Ana berjengit tatkala melihat sebuah tangan yang menyembul. Gadis itu cepat-cepat bangkit meski susah payah sebab badannya kini gemetaran. Baru kali ini Ana merasakan ketakutan yang amat sangat. Dari lengan hingga lututnya yang bergetar membuat gadis itu sulit berjalan.
Ana berlari menghampiri pintu belakang, tetapi bagaikan ada angin deras dari dalam rumah, daun pintu terhempas. Tertutup rapat hingga tangannya menggedor-gedor benda penyekat itu. Ana kembali menoleh ke belakang. Ia membelalakkan mata melihat jejak lubang di mana tangan yang menahan kakinya tadi berada. Hanya ada lubang kecil, tetapi tidak ada anggota tubuh yang dilihat Ana tadi.
"Tolong!" Gadis itu berteriak sambil memukul pintu belakang. Seakan terlelap dengan pulas, ayah, ibu, juga neneknya tidak beranjak dari tempat tidur. Ana terus menggedor.
Semilir angin meraba rambut Ana, membelai, juga memberikan suasana mengerikan bagi gadis itu. Tubuh yang gemetaran itu kini merinding. Tak sampai di situ, suara cekikikan kini menelusup masuk ke telinganya. Melesak memaksa seakan minta di dengarkan. Anginlah yang membawa suara itu.
"Tolong!" Hampir putus asa, Ana menoleh sekali lagi ke belakang.
Tentu saja tak ada orang sama sekali, yang ada hanya kamar mandinya yang kecil, juga sebuah lampu yang terangnya hanya mampu menyinari dalam radius beberapa meter. Namun, gadis itu mendadak beku dan menghentikan aktivitas menggedornya sejenak. Ia terpaku menatap kamar mandinya. Di sisi sebelah kanan, seakan ada wajah menyembul yang mengintip malu-malu. Dengan mata yang sepenuhnya putih, bibir pecah-pecah yang pucat dan membentuk seringaian, juga rambut awut-awutan yang meneteskan air kotor.
Di sisi lain kamar mandi ada sesuatu serupa yang ikut menyembul, bedanya yang satu terlihat seperti perempuan, satu lagi bagai laki-laki dewasa. Kini lutut Ana benar-benar lemas menghadapi tatapan kedua makhluk itu. Entah, apa yang menyebabkan dirinya diteror begini. Ana pun pasrah, hingga bahunya yang bersandar di pintu belakang merosot turun.
Dua kepala yang menyembul itu masih menunjukkan cengiran menyeramkan mereka. Masih berada di posisi semula, tak lama muncul dua wajah lain dari sisi berbeda. Kali ini seperti anak-anak. Kembar. Mereka memasang ekspresi sama yaitu seringaian menyeramkan dengan semua mata berwarna putih. Juga dengan keadaan yang sama, basah.
Ana ingin pingsan saja, ia tak sanggup melihat penampakan yang tiba-tiba muncul di hadapannya begini. Gadis itu menekuk lutut dan membenamkan wajahnya di sana. Sambil merapal doa, Ana sesenggukan berharap hantu-hantu yang sedang menatapnya itu segera menghilang. Saat kusyuk berdoa, Ana hampir saja terjungkal ke belakang karena pintu yang disandarinya mendadak terbuka. Spontan ia berbalik dan memeluk orang yang membukakan pintu tersebut.
"Ayah, aku takut...."
Sosok yang sedang dipeluknya tak bergerak. Diam dan tak menanggapi bahkan memberikan reaksi apa pun. Ana memberanikan diri untuk mendongak dan melihat sosok yang di panggilnya ayah itu. Namun, saat kepalanya sepenuhnya menoleh ke atas. Ana pingsan.
Sementara sosok itu hanya berdiri mematung. Membiarkan Ana yang tergeletak tak berdaya di lantai dapur. Sosok itu berjalan ke luar rumah, sempoyongan, lalu menabrak tempat menjemur ikan milik Nenek. Anehnya, tempat jemuran itu tidak rubuh, melainkan menembus tubuh sosok tersebut. Perlahan ia terus berjalan menembus malam, mengikuti sebuah suara yang seakan memanggilnya.
"Badanku ... badanku ...."
***
Sementara di lain tempat, Juki tengah mengisi air di galonnya. Kemudian anak lelaki itu mengangkat galon ke atas gerobak dan merapikan susunan galonnya. Ia mengangguk usai menghitung semua yang ada di atas gerobak. Totalnya ada lima buah. Juki bersiap-siap hendak menarik gerobak.
Baru saja satu langkah yang ditekuni, terdengar sebuah suara dari kejauhan. Suara itu seakan sengaja dibawa angin dan diantar menuju telinga Juki. Juki mematung, menajamkan pendengaran, dan mencoba fokus.
Saat ini jalanan depan rumahnya sangat sepi. Rumahnya pun demikian sebab orang tuanya sedang pergi. Hanya ada Juki sendiri yang hendak mengantar air galon ke rumah-rumah warga. Laki-laki itu kini malah terdiam sambil mencengkeram erat pegangan gerobaknya.
Suara yang didengar oleh Juki adalah suara cuap-cuap anak ayam. Terdengar kecil sekali seakan jauh. Ia menggeleng, bingung apakah melanjutkan perjalanan atau di rumah saja mengamankan diri. Perasaannya tidak tenang, jantungnya mulai berdegup kencang. Bunyi anak ayam yang terdengar jauh yang muncul kalau malam-malam begini bukanlah pertanda baik.
Juki memberanikan diri memeriksa sekitar. Ia menoleh ke kiri, melirik pohon mangga yang belum berbuah dan tak terlalu tinggi. Kemudian Juki menoleh ke kanan, hanya ada jalanan yang sepi membisu nan gelap, menyatu dengan malam. Lalu pelan-pelan kepalanya menoleh kiri lagi.
Namun, kali ini dengan perasaan was-was dan degup jantug yang lebih cepat. Juki berusaha mengenyahkan proyeksi-proyeksi negatif yang tak diinginkannya. Kala matanya sampai di pohon mangga, ia menyipit.
Memang, tak ada apa pun di bawah pohon itu. Yang menjadi masalah adalah sebuah bayangan yang bergelantungan di salah satu dahannya. Satu ... dua .... Juki menelan ludah susah payah. Pemuda itu kini hanya berdiam di tempat dan tak berselera ke mana-mana. Matanya terus lurus ke arah bayangan, dua bayangan yang kini menjuntai.
Satu berayun ke depan, satunya lagi ke belakang. Yang kiri bergerak, yang kanan tertahan. Berirama, diiringi dengan tawa yang entah dari mana asalnya. Di sana, di salah satu dahan di pohon mangga, Juki yakin sekali kalau ada seseorang yang sedang duduk di situ. Menjuntaikan kaki dan mengayunnya seolah sedang menikmati malam. Dan tiba-tiba, ayunan kaki pucat itu terhenti.
Juki hendak berteriak. Ia susah payah membuka mulut, tetapi suara yang diharapkan tak kunjung keluar. Laki-laki remaja itu terkunci dan lehernya seakan tak bisa berpaling karena suatu hal yang mengganjal. Kaki yang tadinya menjuntai kini perlahan naik. Namun, itu tidak berlangsung lama sebab sepasang kaki itu menurun, melayang pelan menuju tanah.
Dari mata kaki, betis, hingga lutut yang ditutupi selembar kain putih tipis. Kemudian semakin naik hingga badan, sampai akhirnya menampakkan wajah yang tertutupi dengan rambut panjang. Jika diberi pilihan, Juki akan memilih apa saja asalkan tak berhadapan dengan hantu. Sejak kecil laki-laki itu sebenarnya sangat penakut.
Sosok yang berdiri di bawah pohon mangga yang tak jauh dari tempatnya berdiri itu mendongak. Hingga nampaklah wajah yang anehnya tanpa mata, hidung, serta mulut. Dan suara cekikikan datang entah dari mana. Juki yang hanya bisa membeku di tempatnya berkeringat banyak. Bajunya hampir basah semua.
Cekikikan itu datang lagi. Kali ini berbeda asalnya, bahkan suara yang satu ini terdengar sangat dekat. Seakan ada kekuatan tak kasat mata yang mendorongnya, Juki menoleh ke belakang. Di sana, di atas gerobaknya, ada sosok asing dengan kepala plontos yang sedang duduk di atas galon-galon milik Juki. Sosok itu memakai pakaian panjang hingga mata kaki. Perlahan kepalanya menoleh ke arah Juki yang kini sudah di ambang ketakutan
Di tempat seharusnya ada bola mata di sana, kini rongga itu tergantikan dengan kekosongan yang gelap. Sangat gelap. Bibir yang pecah-pecah itu menyeringai, menampilkan kekosongan juga kegelapan. Itulah yang dilihat Juki sebelum dirinya pingsan.
***
Ana terbangun, ia menoleh kanan dan kiri, lalu buru-buru bangkit dari tempat tidurnya. Siapa yang sudah memindahkan dirinya? Apakah tadi itu mimpi? Gadis itu menatap lantai sambil terus bertanya-tanya sendiri.
Tak lama, pintu kamar terbuka. Ana buru-buru menutup badan serta wajahnya dengan selimut. Ia takut kalau hantu yang dilihatnya tadi muncul lagi. Namun, ketakutan itu sirna kala mendengar suara ibu dan ayah.
"Ana?" panggil Ibu.
Ana membuka penutup wajahnya perlahan sambil takut-takut. Ada Ibu yang kini duduk di tepi ranjang memasang ekspresi khawatir dengan putri semata wayangnya ini. Juga ada Ayah yang sedang berdiri di ambang pintu yang menunjukkan kegelisahan serupa.
"Ibu lihat kamu tergeletak di lantai dapur. Kamu pingsan?"
Ternyata, semua itu bukan mimpi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...