Ana menggeleng. Gadis itu terus mengamati sekelilingnya yang gelap dan berusaha mempertahankan keseimbangan tubuh. Ia segera berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan reruntuhan bekas kebun pisang yang kebakaran. Yang di dalamnya ternyata ada sejumlah kuburan. Sepertinya makam-makam itu sudah tua. Terlihat dari batu-batu nisan yang mulai retak dan ukiran nama yang sudah tak terlihat.
Ana berlari secepatnya. Ia ingin segera sampai di rumah Nenek. Gadis itu mengusap keningnya yang berpeluh, juga sesekali menoleh ke belakang. Takut barangkali ada sesuatu yang menyeramkan yang mengejarnya. Hingga rumah Nenek sudah terlihat.
Ana buru-buru berbelok dan melepas sendalnya, tetapi ekor matanya menangkap sesuatu. Bayangan seperti seseorang tengah berdiri di rumah paling ujung. Seseorang itu sepertinya tengah mengamati sesuatu. Ana langsung masuk rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Jangan sampai ketahuan kalau tadi siang ia ke rumah itu.
Gadis yang agak tomboi itu kini bersandar di belakang pintu dengan napas tidak teratur, peluh yang bercucuran, serta raut wajah bagaikan orang yang melihat sesuatu yang mengerikan. Dan benar yang dilihatnya tadi adalah sesuatu itu. Pemakaman. Ana tak habis pikir bagaimana bisa ada yang membuat pemakaman itu berkamuflase menjadi kebun pisang.
Gadis itu kini berjalan pelan, menuju dapur sambil berjinjit karena tak mau membangunkan orang rumah. Ana ingat kalau ia belum makan malam. Jadilah ia sekarang mengurungkan niat untuk segera tidur. Gadis tersebut mencari-cari piring. Ia menepuk kepanya pelan, lalu membuka pintu dapur dan mengambil piring di pelataran belakang.
Di belakang rumah nenek, ada sepetak tanah berbentuk persegi yang seukuran 1 x 2 meter. Tempat itu disemen dan dibentuk sedemikian rupa, di atasnya ada keran air. Di situlah biasanya mereka mencuci piring bekas makan, tak lupa ditaruh dalam rak berwarna kuning. Biasanya rak itu akan diangkat setiap habis mencuci, tetapi sepertinya keluarga Ana terlupa akan hal itu.
Setelah mengambil alas makan, Ana menutup kembali pintu belakang, tak lupa pula menguncinya. Takut kalau-kalau ada maling masuk. Meskipun penjagaan desa ini sekarang sudah agak ketat, bukan tidak mungkin rumah warga kemalingan. Apalagi rumah Nenek hampir di ujung desa.
Gadis itu kemudian mengaut nasi, menambahkan sedikit lauk, lalu duduk lesehan beralaskan tikar anyaman yang kasar. Seperti biasanya saat makan. Bedanya, biasanya Ana makan bersama keluarga. Tidak seperti sekarang yang menyuap makan dan hening karena sendirian.
Sambil menikmati makan malamnya yang sepi, Ana memikirkan lagi teror yang sudah sejak awal ada di desa ini. Gadis itu sudah mulai melihat titik terang. Meski sedikit, Ana yakin kalau nanti titik itu bakalan berubah menjadi cahaya. Ia mengambil minum dan duduk kembali.
Waktu itu, mereka bilang kalau desa ini diteror oleh makhluk yang dinamakan bangkit. Dan makhluk itu tidak jelas hantu atau bukan. Yang pasti, mereka bukan manusia dan bisa menyerang. Membayangkan makhluk gaib membunuh adalah sesuatu di luar nalar. Ana bergidik sambil memaksakan menelan nasinya.
Ia bertemu dengan mereka di kebun pisang, tepatnya di dekat kebun yang kebakaran itu. Apakah itu suatu kebetulan, atau jangan-jangan biasanya memang begitu. Tunggu dulu, biasanya? Ana buru-buru menyelesaikan makannya, mencuci tangan, dan segera menaruh piring kotor di pelataran. Ia tidak mencuci piring seperti biasanya, takut.
Ana masuk ke kamar cepat-cepat dan mencari diari Meri. Gadis itu menggeledah seluruh ruangan. Di mana terakhir kali ia melihatnya? Ana terduduk di lantai kayu nan dingin. Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan buku itu?
Hingga matanya menatap lurus ke kolong meja. Gadis itu menemukan sebuah benda persegi panjang yang pipih. Ana menggeleng, bisa-bisanya buku itu ada di situ. Pelan-pelan ia mendekati kolong meja dan masuk ke sana. Tangannya yang pendek membuat gadis tersebut kesusahan menggapai buku itu jika saja tidak masuk terlalu dalam.
Tepat saat tangannya memegang buku, kaki Ana dipegang oleh sebuah tangan. Karena terkejut dan panik, gadis itu terantuk kolong meja dan menendang pemilik tangan yang ia tak tahu itu siapa.
"Ngapain malam-malam begini di situ?" tanya Ayahnya.
Ana buru-buru keluar dan memasang tampang bersalah. Ia menyesal karena sembarangan menendang orang tuanya.
"Ngambil barang," jawabnya sembari menunduk menatap lantai.
Ayah hanya menggeleng dan menyuruhnya segera tidur. Lalu ayah segera keluar dari kamar Ana dan meninggalkan gadis itu sendirian. Segera ia menutup pintu kamar. Kemudian Ana mengeluarkan buku catatan bersampul hitam yang disembunyikannya di dalam baju. Gadis itu duduk di pinggir ranjang sambil membuka lembar demi lembar buku itu.
Ana terkejut saat melihat ada kata kebun dan samar-samar tulisan "sang". Bisa jadi kebun pisang adalah tempat di mana sahabat Meri meninggal. Ana memegang dagu, kembali berpikir sejenak dengan gagasan yang ia temukan. Bukan tidak mungkin diari yang sudah usang itu menyampaikan informasi yang jauh berbeda dengan yang di pikirannya. Ana menggeleng pelan. Mungkin saja tidak ada hubungannya.
Gadis itu mendesah, mencoba berpikir lagi. Namun, semuanya seakan lari-larian dengannya. Jika ia tidak melakukan penyelidikan secara langsung dan masih mengira-ngira, Ana tak akan tahu apa yang terjadi dengan desa ini.
Gadis itu menyerah. Ia menyimpan diari usang bersampul hitam itu di bawah bantal, kemudian menepuk-nepuk alas tidur itu dan merebahkan kepalanya. Ana memejamkan mata, berusaha untuk mencapai alam mimpi dan beristirahat dengan tenang malam ini. Tak lupa selimut tipis miliknya dibalutkan ke setengah badan. Gadis tersebut tidur membelakangi jendela.
Sementara di luar, seseorang yang misterius tengah berjalan-jalan di antara kegelapan malam. Ia melangkahi teras lalu berkeliling halamannya yang tak terawat dan menjadi ladang tanaman liar. Orang itu seakan sengaja menahan kakinya untuk tidak menyentuh cahaya remang-remang perumahan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...