Meri sedang mengendap-endap membuntuti sang ayah. Meski ilalang di kiri-kanan jalan setapak yang dilaluinya berusaha menghalangi, tetapi rasa penasaran menguasai diri gadis itu, sehingga kakinya terus melangkah di kegelapan. Suara jangkrik semakin bising berlomba dengan detak jantungnya dan saling berpacu.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Kaki yang semula mulus kini mulai tergores di sana sini. Alas kaki yang dipakai tidak bisa melindungi betis gadis itu. Meri mematung dan menajamkan telinganya, berharap sebuah suara menjadi penuntun. Sesaat kemudian suara yang ditunggu kembali berbunyi. Meri pun bergegas mencari sumber suara meski harus meraba-raba.
***
Ana terbangun. Bukan kokok ayam yang membuat matanya terjaga, kebiasaan paginya memang demikian. Iris hitam miliknya mengerjap, berusaha menetralkan pandangan akibat tertutup cukup lama. Pagi ini Ana harus membangunkan orang tuanya.
"Eh, sudah bangun?" Basa-basi dari Nenek hanya ditanggapinya dengan anggukan. Rambut pendek kusut tersebut bergoyang-goyang.
Rumah Nenek memanglah terlihat kecil, tetapi apabila sudah di dalamnya akan terasa agak luas. Perabotan rumah yang minim yang membuatnya terasa demikian. Kamar rumah itupun ada tiga. Kebetulan, Ana memakai kamar belakang sehingga langsung berhadapan dengan dapur.
Nenek yang sedang menyiapkan bumbu mentah segera menatap cucu satu-satunya itu. "Kenapa?"
"Aku bosan, Nek," jawab Ana dengan suara parau. Ana pun melanjutkan, "Udah dua hari cuma diam di rumah terus."
Nenek menggeleng pelan. Setelah pekerjaannya selesai, Nenek duduk di sebelah Ana yang sedang tergolek di lantai. Mereka bersandar di dinding. Nenek merapikan rambut kusut gadis itu, menatanya, dan kemudian memelintir seakan mengikat dengan ikat rambut.
"Coba kamu jalan-jalan sendiri. Kalau pagi begini, boleh kok berkeliaran dengan bebas," terang Nenek setelah selesai dengan rambut cucunya.
"Memangnya kenapa, Nek?"
"Nanti juga kamu tau. Yang jelas sekarang kalau kamu mau jalan-jalan, menghirup udara segar, silakan saja. Udara pagi dan sinar mataharinya menyehatkan." Nenek tersenyum.
Meski begitu, rasa penasaran Ana semakin membesar. Ada apa sebenarnya dengan desa ini? Mengapa saat malam tiba semuanya mendadak sunyi? Ana menyimpan semua pertanyaannya untuk sementara. Ia mengangguk, mengiyakan perkataan sang nenek.
Gadis itu kemudian berkeliling desa. Meski jalanan lain di desa ini belum di aspal, tetapi jika mentari sudah tiba pasti jalan ini ramai orang berlalu-lalang. Kata Ayah, selain berkebun, orang-orang di sini juga bekerja menjadi nelayan. Sungai kecil di belakang rumah Nenek adalah salah satu anak sungai besar yang dekat dengan desa Berangai.
Meski tidak ada yang ia kenali, Ana tetap tersenyum menyapa orang-orang yang ditemuinya. Mulai dari seorang pria yang menjual sayur dengan gerobak, hingga seorang wanita muda yang sedang menjemur ikan. Aktivitas warga mulai padat menjelang siang hari.
Setelah puas berjalan-jalan, Ana berbalik arah. Gadis itu takut kalau-kalau tersesat dan bertemu preman kampung. Membayangkannya saja membuat Ana bergidik. Ia merapatkan kedua tangan ke badannya yang mungil dan terbalut oleh jaket tebal yang sedang ia kenakan.
Di perjalanan pulang, Ana kembali berpikir. Apa yang akan ia lakukan saat tiba di rumah Nenek? Melamun seperti kemarin atau tidur-tiduran? Ana menggeleng. Semua kegiatan itu membosankan. Andai saja di rumah Nenek ada televisi.
Ana mengangkat kepala. Seperti ada bohlam yang menyala di dekat rambut gadis itu. Kini senyumnya merekah bersamaan dengan munculnya sebuah ide. Kenapa dia tidak pergi ke sungai di belakang rumah Nenek saja? Di sana pemandangannya sangat bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Berangai[END]
HorrorLiburan yang seharusnya menyenangkan menjadi menyeramkan. Kala malam datang, desa Berangai dihebohkan dengan bermacam teror dan hal-hal mistis yang menyerang nyawa warganya. Bahkan, yang katanya tak kasat mata bisa membuat manusia meregang nyawa. An...