(5)

74 27 5
                                    

Cahaya kuning menyapa dunia, burung berkicau menyambut sinarnya. Bagai bohlam raksasa ciptaan Yang Maha Kuasa, mentari pagi muncul setelah berganti tugas dengan malam. Suara ayam yang juga menyambut sang surya bersahutan ke sana kemari. Walaupun hari ini terlihat cerah, wajah Ana sangatlah mendung.

Hampir semalaman gadis itu tidak bisa tidur karena suara mengetuk dari pintu dapur rumah Nenek. Sebenarnya, suara mengetuk itu tidak berdurasi lama. Hanya saja meminum kopi tak bertuan di dapur yang jadi penyebab ia susah tidur. Gelisah ke sana kemari mencari posisi nyaman hingga pagi datang.

Rambut kusutnya bergoyang setiap kali gadis itu berjalan. Ana memegang gagang pintu yang dingin. Hal itu membuatnya berjengit dan membelalakkan mata, tetapi hanya sebentar sebab kantuk kembali melanda. Keluar kamar dengan langkah yang bergesekan dengan lantai, ia disambut dengan pemandangan orang yang sibuk.

Ibu berkutat dengan pisau dan bahan makanan yang masih mentah, Nenek sedang menyiapkan minyak panas, Ayah sedang membaca koran. Ya, di desa ini koran masih laku, tidak seperti kota kecil Ana yang rata-rata penduduknya malas membaca sesuatu. Mereka lebih suka mendengarkan dengan melihat televisi daripada harus membalik lembar demi lembar koran pagi. Ana duduk di sebelah ayahnya, terbesit keinginan untuk menanyakan perihal semalam.

"Yah?" Ana mencuil tangan Ayah.

"Pura-pura nggak dengar, ah," kata Ayahnya sambil tetap menjaga fokus.

Ana memajukan bibirnya, membentuk seperti paruh bebek. Ayah meliriknya dari ekor mata, kemudian menutup lembaran kertas yang tadi dibacanya dan tertawa.

"Ada apa?" tanya Ayah di sela tawanya yang masih terdengar.

"Ayah kemarin ke dapur?"

Ayah menatap manik milik anaknya dan terdiam. Kemudian, ayah menjawab, "Iya, ke kamar kamu 'kan lewat dapur dulu."

"Is, bukan, Yah." Ana menggelengkan lengannya. "Ayah nggak ada ke dapur gitu? Bikin minuman mungkin, atau ke kamar mandi?"

Ayahnya menggeleng, bilang kalau benar-benar tidak pergi ke dapur selain hanya untuk menjenguk Ana di kamar belakang. Gadis itu tertegun, lalu bertanya pada Nenek.

"Nenek suka kopi?" Yang ditanya segera menghentikan gerakan tangannya yang sibuk.

"Iya, kenapa, Cu?" Nenek menoleh ke arah Ana.

Ana pun bernapas lega. Ia lagi-lagi bertanya, "Nenek tadi malam bikin kopi 'kan?"

Seluruh ruangan mendadak hening, bahkan Ibu yang tengah memotong wortel menghentikan aktivitas juga. Nenek kemudian menatap Ibu yang juga menatapnya. Hening berlangsung cukup lama. Mata Ana mengerjap beberapa kali, menunggu jawaban sang nenek.

"Nenek nggak pergi ke dapur setelah kita makan malam. Sehabis makan, nenek langsung ke kamar dan salat Isya. Enggak ada keluar kamar lagi."

Deg!

Jadi siapa yang membuat minuman pencegah tidur itu?

***

Embun tiba-tiba menebal, berduet dengan awan yang sengaja menghalangi sinar mentari, menciptakan suhu rendah yang membuat siapa saja akan merapatkan lengan ke badan. Biasanya, kicauan burung akan ikut terdengar. Namun, selain hanya satu dua ayam yang berkokok, pagi yang biasanya mulai ramai itu menjadi hening. Seperti semuanya enggan beraktivitas.

Ana membuka pintu kayu yang mulai dimakan rayap itu. Pintu depan rumah Nenek dicat dengan warna cokelat, warna yang sama persis dengan warna asli kayu bahan dasarnya. Gadis itu mematung sembari menatap jalan berkerikil yang lengang. Kemana semua orang yang sibuk kemarin? batinnya bertanya. Kemudian Ana melangkah keluar.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang