"Nggak. Ini nggak mungkin."
Ana berlari, berusaha secepatnya sampai ke tempat tujuan. Ia tak menghiraukan kegelapan yang berkuasa di kiri dan kanannya. Mata gadis tersebut terkunci, memandang pendar cahaya kekuningan yang semakin dekat kala kakinya melangkah.
Langkah Ana kemudian memelan. Samar-samar terdengar suara dengungan. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang menjadi sumber suara itu. Kemudian secara naluriah, matanya kembali menatap langit yang mulai berwarna. Kebakarannya ... sudah padam?
Gadis itu semakin memelan. Ia melihat kerumunan yang sibuk memadamkan api. Kebun pisang itu ... benar-benar terbakar. Ana juga melihat sebuah truk pemadam. Ia berjalan mendekati salah seorang warga yang sedang berbincang-bincang.
"Kapan desa kita ini maju? Akses dari kota pun dipersulit," ujar salah satunya.
"Ya, kalau tidak, sudah dari beberapa jam yang lalu apinya padam." Yang lain menimpali.
Ana masih mematung tak jauh dari para warga yang masih terlihat berada di lokasi kebakaran. Gadis itu menerka-nerka apa yang menjadi penyebab semua ini. Ia melihat sekeliling yang mulai diterpa cahaya mentari meski masih agak gelap. Terbentuk tanda tanya di wajahnya. Mungkinkah kebakaran ini ada hubungannya dengan kejadian tadi malam?
Karena tidak ada yang bisa ia lakukan lagi, Ana berbalik. Gadis itu memutuskan untuk pulang dan meninggalkan tempat ini.
"Ana?" Sebuah suara yang tidak asing memanggil namanya. Gadis itu celingukan mencari sumber suara dan mendapati Juki yang sedang berdiri. Laki-laki itu tersenyum kepadanya seperti biasa, bedanya ia sekarang tidak menarik sebuah gerobak.
"Juki," sapa Ana.
"Ngapain di sini?" tanya Juki.
Sekeliling mereka mulai terang.
"Nggak ngapa-ngapain, cuma jalan-jalan pagi biasa. Olahraga," jawab Ana.
Mereka kemudian berjalan bersisian. Keduanya bercerita tentang kejadian tadi malam. Juki bilang kalau dirinya ikut membantu menahan tangan salah satu dari orang yang kesurupan kemarin. Malam itu dilewati dengan ketegangan. Juki juga berkata, saat mereka sudah terlihat tenang, mereka akan dilepaskan dan dibiarkan tidur terlelap. Namun, itu tidak berlangsung lama karena mereka memberontak lagi.
"Begitu terus terulang-ulang. Hingga datang Pak Ustaz, akhirnya dia bisa nenangin mereka," jelas Juki.
"Tapi para warga tidak lengah begitu saja, ada yang berkumpul di pos ronda juga ada yang berkeliling. Saya kemarin ikut berjaga semalaman. Sampai menjelang subuh baru pulang dan nggak salat karena langsung ke sini pas lihat rame-rame."
Penjelasan Juki membuat gadis di sampingnya mengangguk paham. Benar-benar malam yang melelahkan bagi seluruh warga desa Berangai. Namun, Ana teringat akan satu hal. Gadis itu terburu-buru pamit dan meninggalkan Juki yang kebingungan menatap kepergiannya.
"Aku harus memcari buku Meri," ujarnya dalam hati. Namun, ia baru ingat kalau Ayahnya yang menyembunyikan buku itu. Dan jika Ayah menyembunyikan sesuatu, maka akan sulit untuk mendapatkannya. Ah, itu urusan nanti, yang penting ia harus berusaha mencari buku itu.
Ana sampai di rumah Nenek. Ia mencari Ayah, Ibu, juga neneknya dengan memanggil-manggil nama mereka. Namun, hanya Nenek yang muncul dan menyambutnya. Nenek menjelaskan kalau orang tua Ana berangkat ke balai desa. Ada sesuatu yang hendak disampaikan oleh kepala desa selaku pemimpin terkait dengan kejadian kemarin malam yang menimpa para warga.
Ana mengangguk lalu memasuki kamar orang tuanya. Matanya berkeliling mengamati ruangan itu. Ada lemari yang terbuat dari plastik dengan dua pintu di atas dan bawahnya, dilengkapi sebuah laci di tengah-tengah lemari tersebut. Juga ada lemari lain di sebelahnya, terbuat dari kayu dan punya laci lebih banyak.
Ana juga melihat sebuah kasur dan tumpukan buku-buku di sudut kamar. Gadis itu menghela napas. Sifat keingin-tahuannya menurun dari ibu, yang juga diwariskan dari Kakek. Ia juga pernah mendengar Ibu bercerita kalau kakeknya gemar membaca. Tidak ada banyak waktu untuk memikirkan itu sekarang.
Ana mulai mendekati tumpukan buku itu, sebab buku-buku tersebut lebih dekat dengannya. Ia mulai mengangkat satu per satu buku yang ada di sana, mencari buku bersampul hitam. Jari jemarinya sibuk mengacak-acak tumpukan itu. Ada banyak buku bersampul hitam di sana, tetapi bukan termasuk yang dicarinya.
Kemudian gadis itu beralih ke tumpukan selanjutnya. Debu mulai beterbangan sebab tumpukan yang satunya terlihat lebih lama usianya dari tumpukan yang lain. Ana sempat terbatuk pelan, kemudian melanjutkan pencariannya. Nihil. Diari Meri tidak ia temukan di sini.
Gadis itu berdiri dan berbalik. Ia menatap lemari yang berlaci banyak. Ana menimbang-nimbang, berusaha memprediksi di mana buku itu berada. Jemarinya lalu mengarah ke salah satu laci yang berurutan kedua dari atas. Gadis itu membuka lalu melihat ke dalam isinya.
"Cuma baju bekas."
Ana melanjutkan mencari hingga sisa laci paling atas yang belum ia buka. Laci itu agak tinggi hingga Ana kesulitan untuk melihat isi dalamnya. Gadis itu memutar otak, ia melihat sekeliling. Tidak ada kursi di sini. Di kamar belakang pun tidak ada. Lalu terbesit sebuah ide di kepalanya.
Ana langsung menunaikan idenya, yaitu menarik laci hingga habis dan menurunkan laci itu terlebih dahulu. Gadis itu pelan-pelan menarik, lalu menahan bagian bawah laci agar tidak terjatuh. Saat hendak sampai di ujung, gadis itu mendengar suara mobil Ayah.
Ana panik, ia sempat melirik isi dalamnya, ada buku bersampul hitam yang di bawahnya ada tumpukan berkas-berkas lain. Buku itu, itulah yang dicari-carinya. Ana segera mengambil dan mengangkat laci itu, lalu memeriksa keadaan kamar. Setelah ia memastikan semuanya kembali seperti semua, Ana segera keluar sebelum orang tuanya masuk rumah. Gadis itu berakting seolah-olah dari arah kamarnya, karena ia sempat menuju dapur terlebih dahulu.
"Cepat masuk." Ayahnya menyuruh dan Ana segera menuruti. Mereka berempat pergi ke dapur untuk menyantap sarapan. Orang tua Ana ternyata menyempatkan diri untuk membeli bubur. Akhirnya mereka semua memakan bubur ayam untuk mengganjal perut masing-masing.
"Malam nanti, akan ada patroli. Kita benar-benar tidak boleh keluar sendirian lagi," kata Ayah di sela-sela makannya. "Sesuatu yang mengancam desa ini sepertinya semakin beringas."
Ana menelan buburnya dengan susah payah. Apa yang harus ia lakukan? Ayah berkata kalau nanti malam ia ikut meronda. Meskipun termasuk orang asing, tetapi jika sudah berada di dalam suatu lingkungan, mau tidak mau harus ikut menjaga lingkungan itu agar tetap nyaman dan tentram.
Setelah selesai sarapan, Ana segera menuju kamarnya. Ia meraba perut dan mengambil sesuatu di sana. Beruntung gadis itu tidak melepaskan jaketnya sehabis berkeliling tadi. Ia sempat memasukkan buku bersampul hitam ke dalam jaket. Gadis itu hendak membuka buku di tangannya, tetapi sebuah panggilan terdengar. Ana sesegera mungkin menyembunyikan buku itu, dengan melemparnya ke bawah kasur.
Lalu gadis itu duduk di atas kasurnya. Ayah muncul dari balik pintu, ia mengajak putrinya itu untuk membeli barang.
"Yakin nggak mau ikut?" tanya Ayah sambil menaik-naikkan alisnya. Ayah tersenyum jail.
"Iya," jawab Ana memastikan.
"Yakin?" tanya Ayah sekali lagi.
"Is. Iya, Ayah."
"Yaudah, ayah berangkat dulu."
Setelah memastikan kalau mobil ayahnya sudah menghilang, Ana segera menunduk dan mencari buku itu. Sialnya, gadis itu melempar terlalu jauh hingga tangan pendeknya tidak dapat menjangkau benda persegi panjang, yang kini terongok membisu di sudut kamar—di bawah kasur.
Beruntung ruang kosong antara kasur dan lantai kayu rumah Nenek berjarak agak besar, sehingga gadis itu masih bisa tengkurap dan masuk ke bawah sana untuk mengambil bukunya. Dengan susah payah Ana menarik benda persegi panjang itu, dengan susah payah pula ia bergeser untuk berusaha keluar dari kolong kasur. Hingga saat gadis itu berhasil keluar seutuhnya, ia merasa lega.
Ana segera bangkit. Gadis itu kemudian duduk di pinggir kasur sambil membuka lembar demi lembar buku diari. Buku bersampul hitam yang tulisannya memudar itu semakin sulit dibaca. Tunggu dulu, bukankah lembar ke lima waktu itu Ana masih bisa membacanya? Lalu mengapa sekarang tinta-tinta itu seakan menghilang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...