(6)

74 24 5
                                    

Gadis pucat berambut panjang tengah menatap Ana dari kejauhan. Gadis itu berada di tengah kerumunan warga yang ke sana kemari. Orang-orang di sekitarnya seakan tidak menghiraukan gadis tersebut, atau malah tidak mengetahui keberadaannya? Ana terpaku membalas tatapan si gadis. Sesaat kemudian, sosok itu lenyap. Bagaikan sihir, ia hilang tak berbekas di tengah keramaian.

"Hei!" Ana tersentak saat orang yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu menepuk bahunya. Ia mengerjap, menoleh sekeliling. Juki menatapnya dengan kening mengerut.

"Ada apa?" Juki mengikuti arah pandangan Ana yang kesana kemari.

"Nyari siapa? Orang tuamu?"

Ana tidak mengindahkan pertanyaan Juki yang di sampingnya. Ia tetap tolah-toleh mencari seseorang yang menatapnya tadi. Pergi kemana dia? batinnya.

"Hei!" Ana tersentak. Gadis itu menatap Juki yang terheran-heran di sebelahnya.

"Kenapa?" Ana hanya menggeleng menanggapi remaja berambut keriting itu.

"Eh, anu, bagaimana kalau kita berkeliling?" tawar Juki.

Ana mengangguk. Mereka berdua kemudian berbaur dengan kerumunan warga.

Ada beberapa penjual makanan dan minuman, ada juga yang menjual mainan. Kata Juki, para pedagang ini bukan warga desa mereka. Namun, mereka diundang agar warga desa bisa berbelanja di pasar kecil itu. Ana melirik ke arah anak kecil yang sedang tersenyum sambil menunggu minumannya selesai dibuat.

Ana menarik sudut bibir. Di kotanya, pasar kecil seperti ini sudah tidak ada. Yang ada hanya para pedagang kaki lima yang memenuhi bahu jalan. Tidak disediakan lapangan seperti desa ini, karena lapangan luas sudah berubah menjadi supermarket.

Lama mereka menelusuri keramaian, tiba-tiba para warga mulai berbondong-bondong menuju tengah lapangan. Di sana ada panggung kecil yang di atasnya ada tiga orang laki-laki dewasa dan seorang perempuan.

"Itu ketua dari masing-masing RT. Satunya lagi yang perempuan itu Nek Asih. Dia yang mimpin doa bersama nanti," terang Juki. Ana di sebelahnya menautkan alis, mengernyit heran karena penjelasan anak itu.

"Kenapa nggak ngundang Pak Ustaz?" Pertanyaan Ana tenggelam oleh suara keras yang berasal dari panggung.

"Hadirin sekalian, di hari yang berbahagia ini ...."

Sosok yang tak asing bagi Ana tengah berpidato dan menebar wibawanya. Itu adalah ketua RT tiga. Rumahnya pernah Ana dan ayahnya datangi. Semua warga yang tadi berbisik langsung senyap terbungkam oleh pidato Pak RT. Ana berpikir, sepertinya Pak RT itu memang benar-benar cocok menjadi lurah. Gadis itu tiba-tiba menegakkan tubuh.

"Juki?"

Yang dipanggil segera menoleh.

"Kenapa hanya ada tiga ketua RT? Kenapa lurah nggak ke sini juga?"

Juki mengangkat alisnya. Laki-laki berambut keriting agak gondrong itu terdiam karena pertanyaan Ana. Ekspresi wajahnya berubah. Ana yang menyadari itu mendesak agar ia memberi jawaban.

"Mungkin sedang ada urusan," jawab Juki tanpa menatap gasis di sampingnya.

Pidato salah satu dari mereka yang duduk di atas panggung akhirnya selesai. Para warga bertepuk tangan. Semuanya terlihat bergembira, wajah-wajah warga desa saat ini sedang secerah langit di atas sana. Kemudian, saat perempuan satu-satunya di atas panggung itu berdiri, warga kembali mengunci mulut mereka. Hening. Beberapa saat sebelum orang yang dipanggil Nek Asih itu berbicara, suasana seketika menegang.

"Sudah beberapa tahun ini kita tidak diganggu 'mereka' lagi. Sudah sepantasnyalah kita mengucap syukur ...."

Beberapa warga mengangguk, beberapa lagi mengucap syukur sambil mengusap wajah. Ana memperhatikan orang tua yang kira-kira umurnya sama dengan neneknya itu. Kemudian wanita tua tersebut melanjutkan perkataannya.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang