(4)

89 25 11
                                    

Ana sesegera mungkin menyelesaikan kegiatannya. Ia takut kalau diintip oleh orang-orang iseng itu. Selesai melakukan ritual pembersihan diri yang cukup menegangkan karena hendak cepat selesai, Ana membalutkan handuk putih yang tergantung di belakang pintu menuju tubuhnya. Gadis tersebut segera keluar dan berlari menuju pintu dapur.

Ana mencoba mengamati sekelilingnya saat sampai di depan pintu dapur. Ke mana suara anak-anak kecil tadi? Gadis itu menajamkan pendengaran. Tidak ada, tetap tidak ada lagi suara yang tertangkap. Ana mendorong pintu yang sedang membisu di hadapannya. Ia tersentak, lalu cepat-cepat menoleh ke belakang.

"Ah, aku lupa!" serunya sembari menepuk dahi.

Buku catatan. Ia ketiduran dan tidak sempat mengambil buku catatan tersebut. Ana kembali mengamati sekelilingnya. Mungkin orang-orang yang sedang mandi tadi sudah pulang. Ia berjalan pelan ke arah tempat menjemur ikan asin. Langkah kaki yang masih basah itu memijak tanah, takut kalau-kalau handuknya terlepas karena sekitarnya sudah mulai gelap.

"Loh, ke mana?" Ana mencari-cari di sekitar tempat menjemur ikan asin itu. Akhirnya buku tersebut ia temukan dalam keadaan terbuka. Ana memungut benda persegi panjang tersebut. Alisnya menyatu kala membaca kata-kata yang tertulis dengan tinta hitam di situ.

"Hati-hati," gumamnya mengulang tulisan tersebut. Seketika angin malam nan dingin berembus dan menggetarkan tubuh Ana yang terbalut handuk putih.

***

Juki adalah anak tunggal. Semestinya, anak tunggal akan dimanjakan oleh keluarga, setidaknya itu yang dipikirkan orang-orang. Nyatanya, Juki tak pernah mendapat hal-hal yang ia inginkan apabila tidak mau berjuang sendiri. Ketika anak lain ingin membeli baju baru, maka yang mereka lakukan pastilah melapor. Namun, berbeda dengan Juki.

"Kalau mau beli baju, kamu harus kerja dulu. Nah, kebetulan sekali, bapak sering encok pas ngedorong gerobak air. Kamu yang nerusin, ya," terang ayahnya saat Juki mengutarakan keinginan.

Saat ini sudah seminggu lebih Juki menggantikan sang Ayah. Pulang, pergi, pulang lagi, pergi lagi. Dari satu rumah ke rumah yang lain. Lelah. Namun, saat mengingat tabungan yang hampir penuh, lelahnya menguap. Malam ini sudah beberapa kali Juki mengantarkan air, tetapi ia belum juga beristirahat.

Hanya tersisa satu galon lagi. Satu galon itu dialamatkan ke RT dua. Meski ia masih belia, tetapi tenaga dan staminanya seperti orang dewasa yang sering bekerja berat. Juki melangkah sambil terus mendorong gerobak yang sudah ringan daripada awal-awal tadi. Keringatnya membasahi baju kaus yang dikenakan.

Saat melewati kebun pisang, Juki berhenti sejenak. Bukan karena ia sudah terlalu capek, melainkan roda gerobaknya tidak bisa berputar. Ia berusaha menarik, mendorong, juga hendak mengangkat benda itu kalau saja ia lebih kuat. Karena kesal melihat rodanya tetap bergeming, Juki menyepak benda bundar nan pipih itu.

"Dari kemarin macet terus!" gerutunya sambil menggesek-gesek tengah roda, berharap agar karat dari besi itu terkikis.

Karena asyik mengutak-atik roda gerobak, Juki tidak sadar ada yang sedang memperhatikannya dari salah satu pohon pisang di kebun itu. Seseorang yang sedang mengamati itu kemudian berjalan pelan mendekati Juki. Tangan sosok itu terjulur ke depan, sementara di sana Juki masih terlihat cuek. Tiba-tiba anak itu berbalik dan membelalakkan matanya.

"Pak RT?" panggil Juki.

"Kamu? Ngapain malam-malam begini?" Ketua RT itu bertanya sambil tolah-toleh. Matanya turun lagi menatap Juki yang masih berjongkok.

"Sendirian lagi."

Juki berdiri, kemudian menepuk kedua tangannya ke celana. Kemudian, Juki menunjuk ke dalam gerobak yang berisi satu galon air. Pak RT mengikuti arah telunjuk anak itu dan memasang tanda tanya di wajahnya.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang