hanya sekedar beristirahat karena kecapekan. Akhir-akhir ini, tidurnya tak nyenyak sama sekali.
Ana menutup mata. Berusaha menuruti kemauan matanya yang memaksa untuk menutup. Beruntung saja ia terbangun pas azan berkumandang. Walau sayup-sayup, itu pun sudah cukup untuk setidaknya menemaninya saat berwudhu. Ana tidak tahu apa yang akan terjadi jika saja ia nekat tanpa pengawalan azan ke sana. Ia mungkin akan melihat atau bertemu dengan sesuatu yang ditakutinya.
Napasnya mulai naik turun dan berirama, teratur dan membuat kesadaran perlahan memudar. Ia lelah. Lelah dengan semua yang terjadi. Lelah dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi menyerang otaknya. Pun lelah dengan teror yang menimpanya. Bagaimanapun juga, rasa penasarannya akan desa tidaklah memudar. Malah justru ia sangat yakin kalau benar-benar ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi di desa ini.
Mata gadis itu semakin berat. Seiringan dengan napasnya yang memelan, kesadarannya perlahan nenguap. Ia hendak terlelap dalam mimpi yang seharusnya saat berlibur, justru menikmatinya karena suasana desa yang menyenangkan. Bukan malah terjebak dalam situasi buruk yang mengharuskannya ikut serta.
Saat sedikit lagi mencapai alam mimpi, Ana mendengar samar-samar sebuah suara.
"Ana ...."
Mata gadis itu merapat. Apa lagi ini Ya Tuhan? Ia menyesal tidak pernah percaya dengan hal-hal ghaib selama hidup. Dan kepercayaan itu hilang terkikis oleh beberapa kejadian tak masuk akal yang dialaminya. Ana bertekad harus segera menyelesaikan ini secepatnya agar ia bisa hidup tenang.
"Ana ...."
Suara itu. Familiar sekali. Mata gadis itu seakan sudah ia gembok agar tidak melihat gal-hal yang tak diinginkannya.
Tiba-tiba, ia merasakan ada sesuatu yang mendekat. Terdengar dari langkah yang memelan. Jantungnya kini berdisko, berdetak sangat cepat.
"Ana?"
Itu Ibu. Ibu menepuk pelan bahu Ana, membangunkan gadis itu. Ana pun membuka matanya. Ia mengucap syukur dan segera memeluk ibunya.
"Kenapa kamu tidur dengan mukena masih terpakai?"
Pertanyaan itu membuat matanya membelalak. Ia segera melihat ke bawah dan benar saja, karena terlalu sibuk dengan pikirannya, ia lupa bahwa tadi hanya merapikan sajadah saja. Lupa bahwa kain tipis untuk salat itu belum dilepasnya. Ibu hanya menggeleng pelan melihat kelakuan anaknya itu. Ana pun segera bersiap diri dan mengajak ibunya keluar. Mereka bersama-sama keluar sambil bergandengan tangan. Dan tanpa satupun yang menyadari, lembaran demi lembaran buku bersampul hitam itu terbuka sendiri.
***
Juki sedang melamun, saat ini pemuda itu tengah menarik gerobak galonnya dengan lesu. Seharian ia kepikiran dengan Ana. Kemarin malam, saat sedang menuju rumahnya, Juki melihat Ana terduduk di tengah jalan. Ia melihat wajah pucat gadis itu. Ketakutan yang jelas nampak di sana.
Hingga ia datang, Ana bagaikan dihisap kehidupannya oleh sesuatu. Dan yang menjadi pertanyaannya adalah, apa sesuatu itu?
Juki melamun sepanjang jalan. Hingga Ana mendatanginya dengan raut yang sulit dijelaskan. Ia mempercepat langkah membuat jarak mereka berdua semakin menipis. Juga semakin jelas terlihat kalau mata Ana berkantung. Juki dilanda rasa penasaran. Apakah semalaman Ana tidak tidur?
"Halo? Bagaimana keadaanmu?" sapa Juki. Namun, wajah Ana tetap datar.
"Hei!" Ana hanya mendongak pelan.
Lama mereka bertatap-tatapan dalam diam. Juki bimbang.
"Ada apa?" tanyanya lagi.
"Tolong aku!"
Cerita pun mulai mengalir dari bibir Ana. Di mulai dengan kejanggalan di sungai, sesuatu yang didengarnya seperti suara anak kecil yang mandi, bahkan mimpinya tadi malam. Juki berpikir keras. Sebenarnya ia ingin membantu, tetapi tindakan Ana dapat disalahkan juga.
"Kamu terlalu dikuasai rasa penasaran," terang Juki. Kemudian ia melanjutkan, "Lebih baik belajar kendalikan perasaan itu, ada hal yang memang sebaiknya tidak kita ketahui."
Ana hanya menatap pemuda itu. Matanya memelas memohon agar Juki bisa membantunya. Juki menggeleng. Ia tetap harus memperingati gadis itu agar menuruti aturan desa. Akhirnya, datang dengan wajah lesu, Ana pun pulang dengan ekspresi yang sama. Ia berbalik meninggalkan Juki dengan gerobaknya.
Juki menghela napas panjang, ia menarik gerobak itu. Namun, keanehan terjadi. Meski jalanan yang dilaluinya itu sangat sepi, tak mungkin ada sesuatu yang aneh di siang bolong begini.
Juki pelan-pelan menoleh ke belakang, ke arah gerobaknya. Ia tahu kalau gerobak itu kosong, ia juga tahu kalau sekarang masih siang. Yang Juki tidak tahu, kenapa gerobak itu bisa berat dan susah untuk ditarik.
"Macet lagi?" tanyanya pada diri sendiri.
"Enggak."
Pemuda itu menegang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...