Juki terkejut. Pemuda itu berdiri dan terbelalak tidak percaya. Ia menatap lurus ke arah Ana yang sekarang tatapan matanya sedang kosong. Juki menghela napasnya, kemudian menunduk dan menciduk air sungai. Dingin.
"Kamu serius mau nyerah?" Pertanyaan Juki ditanggapi dengan anggukan pelan oleh Ana. Juki tetap bersikeras ingin membujuk Ana.
"Waktu itu, kamu bujuk saya buat nyari tahu apa yang sebenarnya terjadi di desa ini, tapi sekarang kamu malah ingin menyerah?" Ana kembali mengangguk dengan lemah.
Juki mengusap wajahnya perlahan. Ia bimbang sekarang, sebetulnya Juki sangat berharap Ana akan senang saat ia bilang akan membantu gadis itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
"Ana, pikirkan matang-matang sebelum mengambil sebuah keputusan." Ana menoleh padanya sekarang.
"Lihat yang sudah kamu lakukan, nggak mungkin kamu meninggalkan semuanya begitu saja 'kan?" Ana terus menatap ke arah Juki. Tiba-tiba, Juki berjongkok dan memegang kedua pundaknya.
"Ayo, saya pasti bantu kamu. Kita selesaikan sama-sama." Hening. Di tengah damainya suasana sekitar, semilir angin mencoba menerbangkan dedaunan, menerbangkan rambut pendek Ana yang tak pernah ia kuncir.
"Maaf," kata Ana seraya menepis kedua tangan Juki. Kemudian, ia melanjutkan, "Aku nggak bisa."
Dahi Juki terlipat, tercetak jelas di wajahnya kalau sebenarnya ia sangat ingin tahu apa penyebab gadis itu menyerah.
"Kenapa?" Beberapa saat tidak menjawab, Juki memutuskan melempar pertanyaan yang mengganjal otaknya sejak tadi.
"Aku nggak bisa. Aku ... aku takut kehilangan lagi." Mata gadis itu mulai berkaca-kaca, mengembun, lalu kemudian setetes cairan bening terjun bebas menelusuri pipinya.
Juki menunduk. Laki-laki itu tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Gadis yang awalnya memiliki perangai yang unik, kini berubah menjadi gadis pemurung. Ana yang biasa ceria dan selalu ingin tahu berganti menjadi Ana yang pendiam.
"Pikirkan baik-baik," ujar Juki. Kemudian pemuda itu kembali duduk di samping Ana dan ikut merendam kakinya. Mereka menikmati belaian angin di siang hari yang panas itu, juga menikmati instrumen alam yang terus mengeluarkan melodi tak beraturan, tetapi indah didengar.
"Aku ... pulang dulu." Ana bersuara setelah cukup lama hanya menjadi patung. Juki yang masih duduk menatap sungai pun mengangguk. Baru beberapa meter Ana melangkah, kembali ia dengar suara dari Juki.
"Ana?" Demi mendengar kalimat selanjutnya, Ana menahan kaki agar tidak melangkah lagi.
"Kalau perlu bantuan, saya ada kok."
Gadis itu tak menjawab dan meneruskan melangkah maju. Namun, sedetik kemudian kepalanya mengangguk. Gadis itu segera meninggalkan sungai beserta Juki yang sedang menikmati arusnya.
Sesampai di rumah, Ana kembali berusaha memasang tampang cerianya, walau sebenarnya mungkin Ibu dan Ayah sudah tahu bahwa anak gadis mereka sedang berpura-pura. Ana tak peduli, yang penting ia harus terlihat kuat di depan mereka nanti. Gadis itu sempat melirik rumah yang terletak paling ujung desa ini. Matanya menangkap sesosok laki-laki berambut panjang yang muncul dari dalam rumah itu. Laki-laki itu melambai.
Seakan terkena sebuah sihir, Ana berjalan pelan mendatangi sosok itu. Orang tua yang berpakaian serba hitam dengan kepala terikat kain yang sewarna dengan bajunya terus melambai, seakan menarik tali tak terlihat yang membuat Ana maju terus sampai mendekat padanya.
Ana berhenti tepat di depan orang itu, kakinya terpaku di tanah, berdiam di tempat bagaikan patung. Mata gadis itu menatap kosong ke arah orang di hadapannya itu. Tak lama, orang itu mengangkat tangan dan memegang kepala Ana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...