Betul-betul hening. Selain sekitar yang seakan membisu, hanya ada suara serangga yang mengisi sunyinya malam. Di jalan yang kasar, kakinya sesekali terantuk batu yang timbul. Tangannya merapat memeluk tubuhnya yang tetap merasa dingin meskipun sudah dibalut jaket. Padahal ini baru setengah delapan. Namun, sunyinya sudah seperti tengah malam.
Ana menelusuri jalan desa. Sebenarnya gadis itu takut dengan apa yang dilihatnya tadi. Akan tetapi ia tetap berusaha berpikir positif. Bisa jadi tadi cuma orang biasa 'kan? Bisa saja ketakutan tiba-tiba menghampiri dan membuatnya menjadi berhalusinasi. Ya, bisa jadi. Ana terus meyakinkan dirinya.
Langkah demi langkah, sudah belokan ketiga, tetapi apa yang dicari gadis itu belum menunjukkan tanda-tanda akan muncul. Sebenarnya, Ana juga bingung apa yang dicarinya malam-malam begini. Ia hanya menuruti hatinya yang terus mendesak. Gadis itu pun celingukan saat rumah warga mulai terlihat jarang.
Beruntung gelap tidak merajai daerah ini sebab lampu jalan masih terang sekali. Jalanan yang sepi tidak terlalu menyeramkan jika masih ada pencahayaan, begitu pikir Ana. Ia terus berjalan sembari menengok kanan dan kiri, takut-takut kalau ada yang memergoki dan memarahinya.
Hingga gadis itu sampai di lampu jalan yang sinarnya agak redup. Beberapa meter di depan sana ada kebun pisang. Ana mendecak, kenapa lampunya tidak sekalian ditaruh di dekat kebun itu? pikirnya.
"Kalo terang 'kan nggak terlalu serem." Ana bermonolog. Matanya menatap sekitar yang dikuasai kegelapan.
Hingga batas pencahayaan lampu yang semakin redup, Ana melihat sesuatu yang bergerak dari salah satu pohon pisang itu. Gadis itu tersentak dan berhenti. Matanya menatap awas pada kebun pisang di samping jalan di hadapannya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
"Siapa?" Suara daun kering, atau apalah itu membuatnya berpikir bahwa ada orang di sana. Gadis itu semakin bersiaga kalau yang muncul adalah orang jahat.
Suara berisik tadi tiba-tiba berhenti. Namun, Ana tak menurunkan kewaspadaannya. Sekarang malah gadis itu menaruh curiga, bisa jadi sesuatu akan muncul. Dan benar saja, perlahan sebuah siluet keluar dari pepohonan pisang. Awalnya Ana sudah bersiap berteriak. Akan tetapi, suaranya tiba-tiba seakan disumpal.
Satu sosok yang tidak jelas wujudnya mulai berjalan pelan menuju jalan. Satu lagi muncul di balik gelapnya kebun itu, kemudian satu lagi, disusul yang lainnya. Seketika Ana membeku. Ia berusaha untuk mundur, kakinya seperti dikunci di tempat. Susah payah ia berjalan ke belakang, hingga lebih dekat dengan lampu jalan dan terduduk.
Gadis itu tidak percaya dengan yang dilihatnya. Wajah semua sosok di hadapannya seakan merengut kesadaran. Langkah mereka tertatih, karena kaki-kaki itu mungkin sudah lama tak digunakan. Perlahan, wujud mereka semakin jelas.
Tangan busuk berbau amis darah, wajah pucat yang kurus hingga menyerupai tengkorak. Mata gelap namun seakan mengkilap. Ana benar-benar terpaku sekarang. Melihat segerombolan makhluk aneh di depannya membuat gadis itu tak bisa kemana pun.
Perlahan, jarak mereka menipis. Semakin jelaslah wajah buruk rupa yang menyeramkan itu. Seringaian muncul dari salah satunya seakan gembira mendapatkan mangsanya. Wajah Ana pucat pasi, kini ia dikurung ketakutan.
Saat jarak mereka hanya tinggal dua meter, sebuah teriakan mengagetkan Ana. Dari arah berlawanan, Juki datang dengan gerobaknya. Ana mengerjap melihat pemuda itu terengah-engah. Dan saat Juki sampai, Ana menyadari satu hal.
Kemana semua makhluk yang dilihatnya tadi?
"Kamu ngapain malam-malam di sini? Duduk-duduk di tanah lagi!" Juki terbelalak sambil menatap sekelilingnya. Kepalanya tolah-toleh takut kalau ada sesuatu yang menghampiri mereka. Kemudian, pemuda itu menjatuhkan pandangan kepada gadis berwajah pucat yang sampai sekarang masih terlihat syok.
"Ana?" Juki ragu-ragu memegang pundak gadis itu. Tatapan mata Ana bagaikan kosong. Rahangnya terbuka.
Juki memanggilnya sekali lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ana. Seakan ditarik kembali ke dunia nyata, napas Ana mulai kembali dan terdengar tak beraturan. Keringat mengucur di dahinya, tetapi perlahan wajahnya kembali berwarna walau terlihat samar di bawah lampu jalan ini.
"Te ... terima ... kasih," ucapnya masih berusaha menjernihkan pikiran.
Makhluk tadi, makhluk apa yang dilihatnya tadi? Begitu menyeramkan, seakan-akan hanya melihatnya saja bisa kehilangan nyawa. Ana menatap wajah Juki yang kebingungan, berusaha tersenyum meski bibirnya masih bergetar.
"Nggak papa?" tanya Juki memastikan. Ana mengangguk patah-patah sambil terus tersenyum.
"Beneran?" Ana kembali mengangguk.
Mereka segera berdiri meski Ana tertatih. Juki hendak membantu, tetapi segera dicegahnya dengan mengangkat tangan, memberi isyarat kalau ia bisa sendiri. Mereka hanya mematung di bawah lampu jalan. Ana yang sibuk memikirkan kejadian yang baru saja menimpanya, Juki yang sibuk dengan pikirannya yang bertanya-tanya mengapa gadis itu bisa di sini.
"Ayo, saya antar."
Ana lagi-lagi mengangguk, hanya itu yang bisa dia lakukan. Saat mengucap terima kasih tadi pun perlu paksaan untuk mengeluarkan kata itu. Lidahnya seakan disihir, menjadi kelu. Mereka meninggalkan lampu jalan yang kini kembali membisu sendiri. Sementara pohon pisang tempat makhluk yang keluar tadi seakan-akan kembali seperti semula, tak ada nyawa ataupun tanda-tanda sesuatu yang hidup selain tumbuhan tersebut.
Di perjalanan pulang mereka berdua hanya diam. Juki sengaja menarik gerobaknya dengan pelan agar sejajar dengan Ana. Sementara gadis itu terus berjalan menunduk. Keheningan di antara mereka berbaur dengan senyapnya jalanan desa. Akhirnya, Juki tidak tahan.
"Kamu tadi kenapa? Lihat sesuatu?" selidiknya. Namun, Ana hanya bergeming. Langkah mereka yang menginjak kerikil seperti menggema karena saking sepinya desa ini di waktu sekarang.
"Lain kali, jangan jalan-jalan sendirian. Apa lagi pas malam-malam begini." Juki berkata sekali lagi.
Hingga dekat rumah Nenek, bayangan orang tuanya sedang menunggu mulai terlihat. Ana mendongak menatap Ayah yang berdiri berkacak pinggang di dekat mobil.
"Dari mana kamu?" tanya Ayah dengan nada sedikit membentak.
"Ana tadi mau ke warung, Om. Sendirian, kebetulan saya lewat ketemu dia." Juki yang menjawab pertanyaan orang tua itu.
Kemudian, Ayah mengisyaratkan dengan kepalanya agar anak gadisnya masuk ke rumah. Lalu Ayah berbicara sesuatu dengan Juki. Meski sering bercanda, jika sudah marah Ayah sangatlah mengerikan. Dan tidak biasanya Ana lepas dari pengawasan orang tua seperti ini. Di dalam Ibu menyambut dengan wajah khawatir dan terus memastikan bahwa keadaan Ana memang baik-baik saja, seperti yang gadis itu katakan.
"Jangan diulangi!" tegur Ayah. Ana pun mengangguk pelan.
Kakinya melangkah menuju dapur dan segera memasuki kamar. Direbahkannya tubuh yang masih bergetar itu. Kejadian tadi, sangatlah membuatnya terguncang. Apa sebenarnya mereka? Apa yang mereka cari? Apakah itu penyebab warga selalu tidak berani keluar saat malam datang?
Bulu kuduknya kembali merinding mengingat kejadian tadi. Di kebun itu, di bawah sinar lampu jalan, benar-benar mengerikan. Selama hidup, Ana tidak pernah melihat benda semacam itu.
Kemudian pertanyaan kesekian menelusup masuk ke otaknya. Apakah Juki juga melihat apa yang Ana lihat? Ana duduk lagi. Ia benar-benar tidak bisa tidur. Gadis itu beranjak dan mengambil buku bersampul hitam di atas meja rias tua milik Nenek.
Hingga apa yang dia cari ia temukan. Bangkit, satu kata itulah yang membuatnya kembali kepikiran soal tadi. Karena terlalu larut dengan pikirannya, Ana tidak tahu kalau pintunya belum ditutup dan dikunci. Sepasang mata menatap Ana yang belum kunjung terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...