Kamis malam menjadi sangat panjang. Seluruh warga desa mengalami teror hebat. Mulai dari bertemu hantu tanpa kepala, nenek-nenek yang timbul dari dalam sungai, hingga wanita berbaju terusan putih yang sedang duduk dengan kaki terjuntai di dahan pohon.
Semuanya bereaksi berbeda-beda pula: ada yang terkencing-kencing, ada yang lari terbirit-birit, ada yang pingsan. Juga ada pula yang lari sambil kencing, lalu pingsan di rumah. Yang jelas, malam itu menjadi malam yang paling mengerikan yang pernah terjadi di desa Berangai.
Sebentar lagi malam berakhir. Harusnya orang-orang bernapas lega sebab tidak tidur semalaman. Setidaknya bisa mengganti jam tidur menjadi siang. Namun, sebelum melonggarkan ketegangan, para warga kembali digemparkan oleh suara sirine ambulans.
"Loh, siapa yang sakit?" Salah satu warga bertanya, sementara yang lainnya saling tolah-toleh dan mengerdikkan bahu. Tanda bahwa tidak ada yang tahu.
Ambulans yang terus melengking menarik perhatian para warga, sementara kendaraan itu tak menghiraukan kerumunan yang terbentuk, dan terus melaju hingga hampir ke ujung desa. Kemudian, kendaraan itu mematikan sirinenya. Petugas segera turun dan membuka pintu belakang.
Tampak dua orang perempuan tengah terisak, juga seorang laki-laki yang berusaha menenangkan mereka berdua. Ekspresi keluarga kecil itu menunjukkan kesedihan yang mendalam. Seakan menjawab pertanyaan para warga desa, petugas menurunkan seseorang yang tengah berbaring dan dibungkus kain putih.
Seakan ada suara tak kasat mata yang mengomando semua dan menggerakkan hati warga, mereka berbondong-bondong mendekat dan membantu pengurusan jenasah. Ibu mengusap pundak putri semata wayangnya yang masih terisak, berusaha menenangkan dengan itu. Padahal kondisinya tak kalah jauh sama, sedih dengan keadan yang menimpa mereka.
Ana mengusap air matanya, sudah sejak tadi ia berusaha menghentikan tangis. Namun, bagaikan mata air yang tak habis, air matanya terus mengalir membasahi pipi mulusnya. Sampai sekarang, Ana belum bisa menerima ini semua. Kepergian nenek membawa duka mendalam.
Tadi malam, Ayah pulang dengan tangan kosong. Ia bilang kalau tak ada satu pun dokter di dekat daerah ini. Beliau pergi ke kota untuk menjemput ambulans, sebab terkendala jaringan yang susah. Lalu, mereka berangkat bersama dan menitipkan mobil di rumah.
Proses pemakaman berlangsung. Mulai dari memandikan, mengafani, hingga mengubur. Tangis terus mengalir, hingga mata bengkak dan hidung tersumbat. Meski begitu, Ana tak menunjukkan tanda-tanda kalau air matanya akan kering. Gadis itu memeluk Ibu yang sudah berhenti menangis, tetapi masih berwajah muram.
Tiba di pemakaman yang terletak beberapa ratus meter di sisi lain desa, dengan diiringi tahlil yang menggema senada dengan langkah para pengangkat keranda. Perlahan, jenasah diturunkan dan dibaringkan di tanah, hingga proses menutupi liang kubur dengan menimbun dan memasang nisan. Doa-doa dilantunkan oleh ustaz yang berada di sana, dengan tangisnya Ana menengadahkan tangan dan mendoakan agar Nenek diterima di sisi-Nya.
Hingga proses pemakaman benar-benar selesai. Satu per satu warga mulai meninggalkan pusara, setelah sebelumnya mengucapkan bela sungkawa untuk yang kesekian kalinya. Ibu dan Ayah hanya mengangguk. Mereka memang masih bersedih, tetapi tiada guna terus-terusan meratapi. Sementara Ana yang masih remaja itu belum bisa benar-benar mengikhlaskan, masih berlarut dalam kesedihan.
Ayah mendekati putrinya, lalu mengusap punggung Ana.
"Sudah, kita ikhlaskan Nenek."
Ana hanya menanggapi dengan anggukan, lalu gadis itu menggeleng kemudian terisak lagi. Ibu hanya bisa menghela napas melihat putrinya itu.
"Apa pun yang bernyawa di dunia ini, suatu saat pasti akan mati. Kematian itu pasti datang. Siap nggak siap, kita akan menghadapinya."
Ana mengusap air matanya. Gadis itu menoleh kepada Ayah dan mengangguk lagi. Kemudian ia kembali melirik pusara Nenek yang tanahnya masih merah itu. Gadis itu jongkok pelan dan mengusap nisan.
"Sering-sering kirimi doa saja. Kita juga nanti akan sering-sering ke sini buat ziarah." Setelah mengatakan itu, Ayah tersenyum. Berharap agar senyumnya dapat menular dan menggantikan ekspresi muram anaknya. Mereka segera pulang. Ayah dan Ibu lebih dulu pergi ke mobil, sementara Ana masih mengusap nisan.
"Yang tenang, Nek." Air matanya menitik untuk yang terakhir kalinya.
Mata Ana sudah bengkak. Mampet di hidungnya sudah agak parah. Gadis itu mengusap air mata untuk terakhir kalinya dan berusaha agar tidak menangis lagi. Ana berjalan meninggalkan pemakaman menuju mobil yang diparkir di dekat jalan.
Ana masuk ke dalam mobil, menghampiri ibu dan ayah yang sudah lebih dulu di dalam. Duduk dan menunggu dirinya. Ana mengangguk saat ayah menatapnya. Pertanda ia sudah siap meninggalkan pemakaman itu. Ana pun menoleh untuk yang terakhir kalinya.
Sesampai rumah Nenek, ana memohon pada Ibu dan Ayah agar mereka tidak segera pulang. Orang tuanya hanya mengangguk dan menurutinya. Toh, itu mungkin bisa mengurangi kesedihan Ana.
Akhirnya mereka sepakat untuk tinggal di desa ini dua hari lagi. Sekaligus beres-beres rumah.
***
Juki sedang demam. Hal yang dialaminya tadi malam membuatnya sangat ketakutan hingga suhu tubuhnya naik. Pikirannya terus memproyeksikan satu per satu penampakan yang pernah dilihat olehnya. Juki juga sering mengigau. Entah itu berteriak meminta tolong, meminta maaf, atau sederet ucapan yang dilontarkan yang tidak terdengar dengan jelas. Ayahnya sangat khawatir.
Sang penjual air minum nampaknya kewalahan. Di satu sisi istrinya belum sembuh total, di sisi lain anaknya yang tiba-tiba jatuh sakit. Ayah juki juga menyesal akan satu hal. Tadi pagi, berita duka menggema berasal dari toa masjid satu-satunya di desa. Ada yang meninggal dan ia tak bisa melayat karena sibuk mengurus anak dan istri.
Sudah menjadi kewajiban warga desa yang selalu siap sedia saat ada seseorang yang terkena musibah agar saling membantu satu sama lainnya. Ayah Juki hanya menghela napas.
"Ayah?" Akhirnya putra semata wayangnya sadar dan membuka mata. Buru-buru ayah Juki menghampiri sang anak yang masih terbaring lemah di tempat tidur.
Juki mengerjap, menetralkan penglihatannya yang serasa berputar-putar. Pemuda itu mencoba untuk duduk, tetapi ditahan oleh sang Ayah.
"Kamu ini baru bangun! Sudah diam, jangan bergerak," perintah sang Ayah. Dengan mengangguk lemas juki menuruti ayahnya. Pemuda itu segera menyamankan posisi baring.
"Ada yang meninggal?" tanya Juki. Ia sempat mendengar pengumuman di musala sebelum kesadarannya bemar-benar hanyut dibawa mimpi.
Ayahnya mengangguk. Beliau kemudian duduk di samping anaknya. Ayah Juki melepas peci yang dipakai sedari subuh hingga siang ini, kemudian mengipas badannya dengan itu.
"Ayah di mana tadi malam?" tanya Juki. Suaranya parau karena demam.
"Ngeronda."
"Tadi malam Juki ngelihat kunti di pohon mangga itu." Juki menunjuk dengan dagunya ke arah luar.
Ayahnya mengangguk. Kemarin juga saat berkeliling orang tua itu bertemu dengan pocong. Namun, naluri kebapakan membuatnya merasa gengsi kalau harus mengakui dirinya lari pontang-panting.
"Terus ...." Juki menggantungkan kalimatnya.
"Apa?" tanya sang ayah penasaran.
"Aku mimpi."
![](https://img.wattpad.com/cover/248684527-288-k79691.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...