"Nak, tolong belikan mama gula!"
Seorang wanita paruh baya menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepada anak gadisnya. Meski menerima uang tersebut, anak gadis itu terlihat cemberut.
"Disuruh kok gitu? Kembaliannya buatmu, deh."
Seketika itu mata anak gadisnya berubah menjadi cerah. "Yes!" katanya sambil segera beranjak keluar.
Matahari sudah berganti tugas dengan sang bulan. Sebuah siklus pergantian, yang terjadi saban hari. Hewan malam mulai berbunyi, menari-nari bersama di tengah gelapnya semak. Setelah tenggelam dengan sempurna, udara dingin pun muncul bersamaan dengan terselimutnya bulan oleh awan kelabu.
Si anak gadis tengah menenteng bungkusan hitam di tangan sebelah kirinya. Sambil sesekali bersenandung, gadis itu menyusuri jalan gelap nan sepi. Hanya bermodalkan pencahayaan lampu di jalanan yang mulai redup karena bohlamnya minta diganti. Dengan langkah santai, lagu-lagu yang dinyanyikannya membuat sedikit tenang. Si gadis juga tolah-toleh kesana kemari, kebiasaan saat di perjalanan pasti menengok apa saja.
Pandangan gadis itu seketika terkunci ke pohon pisang yang sudah tua dan mulai busuk. Tertangkap basah olehnya bayangan seseorang. Si gadis berusaha mengamati, takutnya itu adalah sebuah ilusi karena minimnya penerangan. Namun, langkahnya mendadak terhenti. Perasaan campur aduk membuat kakinya sulit untuk digerakan.
Di sana, di bawah pohon pisang yang sudah lapuk, sesuatu sedang berdiri menatapnya. Sesuatu itu sepertinya sengaja menunggu sesuatu yang lain. Kini, seakan sadar dengan kehadiran si gadis, sosok itu tiba-tiba menoleh. Tentu saja anak gadis tersebut terkejut hingga tanpa sadar, ia menjatuhkan bungkusan yang dibawanya.
Sosok itu mulai bergerak sementara kaki gadis tersebut seakan terkunci di bumi. Perlahan, remangnya lampu jalan yang agak jauh menyorot wujud dari sosok yang sekarang tengah tersenyum. Giginya yang tak rata dan hancur ditampakkan. Mata yang redup tanpa pupil menambah ketakutan si gadis.
Semakin dekat, sosok tersebut berjalan sambil sesekali terantuk batu. Senyumnya semakin melebar. Si gadis benar-benar seperti tersihir dan menjadi patung—diam dan kaku. Lidahnya seakan membeku, padahal mulut gadis itu terbuka lebar.
Kini sosok tersebut terlihat dengan jelas. Di bawah remangnya lampu jalan, seringaian yang menyeramkan itu seakan menelan roh dari si gadis yang kini wajahnya lebih pucat daripada sebelumnya. Perlahan, sosok tersebut menjilati gadis itu. Mulai dari pipi, turun ke tangan, hingga seluruh tubuhnya dipenuhi oleh lendir yang berbau busuk.
Puas menjilati, sosok tersebut mulai memegang kepala gadis itu. Kesadaran si gadis perlahan menghilang bersamaan dengan pecahnya bohlam lampu jalan di dekatnya.
***
Anastasya merapikan kerah baju. Ia kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke badan. Sekali lagi, gadis itu menghampiri cermin di kamarnya dan memastikan kalau-kalau penampilannya belum sempurna. Gadis itu memeriksa setiap inci tubuhnya.
"Udah cantik," ucapnya memuji diri sendiri. Memang benar, di usianya yang baru saja menginjak lima belas--baru berulang tahun kemarin--ia adalah gadis paling cantik di kelasnya.
Memiliki wajah bulat dengan bermahkotakan rambut pendek bergelombang, membuat kesan imut tertinggal setiap kali seseorang menatap wajahnya. Apalagi hidungnya yang agak kecil. Benar-benar seperti bayi. Kini gadis itu mengukur tinggi badan di balik pintu kamarnya.
"Nambah tinggi segini." Ia tertawa sehabis mencoret pintu tersebut (membuat tanda sampai di mana tingginya).
"Nggak papa, deh. Di rumah Nenek aku bakalan olahraga biar lebih tinggi," katanya kembali bermonolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...