(24)

54 18 0
                                    

Ana tengah duduk menghadap jendela. Matanya lurus, tetapi sebenarnya sekarang pikirannya tidak fokus. Gadis itu masih sedih dan berduka karena kepergian sang nenek. Sesekali Ana mengusap air mata yang membasahi pipi. Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi duduk itu, menatap jendela dan melamun.

"Biarkan saja dulu," kata Ayah seraya mengusap bahu Ibu. Ibu khawatir dengan putri semata wayangnya itu, dari pagi Ana terus-terusan betah dengan posisinya. Bahkan gadis itu melewatkan waktu sarapannya.

"Tapi ...."

"Biarkan dulu. Dia sangat sedih, biarkan kesedihannya menguap dulu."

Ibu hanya memgangguk pelan dan kembali menoleh ke arah Ana. Sementara yang dibahas malah asyik dengan pikirannya sendiri. Akhirnya, Ibu dan Ayah meninggalkannya sendirian dan terlarut dalam lamunan.

Hingga siang tiba, Ana masih setia dengan posisinya yang sejak tadi pagi tak berubah. Pikirannya sedang bergelut sekarang dan membuat gadis itu bimbang dengan pilihan yang ada. Di satu sisi ia ingin memecahkan misteri yang sebenarnya terjadi di desa ini, sedangkan di sisi lain ia ingin menyerah karena takut. Takut jika meneruskan apa yang sudah ia lakukan, maka akan ada korban lagi.

"Ana? Waktunya makan siang," panggil Ibu. Ana hanya menggumam. Ibu menghela napasnya, tak ingin anak perempuan satu-satunya itu terlarut dalam kesedihan dalam waktu yang sangat lama.

Ibu berjalan pelan menghampiri putrinya, kemudian duduk di samping Ana. Lalu, ibu mengusap punggung Ana. Meski diperlakukan demikian, gadis itu tidak menggubris sama sekali perlakuan ibunya. Malahan, Ana terlihat semakin larut dengan pikirannya sendiri.

"Sudahlah, tak ada gunanya terus mengurung diri dalam kesedihan."

Ana mengangguk pelan. Tangan Ibu perlahan naik ke puncak kepala anak gadisnya. Kemudian ibu mengusap rambut Ana dengan penuh kasih sayang. Wajah ibu semakin sendu, menatap anak gadisnya yang masih asyik melamun dan melihat ke luar jendela.

"Di dunia ini, tak ada yang abadi. Siap atau tidak, suka atau enggan, mau tak mau, suatu saat kehilangan akan menghampiri kita. Hanya menunggu gilirannya saja."

Mata Ibu menjadi berkaca-kaca, ikut menatap ke luar jendela dan menerawang jauh. Pikirannya terbang entah ke mana.

Ana menolehkan kepalanya pelan, mencoba menatap sang Ibu yang matanya mengabur akibat embun yang tercetak jelas di pupil. Kemudian, setetes air jatuh menuruni pipi Ibu. Ana tersentak melihat ibunya yang menangis. Sepertinya kesedihan Ibu lebih besar, rasa kehilangan Ibu lebih tinggi.

Tangan Ana tiba-tiba bergerak sendiri. Jari-jari lentiknya menghampiri pipi mulus sang Ibu. Kemudian, gadis itu mengusap wajah Ibu dan menyingkirkan air matanya. Ibu melirik putrinya, lalu mendekat dan memeluk Ana.

Ana membalas pelukan ibunya, gadis itu hendak menangis lagi, tetapi ia berusaha dengan keras agar air matanya tidak jatuh. Ibu sudah sangat bersedih, akan lebih sedih jika ia tak makan sekarang dan jatuh sakit. Ana melonggarkan pelukannya, Ibu pun demikian.

"Aku lapar." Kalimat pertama Ana setelah sekian lama gadis itu membisu dan larut dalam kesedihannya pun akhirnya meluncur keluar. Ana berusaha tersenyum. Menarik sudut bibirnya lebar-lebar hingga menampakkan deretan giginya yang rapi. Sementara ibu tertegun sejenak melihat putrinya itu. Sudah lama sekali rasanya anak gadis itu tidak menunjukkan senyumnya.

Mereka berdua kembali berpelukan, lalu saling melepas, dan kemudian turun dari kasur. Bersama-sama ibu dan anak itu keluar dari kamar. Di dapur, Ayah sudah duduk dan hendak mengaut nasi. Namun, gerakannya terhenti karena Ana yang mengejutkannya dari belakang.

"Mau makan duluan, nih!" serunya.

Kembalinya keceriaan putrinya itu membuat sang ayah mengerutkan dahi. Namun, itulah yang aslinya ia harapkan setelah waktu yang lama. Mereka segera makan dan menyantap makanan siang bersama-sana. Sesekali ketiganya bercanda, seolah-olah melepas beban.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang