(16)

71 25 0
                                    

"Selamat morning!" Ana kembali seperti sediakala. Ibu yang sedang memasak dan Ayah yang sedang membaca koran, tiba-tiba saja saling bertatapan. Mereka merasa aneh dengan tabiat putri tunggalnya itu. Pasalnya kemarin ia terlihat murung, tetapi sekarang gadis itu mendadak ceria.

"Aku mandi dulu," teriak Ana dari luar setelah berlari mengambil handuknya. Ayah hanya menggeleng pelan. Remaja jaman sekarang ada-ada saja.

Ana menanggalkan pakaian, mengguyur air, menikmati dinginnya cairan bening yang merata dan meresap ke seluruh tubuhnya itu. Gadis itu mendongak, berusaha lebih menikmati sensasi mandi paginya dengan memejamkan mata.

Sejujurnya, Ana agak khawatir. Peringatan Meri tentang apa yang akan datang nanti malam mengusik pikirannya. Ana penasaran apa yang akan terjadi nantinya. Apakah hal yang baik-baik atau malah sebaliknya, hal buruk yang menimpa desa ini? Kini gadis itu melamun menatap air di dalam gayung yang sedang dipegangnya. Ia segera sadar dan menyelesaikan ritual membersihkan diri itu. Kemudian, memasang handuk dan cepat-cepat menuju rumah Nenek.

Ana segera bersiap-siap dan memakai pakaiannya, selang beberapa menit kemudian, gadis itu keluar kamar dengan wajah yang segar khas gadis habis mandi. Ayah yang menyuruhnya duduk dan bilang ia terlalu lama di kamar mandi.

"Kamu tidur, ya, tadi?" tanya sang ayah. Ana tergelak, tertawa sambil menggeleng-geleng pelan, takut rambutnya yang masih agak basah itu memercikkan air ke makanan di hadapan mereka.

Mereka pun menikmati sarapan. Hanya bertiga, sebab Nenek pagi-pagi begini ada acara di balai desa. Kata ibunya, setiap minggu di hari Sabtu, Nenek Ana akan pergi ke sana lalu berkumpul dengan rekan-rekan sebayanya. Kemudian, Nenek mengikuti senam lansia. Ana mengangguk paham, pantas saja wajah neneknya terlihat lebih muda daripada orang berusia lanjut kebanyakan.

"Kita tidak jadi pulang hari ini," kata Ayah setelah menelan makanan. Mereka hening cukup lama dan terlarut dengan rasa masakan Ibu.

"Tapi ...." Ana menoleh sepenuhnya pada Ayah saat orang tuanya menggantungkan kalimat.

"Kamu nggak boleh keluar malem sendirian lagi!" lanjut Ayah dengan tegas. Ana pun mengangguk. Ia mengambil lauk lagi, kemudian melanjutkan makannya.

Pikirannya hendak bertanya, tetapi Ana menahan keinginan itu agar tidak mengganggu suasana hati ayahnya. Sepertinya Ayah terlihat sedang dalam mode tenang. Ana tak mau mengusik itu meskipun ia penasaran akan sesuatu. Di mana diari hitam milik Meri yang diambil oleh Ayah kemarin malam?

Mereka menyelesaikan makan pagi dengan hening. Selepas itu seperti biasa Ana membantu Ibu beres-beres di dapur dan Ayah pergi ke ruang tamu. Ana berusaha untuk ceria dan tidak menghiraukan pesan di mimpinya. Toh, mimpi adalah bunga tidur. Tidak mungkin tiba-tiba terjadi sesuatu hanya karena bertemu dengan arwah Meri di dalam mimpi. Juga, bukan tidak mungkin kalau yang dilihatnya di mimpi sebenarnya bukan Meri. Ana menggeleng. Ia tak mau memikirkan itu lagi. Biarlah apa yang akan terjadi nanti, terjadilah. Dan semoga yang terjadi nanti bukanlah hal yang buruk.

***

Embun pagi mulai menipis, semakin transparan, bahkan mungkin sebentar lagi akan menghilang. Cuap-cuap anak ayam yang berteriak kelaparan terus membuntuti induknya, ke sana kemari mencari makanan. Para warga desa saling menyapa satu sama lainnya. Beberapa dari mereka berangkat bekerja, beberapa lagi sedang menikmati segarnya udara—seperti Ana. Sekarang gadis itu tengah berjalan sambil menghirup oksigen dengan panjang, lalu mengembuskannya perlahan.

Ia memakai jaket kesayangan, sendal jepit, celana kain selutut. Ana memerhatikan sekeliling. Melihat-lihat aktivitas warga. Dari pandangan gadis itu, para warga sudah cukup tidak bebas karena peraturan yang mengurung mereka. Jika nanti ada hal buruk yang datang, bukan tidak mungkin mereka akan semakin menderita. Ana menggeleng. Jangan sampai itu terjadi.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang